Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, memulangkan santri sejak tanggal 20 Maret 2020 atau 4 hari setelah pemerintah menerapkan pembatasan-pembatasan sosial di banyak. Mungkin ini pesantren yang paling cepat memulangkan santri, bahkan saat itu, kota Surabaya saja masih “bandel”. Tremas memang pesantren yang sejak dahulu dinilai sangat responsif menghadapi perubahan-perubahan.
Dari sekitar 4.200 jumlah santri, 3.900 santri pulang kampung. Sisanya, tetap di pesantren karena ada yang menjalani tradisi pulang paling cepat setelah tiga tahun dan memang jika pulang malah ada resiko di jalan.
Para santri yang pulang pun menggunakan protokol yang relatif ketat. Mereka dijemput walinya masing-masing dan rombongan di koordinasi cabang cabang IAPT (ikatan alumni Pondok Tremas). Tremas sendiri tidak punya mobil mengangkut santri, tapi Ikatan Alumni Pondok Tremas (IAPT) sudah ada yang memiliki mobil elf. Mobil ini turut memulangkan santri sesuai protokol kesehatan.
Gus Lukman, salah satu pengasuh di Tremas, di bulan pertama pesantren “kosong” tidak merasa ada yang aneh, namun saat memasuki bulan kedua, saat listrik mulai dibayar, saat guru-guru dan pengurus pesantren harus gajian, saat dia keliling masyarakat di lingkungan pesantren, keanehaan mulai datang.
Keanehan makin sempurna saat bulan suci Ramadan tiba. “Ramadan di Tremas syiar pengajian dan ekonomi masyarakat naik, sebagaimana di pesantren lain. Namun kali ini situasinya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata,” ujar Gus Lukman melalui fasilitas suara di WA. Ada nafas yang tertahan saat ia mulai berbicara ekonomi masyarakat. Tangis pun tidak bisa dibendung.
Gus Lukman bercerita bahwa hampir 3.000 santri menghidupi ekonomi masyarakat. “Hampir 3000 santri putra makannya dikelola oleh masyarakat. Sementara santri putri yang berjumlah lebih dari seribu makannya dikelola oleh keluarga pesantren,” jelasnya.
Pihak pondok, kata Gus Lukman, menjelaskan situaasi ekonomi bukan saja pada para guru-guru dan pengurus pondok, namun juga pada masyarakat. “Kami berhemat, listrik kemudian bapak dan ibu guru juga kami berikan pemahaman, kami beri arahan, kita ini swasta. Krisis ini juga bisa lama, tidak hanya dua-tiga bulan. Alhamdulillah maklum semua,” jelasnya.
Guru-guru memaklumi itu semua mungkin karena Gus Lukman juga menjelaskan ekonominya sendiri.
“Umumnya orang kan selalu tabu menceritakan ekonominya, saya terus terang saja. Saya bilang ekonomi saya juga terimbas. Alhamdulillah memaklumi. Anak dan istri sama-sama paham. Dan saya kira ribuan kiai juga mengalami hal yang sama, mereka tidak cerita saja. Semua pengasuh pesantren hampir seluruhnya mengalami kayak saya, saya kasih contoh saya,” ungkapnya
Gus Lukman memaklumi juga guru-guru dan masyarakat yang mengeluh karena kondisi ekonomi tapi mengerti juga bahwa keselamatan bersama harus didahulukan. “Kami belum nyaman dan aman jika saat ini membuka pesantren. Kami punya mazhab hifzdun nafsi harus didahulukan di atas segala-galanya,” Gus Lukman memungkasi. [HW]
Artikel ini sudah pernah dimuat di Alif.ID