Mengucapkan salam sejatinya membungkam ego sendiri

 الفرض افضل من نفل وان كثر # فيما عدا اربعا خدها حكت دررا

بدء السلام اذان مع طهارتنا # قبيل وقت و ابراء لمن عسرا

Dua bait di atas beberapa kali disebutkan oleh Habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Al-Syathiri dalam kitabnya syarah yaqutu al-Nafis. Dua bait ini, menjelaskan tentang pengecualian dari kaidah umum, “ibadah yang bersifat wajib lebih utama dari pada perbuatan sunah dengan tujuh puluh derajat”. Setidaknya, ada empat perbuatan sunnah yang bernilai lebih utama dari pada perbuatan wajib, sesuai bait di atas. Pertama, memulai untuk mengucapkan salam. Kedua, adzan. Ketiga, bersesuci sebelum masuk waktu shalat. Dan keempat, membebaskan hutang atas orang yang sedang sulit.

Pertanyaan menggelitik yang muncul dari seorang kawan intelek muslim,  mengapa memulai salam lebih utama dari pada menjawab salam, padahal hukum mengucapkan salam sunnah. Sementara menjawab salam hukumnya wajib? Kebanyakan dari kawan-kawan akan menjawab pertanyaan sederhana ini sesuai jawaban konvensioanl yang menggunakan pendapat ulama semisal pendapat Qhadi Husain yang berpendapat memulai salam lebih utama dibanding menjawab meski hukum memulai salam sebatas sunnah karena berdasarkan Hadis Nabi,

 اولى الناس بالله من بدأهم بالسلام

Artinya, “orang yang lebih utama di sisi Allah adalah orang yang mengucapkan salam lebih dulu diantara mereka”.

Pada dasarnya, jawaban seperti ini sah-sah saja sebab menggunakan jawaban dogma dari syar’i sendiri yang tidak bisa dibantah lagi. Namun sebenarnya, untuk menjawab pertanyaan di atas tidak sesederhana yang dibayangkan. Untuk mengetahui lebih dalam mengapa memulai salam lebih utama dibanding menjawabnya? (Padahal menjawab hukumnya wajib) terlebih dulu mesti mengetahui makna salam itu sendiri.

Menurut Habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Al-Syathiri, salam adalah jaminan keamanan bagi seseorang yang di ajak dialog  menyangkut martabat, harta dan nyawanya dari pengucap salam. Begitu sebaliknya, orang yang menjawab salam sudah berikrar tentang keselamatan bagi pengucap salam dari dirinya sendiri. Habib Ahmad megutip hadis untuk menguatkan pengertiannya tentang salam

المسلم من سلم المسلمون من لسانه و يده

Artinya, “Seseorang yang muslim (mengucap salam) adalah orang yang aman dari lisan dan tangannya”.

Tidak kalah penting untuk diketahui adalah tentang sifat salam. Salam sendiri, adakalanya bersifat normatif; seperti salam yang di jadikan rukun shalat, dan adakalanya bersifat budaya. Sedangkan salam yang dimaksudkan disini adalah salam yang bersifat budaya yang memiliki nilai sama, yaitu damai sentosa. Maka tidak heran, jika ada sebagian cendikiawan muslim membolehkan pengucapan salam diganti dengan kata sapaan seperti selamat pagi dll. Karena yang dimaksud adalah salam yang bersifat budaya yang memiliki nilai atau tujuan untuk menebar kedamain. Hal ini, bisa di ketahui melalui hadis Nabi yang diriwayat Bukhari dan Muslim,

عن عبد الله بن عمر بن العاص رضي الله عنهما: أن رجلا سأل رسول الله: اي الاسلام خير قال تطعم الطعام و تقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف (رواه البخاري و مسلم)

Artinya, “Dari Abdullah bin Umar bin ‘Ash, “bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi tentang islam yang paling baik? Lalu Nabi menjawab, kamu memberi makanan dan kau mengucapkan salam pada orang yang kau kenal ataupun tidak kenal”.

Dari hadis ini, memberi isyarat bahwa tujuan salam sebenarnya adalah menebar kedamaian dan keamanan melalui media salam (sapaan akrab) sebagaimana pengertian di atas, baik untuk orang yang telah dikenal ataupun tidak dikenal. Sementara untuk menebar kedamaian terkadang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ada sebagian masyarakat kalau di sapa dengan salam terkadang malah bingung atau bahkan terancam, maka sebaiknya menggunakan kata yang sudah lumrah dipakai untuk sapaan akrab semisal: halo, selamat siang dll.

Di sisi lain, menyapa untuk menebar kedamaian atau mengucapkan salam “tidak sekedar mengucap salam”, namun memiliki filosofi tersendiri yaitu membutuhkan mental kerendahan hati. Karena menyapa atau mengucap salam lebih dulu sebenarnya menekan ego kesombongan kita pada sesama. Seseorang cenderung enggan menyapa lebih dulu karena disana ia akan terlihat rendah dan merasa membutuhkan pada orang yang di sapa. Oleh karena itu, Nabi melambangkan ucapan salam atau “menyapa lebih dulu” sebagai bentuk pangkal segala kerendahan hati yang terpuji. Sebagaimana yang disebutkan oleh imam Suyuti dalam kitabnya Lubabu Al-Hadist.

رأس التواضع الابتداء بالسلام

Artinya, “pangkal dari rendah hati adalah mengucapkan salam lebih dulu”.

Dari sinilah, maka para ulama berpendapat bahwa mengucapkan salam lebih utama dari pada menjawab salam meski hukum mengucapkan salam hanya sunnah dan menjawab salam wajib, karena mengucapkan salam memiliki nilai lebih selain menebar kedamaian yaitu untuk melawan serta membungkam ego kesombongan dirinya sendiri. []

Mohammad Soleh shofier
Mahasantri Ma'had Aly salafiyah Syafi'iyah Situbondo

    Rekomendasi

    Kiai Nganggur
    Opini

    Kiai Nganggur

    Sejak awal 90an, banyak sekali putra kiai dari berbagai daerah yang mondok di ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini