Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Beraqidah)

AlIqtishad Fi Al-I’tiqad adalah satu kitab yang sebenarnya dari judulnya sudah mengatakan isinya. Adalah sebuah jalan dalam beraqidah (aqidah). Dalam hal ini tidak ekstrim kanan dan ekstrim kiri (jalan tengah).

Iya. Begitulah al-Ghazali yang cara pandangnya selalu mengambil jalan tengah dalam banyak hal. Misalnya, dalam bidang akhlaq al-Ghazali mendefinikan bahwa sesuatu bisa disebut akhlaq jika berada di tengah. Akhlaq berada di tengah-tengah syahwat yang terlalu lemah (defisit) dan syahwat berlebihan (surplus).

Bukan tanpa alasan Gus Ulil memilih kitab ini. Yang jelas, beliau memilih kitab ini karena (dari dulu sampai sekarang) kerap kali seseorang yang beriman (apalagi orang muallaf) selalu di ejek-ejek lantaran imannya tanpa bukti (tidak rasional). Pandangan-pandangan seperti ini, kata Gus Ulil, sangat-sangat keliru.

Di anggap keliru, sekiranya kita membaca sejarah agama-agama seperti Yahudi, Kristen, dan agama lainnya, kita akan menemukan pemikiran serta penjelasan tentang agama dan keimanan mereka secara rasional. Bahkan, mereka tidak kalah canggihnya ketika melakukan pembahasan mengenai soal ketuhanan dengan pendekatan rasional.

Pentingnya akal

Mafhum, salah satu unsur terpenting bagi manusia adalah akal. Akal adalah alat untuk berpikir dan dia tidak bisa direalisasikan dalam bentuk konkritnya. Akan tetapi, secara abstrak, akal berupa ideal yang utama dari diri manusia. Bahkan, dengan adanya akal, manusia lebih jauh sempurna dibandingkan dengan makhluk lain seperti binatang.

Dengan adanya akal manusia bisa melihat potensi yang terdapat di alam dan di sekitar lingkungan dimana ia berada. Itu artinya, ketika manusia sudah tahu bahwa di alam realitas banyak potensi-potensi yang bisa dikembangkan, maka dengan akal sehatnya manusia mencoba merefleksikan realitas dan memberikan penjelasan yang sesuai dengan hukum berpikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  Akidah Imam Syafi’i dan Pendapatnya

Tak heran jika kemudian al-Ghazali menempatkan akal pada posisi yang tinggi (terutama untuk mendapatkan pengetahuan melalui akal pikiran). Bukan hanya pada proses berakal atau berpikir, tapi juga kemampuannya untuk mengembangkan berbagai pengetahuan dari satu pengetahuan ke pengetahuan lainnya. Dengan akal, manusia mampu menemukan kebenaran yang yakin (haq al-yaqin). Maka, akal adalah sumber pengetahuan yang tinggi dan faktual.

Tak hanya itu, akal juga bisa menguasai manusia sepenuhnya. Misalnya, seseorang akan mempunyai kedudukan, ilmu pengetahuan, dan kepekaan-kepekaan sosial karena reaksi akalnya yang aktif (dan berpotensi). Namun demikian, pada titik-titik tertentu, akal juga mempunyai kelemahan-kelemahan dan keterbatasan untuk mengetahui sesuatu (kebenaran pengetahuan).

Syahdan, Gus Ulil mengatakan, bahwa seseorang tidak bisa percaya kepada sabda Nabi jika tidak menggunakan nalar (akal). Bagaimana seseorang bisa percaya bahwa Nabi itu ada jika tak menggunakan akal. Kenapa ada Nabi? Artinya, jika mau membuktikan bahwa Nabi itu ada melalu al-Qur’an dan Sunnah maka tidak bisa, karena al-Qur’an dan Sunnah sendiri ada karena di bawa oleh Nabi.

Dali-berdalil seperti ini dalam ilmu mantiq disebut dengan dalil tasalsul (sirkular). Pendek kata, tidak bisa mempercayai Nabi tanpa menggunakan akal yang bernalar (percaya kepada Nabi dulu baru percaya kepada al-Qur’an dan Sunnah). Sekiranya tidak mau menggunakan akal (seperti orang-orang hasyawiyah) bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk!.

Gus Ulil juga mengatakan, lambang akal adalah mata normal yang selamat dari berbagai ihwal penyakit-penyakit. Sementara perlambangnya tekstual atau al-Qur’an adalah matahari yang terang benderang yang cahayanya tersebar ke mana-mana.

Dengan demikian, orang yang berpaling dari akal misalnya, dan hanya mencukupkan dirinya dengan dalil-dalil tekstual, maka ia digolongkan sebagai orang yang disinari oleh siraman cahaya matahari, akan tetapi kelopak matanya dalam keadaan tertutup (ia seperti seperti orang buta karena menolak melihat sementara dirinya mampu melihat kebenaran).

Baca Juga:  Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Manusia Melihat Allah Di Akhirat

Begitu juga sebaliknya. Orang yang hanya berdalil dengan akal saja, maka ia laksana orang yang berjalan dengan mata terbuka di malam hari yang gelap tanpa cahaya matahari. Akan tetapi jika keduanya menjadi satu (akal bersama agama), maka seseorang akan menemukan cahaya bersama cahaya. Pendek kata, keduanya tidak boleh dipisahkan (hanya saja al-Ghazali menempatkan akal pada posisi pertama).

Masih tentang akal dan agama. Siapapun yang tidak mampu mempadukan antara keduanya, maka ia akan jatuh pada jurang kesesatan. Namun jika seseorang mampu merekatkan keduanya, maka mereka termasuk golongan Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah. Dengan demikian, kata Gus Ulil, siapapun yang mengikuti jejak ulama Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah, maka ia akan masuk ke dalam barisan-barisan mereka, dan akan dikumpulkan di akhirat kelak bersama mereka. Wallahu a’lam bisshawab. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini