Ashabus Shuffah Sebagai Inspirator Tradisi Santri dan Dilematik Sistem Pendidikan ala Pesantren

Dalam ceramah seorang kiai yang saya dengar, beliau menghaturkan salah satu cara untuk mencetak generasi yang sesuai dengan yang kita citakan adalah dengan menciptakan lingkungan yang sesuai. Seperti contoh, bila ingin anaknya menjadi ahli Quran, maka gunakan rumah kita untuk mengaji Al-Quran setiap hari. Pun seperti yang dilakukan seorang seniman, yaitu Ahmad Dhani.

Salah satu pentolan dari band Dewa19 (terlepas dari ketidak sepakatan saya dengan beberapa pendapatnya yang kontroversial, namun dalam dunia musik saya sangat menyukai karya-karyanya). Segalanya entah dilakukan dengan sadar atau tidak, tetapi dia mengatur rumahnya dengan segala hal yang berbau musik, disamping juga selalu memutar musik yang sesuai dengan seleranya sepanjang hari.

Bahkan disetiap aktivitas keluarga sehari-hari, seperti makan, kumpul santai, juga musik adalah pengantar sebelum tidur. Maka dengan sendirinya anak-anak dari Ahmad Dhani semuanya mencintai musik, berselera musik bagus, dan kini menjelma jadi seniman musik yang lumayan mumpuni sejak dini.

Keahlian dan passion dari anak-anak Dhani tersebut bukan hasil dari keturunan, tapi dari sebuah setting kebiasaan dan lingkungan yang dibentuk sejak dini. Bahkan mungkin sejak dalam kandungan.

Lingkungan yang mendukung ini juga yang disiapkan oleh bapak kepada anak-anaknya. Sepanjang ingatan saya, tidak peduli kitabnya apa, dan siapa pengurusnya, bapak selalu punya jadwal ngaji yang diadakan di rumah(sejak sakit dulu, jadwal ngaji ini diisi oleh kakak saya). Dan seingat saya selalu bakda isya’.

Meskipun sepanjang hari bapak ngaji selalu di masjid (jadwal bapak dikurangi hanya pagi dan sore hari setelah sakit pada tahun 2015), namun setelah isya’ pasti ngaji di rumah. Ini semua dilakukan, minimal menurut saya, adalah demi menciptakan lingkungan yang kondusif demi membentuk anak dan keturunan yang suka ngaji.

Dan terbukti hingga kini, minimal menurut pengalaman saya pribadi, ngaji adalah salah satu pengalaman yang menyenangkan. Meskipun tidak semua anak bapak saya ahli ngaji, seperti saya yang hanya kuat ngaji sebentar saja, namun masih mau dan dengan senang hati mendengar dan mengajar ngaji. Semua ini tentu tidak lepas dari barokah doa para guru, bapak, dan juga lingkungan yang beliau siapkan sejak dini.

Ngaji sendiri adalah jalan yang dipilih bapak sejak kecil, beliau sudah bertekad ingin mondok sejak lulus SR (sekolah rakyat). Meskipun ngaji tak harus mondok, tapi salah satu cara agar bisa ngaji dengan utuh dan penuh adalah dengan mondok di pesantren(makane, ayo mondok!). Dengan penuh perjuangan, bapak terus mondok, dan terutama ngaji hingga menikah.

Bahkan setelah menikah dan boyong dari pondok pun, bapak tidak berhenti ngaji. Malah lebih intens lagi. Bapak mau dan melaksanakan semua permintaan ngaji dari santri waktu itu. Yang sudah dipunyai maknanya, tinggal dibaca. Namun untuk sebagian besar kitab yang diminta, bapak seringkali harus memberi makna sendiri terlebih dahulu.

Salah satu kitab andalan bapak dalam ngaji adalah kitab ihya’. Salah satu bukti betapa sangat cintanya beliau kepada ngaji adalah cerita tentang hataman ihya’ pertama kali:”Menurut Kulo hatam pertama tahun 81, hatam setahun. Terus nekakaken mubaligh yai mahrus lirboyo. Terus pas jagongan, kulo, mbah yai zam, kaleh bapak morosepah. Trus yai mahrus ngendikan: lek ngaji ojo cepet-cepet. Ojo setahun hatam. Minimal rong tahun hatam. Tapi kenyataane kadang rong tahun setengah, rong tahun seprapat. Kulo dingendikani yo angger manut mawon.

Manut niku penak (menurut ingatan saya, pertama kali hatam ngaji ihya’ di kwagean adalah tahun 1981, hatam dalam waktu setahun. Ketika hataman, mendatangkan mubaligh yai mahrus, allahu yarham, dari lirboyo. Dan ketika momen bercengkerama antara yai mahrus, yai zam allahu yarham, dan bapak mertua saya, yaitu mbah haji anwar allahu yarham, yai mahrus berpesan kepada saya: kalau ngaji jangan terlalu cepat, jangan setahun hatam. Minimal dua tahun. Namun dalam kenyataannya kadang hatam dua setengah tahun, kadang juga hatam dalam waktu dua tahun seperempat. Saya dipesankan oleh kiai ya ikut saja, wong patuh itu enak)”.

Tak hanya berpesan kepada saya, beliau yai mahrus juga berpesan pada kiainya bapak, yaitu yai zam, dan juga kepada mertua bapak, yaitu kakek saya, mbah haji anwar:”Terus yai zam dingendikani kaleh yai mahrus: yai zam, anake iki thoriqohe ngaji. Pak anwar juga dingendikani: anakmu iki thoriqahe ngaji(kemudian setelah itu yai zam dipesan oleh yai mahrus: yai, anak ini thoriqohnya ngaji. Juga kepada mbah anwar: anakmu ini thoriqohnya ngaji)”.

Selang beberapa tahun setelah hataman ihya’ yang pertama tersebut, bapak bercerita pernah dingendikani oleh yai zam ketika sowan:”Terus pernah kulo pas sowan ten kencong, ditangleti kaleh yai zam allahu yarham: ngaji opo? Kulo jawabi ngaos niki niki niki. Setelah itu, yai zam ngendikan: Ngaji iku angel, jeh gampang thoriqoh koyok aku. Mung mbaiat thok ae(pernah suatu ketika saat sowan, saya ditanya oleh yai zam: ngaji apa sekarang? Lalu bapak menjawab: ngaji kitab ini ini dan ini_menyebut beberapa judul kitab. Setelah itu yai zam ngendikan: ngaji itu memang sulit. Masih mudah thoriqoh yang seperti saya ini. Hanya membaiat saja)”.

Saya menulis cerita ini murni karena ingin membagi kisah nyata yang terjadi pada bapak saya. Tidak ingin mengeklaim keunggulan satu jalan menuju Tuhan, dan mengalahkan yang lain. Dan kebetulan saya adalah anak bapak, maka sangat wajar bila jalan yang saya pilih adalah meniru jalan beliau.

Semua jalan menuju Tuhan adalah baik, silahkan pilih dan lakukan sesuai pilihan hati. Cintai, dan fahami jalan yang kita pilih, maka Tuhan pasti akan mencintai usaha kita menujuNya. Dan semoga, setelah semua usaha kita dicintai, maka kita juga akan dicintai kemudian.

#salamKWAGEAN (IZ)

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini