Opini

Corona, Ketika Dunia Merasakan Disabilitas Sementara

(Ilustrasi: Solider.id)

Tidak bisa mudah keluar, akses publik terbatas sekali pilihannya karena tempat yang dituju mungkin tidak memiliki fasilitas yang menjamin; tidak boleh naik kendaraan umum dan harus menghindari kerumunan. Lebih baik dirumah saja.”

Apakah Corona yang terpikir di benak anda ketika membaca situasi diatas? Kemungkinan besar iya.
Tapi bagi beberapa dari kita sudah biasa merasakannya. Ada pandemi atau tidak, keterbatasan gerak menjadi makanan sehari-hari.

So, I would like to say: Selamat datang di dunia Disabilitas -meski sementara. Hehehe…

Ketika mengikuti kelas online bersertifikat mengenai Disabilitas dan HAM di salah satu situs. Saat itu, tugas pertama yang kami lakukan adalah melihat film pendek berjudul “Jeremy The Dud”. Film komedi yang dibuat oleh Gen U, organisasi PwD terkemuka di Australia mengisahkan Jeremy si orang normal yang selama ini hidup di panti pemerintah sejak orang tuanya meninggal. Jeremy yang beranjak dewasa, harus pergi dari panti dan tinggal bersama keluarga sepupunya kemudian berusaha mencari pekerjaan.

Masalahnya, dunia dimana jeremy tinggal mengambil setting semua orang adalah penyandang disabilitas. Di dunia Jeremy, setiap mereka yang normal diperlakukan dengan prasangka, stigma, dan sikap merendahkan yang sama dengan yang dihadapi penyandang disabilitas di masyarakat kita sendiri.

Setelah melihat film pendek tersebut, saya sempat berpikir, andai orang-orang merasakan keterbatasan setengah hari saja dalam hidupnya. Tentu saya tidak ingin ada lebih banyak orang mengalami perundungan dan diperlakukan dengan buruk karena stigma. Namun mencoba memakai sepatu orang lain akan membantu mengerti kondisinya dan akan lebih membuka mata.

Sekilas saja pikiran tengil tersebut. Lamenting sesaat. Tapi mungkin saat itu ada malaikat lewat.

Here we are. Kok ya bisa saya beruntung masih ditakdirkan hidup pada saat terjadi pandemi Corona.

Baca Juga:  Tingkatkan Layanan Responsif Disabilitas, Perpustakaan IAIN Kudus Benchmarking ke UB Malang

Global pula.

Bagai dua sisi koin. Di satu sisi korban yang berjatuhan membuat hati rasanya terus-terusan ngiris brambang. Tapi di sisi lain I am laughing merrily, ketika orang-orang normal yang bisa tinggal di rumah saja mengeluh tentang banyak hal malah ada yang stress hingga butuh bantuan. Saya sebut beberapa aja ya,

Stigma negatif penderita covid dan orang di sekelilingnya. Ingat pasien 01 Indonesia yang jadi bulan-bulanan media, dihujat netizen hingga dokter dan perawat yang diusir dari kost karena dianggap pembawa wabah? Ssetali tiga uang dengan masyarakat yang mengira PwD itu lemah, tidak bisa mandiri, beban sosial atau berintelegensi rendah.

Terbatasnya fasilitas penunjang di ranah publik, tidak semua tempat umum memiliki bilik desinfektan. Persis seperti tidak semua tempat memiliki jalur landai dan jalur khusus tuna netra.

Takut penyebaran virus sehingga harus menghindari keramain. Sama seperti pemakai tongkat yang takut jatuh tersenggol orang atau terdesak kerumunan.
Ramai-ramai mencari buku elektronik untuk mengatasi bosan dan stress terus di rumah. Tidak beda dengan saya yang gila baca namun 80 % perpus hanya bisa saya masuki hingga lantai dasarnya saja sehingga ebook adalah pilihan pertama.

Every dark clouds has a silver lining. I don’t think so. Masa gelap menghadapi covid-19 tidak hanya memiliki satu saja garis terang. Banyak perbuatan baik dan heroik dilakukan. Dokter dan perawat Makin dicintai karena dedikasi mereka hingga bergulat sendiri dengan kematian guru makin dihormati karena ternyata ngajar anak dirumah itu susah.

Menurut saya nambah satu lagi, bersimpati dan berempati pada PwD atas keterbatasan mereka bukan karena kondisi fisik yang ada. Karena sejatinya sama seperti Corona saat ini, keterbatasan itu muncul dari faktor luar bukan karena tidak bisa

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini