Kenapa orang membaca buku? Aku tidak tahu alasan kenapa orang-orang membaca buku. Tapi katanya, buku adalah jendela dunia. yang dengan membacanya, kita bisa melihat sudut indah dunia, orang-orangnya, cerita-ceritanya, sampai pemikiran dan perasaan manusianya.
Untuk aku sendiri, alasan membaca buku adalah mencari kebahagiaan dan menambah pengetahuan.

Belum lama ini, aku membaca buku karya Andrea Hirata yang berjudul Guru Aini. Sebuah buku fiksi yang semua tokoh di dalamnya merupakan imajinasi, semua ceritanya adalah fantasi. Selain sebagai hiburan dan sumber kebahagiaan, apa yang bisa didapat dari sebuah cerita fiksi?

Ternyata belum lama ini baru kusadari bahwa fiksi adalah cara terindah dalam menceritakan fakta. Di buku Guru Aini, aku mengetahui banyak fakta seputar pendidikan di Indonesia. Ada semangat luar biasa dalam diri seorang guru matematika yang punya cita-cita melahirkan murid-murid yang jenius kalkulus. Timbul kesadaran bahwa di pelosok negeri, banyak anak-anak cerdas dan punya semangat belajar luar biasa yang bisa dijadikan inspirasi. Membaca fiksi ini serasa membaca novel matematika. Matematika membosankan. Tapi novel matematika ini begitu menyenangkan.

Selain Matematika, Filsafat juga dianggap sebagai ilmu yang sulit. Akan sangat berat memahaminya jika lewat jurnal atau buku-buku pelajaran. Siapa yang akan tertarik membaca ratusan halaman materi filsafat. Berbeda cerita jika pelajaran filsafat dikemas dalam novel fiksi. Banyak orang mengenal novel berjudul Dunia Sophie. Sophie adalah fiksi. Sophie adalah imajinasi. Tapi berkat Dunia Sophie, orang-orang bisa mengenal Socrates, Descartes, Marx, sampai Freud. Juga bisa memahami soal peradaban Helenisme, pemikiran kaum Neoplatonisme, sampai zaman renaisans.
Fiksi memang ajaib!

Hal yang sama terjadi pada ilmu agama. Di toko buku, banyak sekali dijual buku-buku agama. Baik buku-buku terjemahan, maupun buku pemikiran para cendikiawan. Tapi novel fiksi tetap tak luput menjadi pilihan. Tak hanya pelajaran, Fiksi juga bisa merubah pandangan. Belum lama ini, aku membaca sebuah novel sastra pesantren karya Najhaty Sharma. Baru membaca separuh buku, aku sudah mendapat banyak sekali pelajaran, menghafal beberapa hadis dan mengetahui banyak maqolah ulama. Dalam novel fiksi, penulis menciptakan tokoh utama yang dirasa menarik dan membuat pembaca jatuh cinta. Sehingga saat tokoh itu mengucapkan kalimat yang berisi ilmu-ilmu agama, pembaca akan lebih menerima tanpa harus merasa digurui.

Baca Juga:  Covid-19 antara Fakta dan Fiktif

Senang sekali rasanya kini novel-novel sastra pesantren semakin banyak digemari. Pembacanya tak hanya kalangan santri. Sudah banyak judul sastra pesantren yang populer akhir-akhir ini seperti Dua barista, Hati Suhita, Hilda, Dan Diary ungu Rumaysa.

Aku masih ingat apa yang dikatakan Najhaty Sharma lewat buku Dua Barista-nya. “Hidayah itu datangnya dari Allah. Tapi kebanyakan hidayah datang lewat perantara komunikasi antar manusia”. Maka sebenarnya, yang dilakukan oleh para penulis novel fiksi pesantren bukan hanya menghidupkan literasi. Tetapi mereka adalah pembawa misi dakwah islami lewat imajinasi.

Seajaib itu memang fiksi. [HW]

Farah Firyal
Founder Fikih Female, Alumnus PP Al Falah Ploso Kediri dan Pengasuh PP Al Arifah Buntet Pesantren Cirebon

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Farah Firyal dalam tulisannya mengatakan bahwa fiksi adalah Cara Indah menceritakan fakta ( https://pesantren.id/fiksi-cara-terindah-menceritakan-fakta-4338/ ) ketika saya mengingat mertua Alina Suhita saya malah tidak bisa melihat dimana […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini