Dinamika Sejarah Pesantren Mahasiswa (1)

Berdirinya perguruan tinggi agama Islam yang dipelopori para cendekia muslim sudah dilakukan sebelum kemerdekaan NKRI diproklamasikan. Salah satunya yang sampai terwujud adalah STI atau sekolah tinggi Islam di Padang yang diinisiasi oleh persatuan guru agama Islam. Sekolah Tinggi Islam ini hanya mampu bertahan selama dua tahun (1940-1942). Suasana “konflik” karena penjajahan menjadi salah satu sebab STI tidak bisa berjalan efektif. Selanjutnya, kedatangan penjajah Jepang yang menjanjikan banyak hal terhadap bangsa Indonesia, termasuk kepada umat Islam untuk mendirikan perguruan tinggi agama, direspon oleh para tokoh dan cendikia muslim dengan membentuk yayasan yang dimotori oleh Bung Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Pada tahun 1945 sebulan sebelum kemerdekaan, tepatnya tanggal 8 Juli, Sekolah Tinggi Islam (STI) resmi didirikan dengan ketua pertamanya Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir. Selain Bung Hatta, beberapa tokoh (lintas golongan) turut berkontribusi dalam proses tersebut di antaranya KH. Wahid Hasyim, KH. Mas Mansur, Farid Ma’ruf, dan KH. Fathurrahman Kafrawi. Kampus ini awalnya berada di Jakarta dan pindah ke Jogja di era agresi Belanda mengikuti perpindahan Ibu kota. Rintisan kampus inilah yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia atau yang lebih dikenal dengan UII di Jogja.

Proses sejarah berdirinya kampus Islam ini memberikan gambaran tentang bagaimana kaum cendekia muslim perkotaan “kaum modernis” mencoba “membangun” umat melalui mekanisme pendidikan formal untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan perubahan sosial politik masa itu. Meskipun ada sosok KH. Wahid Hasyim, tetapi beliau lebih merepresentasikan sosok modernisnya ketimbang sosok tradisionalnya. Maka tidak perlu heran jika orang-orang muslim tradisionalis tidak begitu terlihat. Bahkan hingga saat ini peran mereka di UII tidak terlalu menonjol. Meskipun masih tetap ada, seperti saat ini dimana UII juga “merekrut” Gus Baha sebagai salah satu tim ahli kajian Al-Qur’an di UII. Kampus ini banyak melahirkan sarjana atau cendekiawan muslim hingga saat ini. Dari kampus inilah kemudian lahir PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang cikal bakalnya dulu adalah Fakultas Agama di UII. Karena UII memiliki 4 fakultas yakni F. Agama, F. Ekonomi, F. Hukum dan F. Pendidikan.

Baca Juga:  Menjadi Pejuang

Di sisi lain adanya tuntutan kebutuhan untuk memenuhi SDM departemen agama, institusi negara ini kemudian mendirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama), semacam pendidikan kedinasan. Namun karena perkembangan PTAIN yang semakin pesat, maka PTAIN dan ADIA pada tahun 1960 dilebur atau disatukan menjadi IAIN, atau lebih dikenal saat itu sebagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Hukumiyah. Dari sinilah lahir IAIN Sunan Kalijaga dan kemudian disusul IAIN Syarif Hidayatullah. Menariknya yang meresmikan perubahan menjadi IAIN ini adalah KH. Wahab Hasbullah yang merupakan tokoh NU. Meskipun IAIN sendiri saat itu didominasi pengelolanya oleh para intelektual Islam dari kalangan modernis. Keterlibatan Mbah Wahab Hasbullah inilah yang kemudian memotivasi para tokoh Islam di daerah untuk merintis IAIN serupa, termasuk diantaranya IAIN sunan Ampel Surabaya dengan cabang-cabangnya yang tersebar di Jawa Timur, Kalimantan dan Mataram yang melibatkan banyak tokoh lokal atau kiai di daerahnya masing-masing.

Keterlibatan kiai ini pula yang mendorong masyarakat atau umat Islam tertarik untuk masuk ke lembaga pendidikan formal modern ini. Termasuk anak-anak para kiai itu sendiri. Di sisi lain, dinamika kebijakan pendidikan nasional yang terus mengarah pada orientasi “pasar”, menjadikan lembaga ini semakin tercerabut dari “akar keilmuan Islamnya”. Apalagi setelah berubah menjadi Universitas. Walaupun gejala ini seolah mengembalikan arus sejarahnya sendiri, karena dahulu keluar dari UII agar bisa lebih fokus “mengkaji” agama. Namun alih-alih semakin “dalam” mengembangkan kajian keislaman, lembaga ini justru kembali menjadi universitas yang mencakup ilmu umum. Keadaan yang menggelisahkan para dosen yang berlatar “pesantren” (sebagian adalah anaknya kiai) inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab mereka mendirikan “pesantren mahasiswa”.

Baca Juga:  Posisi Pesantren dalam Kebhinnekaan NKRI

Di samping kegelisahan dan kekhawatiran para kiai terhadap para santri dan anak-anak nya yang sedang menempuh pendidikan formal di IAIN. Kerinduan para anak kiai (yang sudah menjalani proses pendidikan formal dan bahkan menjadi bagian dari lembaga pendidikan tersebut) terhadap “kultur” pesantren, juga menjadi faktor penting dalam munculnya fenomena berdirinya “pesantren mahasiswa” ini. Karena itu tidak perlu heran jika pesantren-pesantren mahasiswa tersebut berkembang pesat (awalnya) di sekitar kampus IAIN. Hal ini selain untuk menampung mahasiswa yang berlatar santri, juga bertujuan menguatkan kembali bekal ilmu agama mahasiswa terutama mereka yang tidak terlalu kuat “basic” pesantrennya. Proses ini terus berkembang sampai saat ini. Bahkan kebutuhan mahasiswa akan “pesantren” ini semakin besar dan menguat di masyarakat. Karena itulah kemudian IAIN yang sudah mulai banyak bertransformasi menjadi Universitas mulai mengembangkan “asrama” mahasiswa yang mereka miliki menjadi pesantren kampus. Untuk sementara ini, pesantren kampus atau yang dikenal dengan Ma’had, baru bisa melayani mahasiswa baru. Namun ke depan diharapkan mereka bisa lebih lama atau bahkan sampai lulus berada dalam “kultur pesantren mahasiswa” atau pesantren kampus. Kampus UIN yang menginisiasi dan mengawali pengelolaan Ma’had secara “serius” diantaranya adalah UIN Malang dan UIN Surabaya. Mereka menempatkan dosen yang kuat basis kultur pesantrennya untuk menjadi pengelola atau yang difungsikan sebagai “kiai” dalam subkultur pesantren. Meskipun tidak seutuhnya bisa mewakili “figur kiai”, paling tidak ihktiar ini memberikan warna baru dalam dinamika pendidikan Islam. Rintisan inilah yang kemudian diadopsi oleh IAIN atau UIN lainnya. (Bersambung) #SeriPaijo. [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Musik dan Nyanyian
    Opini

    Musik dan Nyanyian (3)

    Al-Isfahani, dalam bukunya yang terkenal Al-Aghani (Nyanyian), mengatakan bahwa selama penyebaran Islam di ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini