corona musibah atau anugerah

Pandemi Corona bukan hanya masalah kesehatan yang merenggut banyak nyawa. Tetapi juga masalah ekonomi yang diperkirakan Indonesia bisa jatuh ke angka negatif tiga. Kalau ini terjadi rakyat akan kelaparan, kehilangan pekerjaan. Akibatnya kriminalitas akan meningkat tajam karena banyak perut yang tak terisi makanan.

Maka, perlu kiranya kita mencermati nasihat kiai pesantren yang selama ini didengungkan: Agar agama memanusiakan kembali kemanusiaan kita. Maka, saat interaksi dibikin berjarak, kemanusiaan kita harus tetap menjaga solidaritas. Saatnya saling dukung, saling jaga, saling bantu dan saling mendoakan. Bukan malah saling menyalahkan dan berebut pencitraan.

Di sisi lain, kalau kita merenunginya, wabah Corona justru membawa hikmah luar biasa. Langit kembali biru dan aliran sungai menjadi jernih karena berkurangnya aktivitas pabrik. Kicau burung terdengar bersahutan karena jalan raya tak lagi bising dengan suara knalpot dan klakson. Keluarga yang selama ini jarang duduk bersama, kini lebih banyak berkumpul di rumah.

Kalau ada sementara pihak yang protes mengapa masjid ditutup dan kemudian muncul teori-teori konspirasi, maka mereka lupa sesuatu. Bahwa di luar sana tempat judi terbesar di dunia pun tutup. Bar-bar dan klub malam di New York, Paris dan London tutup semua. Tempat prostitusi juga tutup. Kemaksiatan juga berhenti karena Corona.

Di saat manusia dihantui virus Corona perlahan alam semesta menemukan kembali harmoninya. Sebenarnya, inikah musibah atau malah anugerah? Inikah bencana atau rencana baik ilahi? Inikah azab atau inikah cara Tuhan mengajarkan adab pada semesta?

Dalam surat Al-Baqarah ayat 286 disebutkan kalau Allah tak akan menguji hamba-Nya melampaui kemampuannya. Maka, izinkan kita berterima kasih kepada Allah saat ini. “Terima kasih, ya Allah. Engkau turunkan Corona, ini artinya engkau percaya kami akan sanggup menjalani dan menghadapinya. Kami pun percaya wabah ini tidak akan membebani kami di luar batas kesanggupan kami, karena ini janjimu.”

Baca Juga:  Menyikapi Musibah dan Bencana: We Are Living With The Enemy Perspektif Leibniz

Jadi teringat perkataan Syekh ibnu Athaillah, “Boleh jadi kita dapat pengalaman baru dalam penderitaan apa yang tak didapat dari puasa dan salat.”

Datangnya cobaan tidak hanya meniscayakan sabar, tapi juga syukur. Karena di balik ujian itu ada karunia yang hendak diberi Allah. Tidak akan dikabulkannya doa kita sampai mempersiapkan dulu hal-hal mendasar, sehingga kita benar-benar siap dengan karunia yang diberikan-Nya.

Lantas saat doa kita terkabul kelak, kita tidak dibiarkan-Nya menjalani kesendirian. Jadi tidak akan dilepaskan-Nya kita begitu saja oleh Allah. Semua titik kecil yang berserakan dihimpun menjadi sebuah aksara, “Kun Fayakun.”

Ringkasan ceramah Gus Nadir pada acara Doa Bersama dan Pertaubatan Global. [HW]

Muhammad Miqdadul Anam
Mahasantri Ma'had Aly An-Nur II Al-Murtadlo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini