Foto Pribadi
Ketika masih sekolah di madrasah aliyah, saya ngaji kitab al-Hushun al-Hamidiyyah li-l-Muhafazhah ‘ala al-‘Aqa’id al-Islamiyyah karya Syaikh Husain al-Jisr ath-Tharabulusi (1845-1909) untuk mendalami ilmu tauhid. Buat ukuran saya waktu itu, kitab ini lumayan berat juga. Konsep-konsepnya terlampau abstrak rasanya. Guru saya, Pak Kurdi Khan, saya yakin sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan tema-tema yang dibahas oleh kitab ini dengan bahasa yang sefamiliar mungkin dengan kemampuan intelektual kami murid-muridnya. Tapi yah, sulit juga. Teman sebangku saya sampe melakukan ‘grand opening’ alias ketiduran di kelas dengan mulut ‘terbuka lebar’.
Baru belakangan, setelah saya kuliah dan membaca bukunya Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, saya jadi tahu bahwa penulis al-Hushun al-Hamidiyyah adalah ulama kelahiran Tripoli. Ia hidup sezaman dengan Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Hourani menggolongkannya sebagai ulama tradisionalis, namun juga punya concern untuk ‘mendamaikan’ antara nilai-nilai Islam tradisional dengan penemuan-penemuan ilmiah modern.
Hari-hari ini, saya tiba-tiba rindu sama kitab ini. Saya membuka kembali lembar demi lembar kitab al-Hushun al-Hamidiyyah. Sekarang, buku ini sudah nggak seberat dulu. Dan, ada satu bab yang menarik perhatian saya. Yaitu bab 3 yang membicarakan soal keselarasan antara akidah tradisional dengan penemuan-penemuan modern dalam sains. Sehabis menelusuri bab ini saya berpikir al-Hushun al-Hamidiyyah merupakan dokumen penting tentang perjumpaan para ulama tradisionalis dengan teori-teori baru tentang kosmologi dan astronomi seperti yang diperkenalkan oleh Copernicus, Galileo, dll.
Sebenarnya sih, para ilmuwan Muslim di Abad Pertengahan sudah punya teori menarik tentang astronomi dan kosmologi, tapi entah kenapa di peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, para ulama tradisionalis punya teori sendiri tentang kosmologi yang didasarkan pada penafsiran literal terhadap teks-teks Qur’an dan sejumlah hadis.
Jadi, mereka berpikir bahwa langit itu adalah atap alam yang terdiri dari tujuh lapis. Di atas tujuh lapis langit itu ada kursi. Terus di atasnya lagi ada singgasana. Bintang, kata mereka, ada di lapisan terbawah langit. Para ulama, kata Syaikh ath-Tharabulusi, berbeda pendapat tentang bumi. Ada yang menganggapnya datar (dan ini adalah pendapat mayoritas), dan ada yang menganggapnya bulat. Sejumlah ayat Qur’an, kata Syaikh ath-Tharabulusi lagi, mengesankan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi, sementara bumi diam di tempatnya.
Bagaimana ath-Tharabulusi menanggapi teori-teori baru tentang kosmologi seperti bahwa bumi itu bulat, bahwa bumi bersama planet-planet yang lain mengelilingi matahari, atau bahwa planet-planet bergerak mengelilingi matahari karena gravitasi? Haruskah kaum Muslimin menakwil ayat-ayat Qur’an atau hadis yang terkesan menyampaikan info tentang kosmos yang tak selaras dengan astronomi modern?
Yang mengejutkan, ath-Tharabulusi berpendapat bahwa kita sebaiknya tetap meyakini pemahaman lahiriah terhadap teks-teks Qur’an dan hadis dan mengikuti pemahaman mayoritas ulama. Ini berarti teori bahwa bumi itu datar atau bahwa matahari mengelilingi bumi. Kalau misalnya kita mengikuti teori astronomi modern, bisakah? Nggak masalah sih, katanya, tapi ia berpikir bahwa teori-teori astronomi modern belum cukup kuat dan meyakinkan untuk menjustifikasi takwil terhadap ayat-ayat Qur’an dan hadis. Saya membaca sambil garuk-garuk kepala penjelasan ini. Saya berpikir, “Tapi itu kan dulu, di abad ke-19. Sekarang? Lain lagi kan ceritanya?”. []
Muhammad Ma'mun Jauhari
Pengasuh Ponpes Al-Falah Silo, Jember

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kitab