Resensi Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas

Sebagai seorang difabel atau penyandang disabilitas atau penyintas disabilitas atau ada juga yang menyebut penyandang cacat, “Hore!” adalah reaksi yang saya berikan ketika saya tahu buku ini terbit untuk pertama kalinya.

Sebagai santri yang masih gratulan membaca kitab gundul dan butuh bantuan kamus -sehingga Al Islam Wal I’aqoh karya Syaikh Wahbah Zuhaili terasa seperti ujian akhir semester oleh dosen yang paling killer, buku ini seperti tabel unsur periodik yang memudahkan sekali. Andai 30 tahun sebelumnya sudah terbit, tentu saya tidak akan sering pusing sendiri ‘mengakali’ ibadah sehari-hari.

Percayalah It’s all quite hard. ketika di rumah dan bisa bersikap normal karena segala fasilitas memudahkan dan tersedia, saya bisa melakukan semua secara mandiri. Namun ketika berkunjung ke kerabat dan ternyata fasilitasnya tidak memadai atau tidak sesuai, hal-hal ringan seperti mengambil wudhu saja bisa berakhir dengan cedera karena terpeleset terantuk atau baju saya tidak tentu bersih dan suci atau tidak karena satu tangan digunakan untuk wudhu dan satu lagi harus memegangi baju sementara saya bersandar ke tembok. Berkali-kali ketika melihat lantai licin saya akan ‘ngawur’ memilih untuk tayamum saja padahal air melimpah. Jadinya ya shalatnya hurmat waktu saja. Nyauri shalat lagi ketika sudah di rumah sudah biasa ketika habis bepergian jauh.

Bisa jadi Anda akan merasa bahwa saya agak snobbish karena dengan segala fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh orang tua saya, selain tumpukan kitab fiqih karya belasan ulama dan dari berbagai mazhab yang bisa saya baca dan rujuk untuk belajar juga orang tua yang bisa langsung menerangkan isinya kok berani sekali untuk mengeluh. Di luar sana, tidak usah jauh-jauh mengangankan tengah hutan Kalimantan, tetangga Desa saja ada yang membiarkan anaknya tidak belajar salat karena jemarinya melengkung ke belakang dan tidak bisa berwudlu atau memegang apapun secara normal. Ingin memberikan fasilitas tidak berdaya, ilmu juga tidak punya. Karena itulah buku ini sedemikian pentingnya.

Baca Juga:  Maqashid al-'Ibadat: Menuju Kesempurnaan Memahami Agama

Isinya tidak seperti bahtsul masail PBNU biasanya yang langsung berisi tanya jawab dan pembahasan setelah pengantar dan pembukaan, buku fiqih penguatan penyandang disabilitas ini ini tiga bab awalnya berisi penjelasan panjang dan cukup lengkap mengenai alasan dan tahapan penulisan buku situasi difabel di Indonesia secara umum dan pandangan Islam mengenai disabilitas.

Bab 4 dari buku adalah bahtsul masail disabilitas terbagi menjadi 4 sub-bab yakni bagian ibadah; ekonomi dan sosial; bidang hukum dan kebijakan juga masalah pernikahan dan keluarga. Cukup lengkap dan tuntas menurut saya. Dari mulai dari pertanyaan Apakah salat dan masuk masjid menggunakan kursi roda atau tongkat najis? Bagaimana keabsahan salat menggunakan kateter? Bagaimana kewajiban menyediakan fasilitas umum termasuk masjid yang aksesibel bagi difabel? Bagaimana konsep kafa’ah dan disabilitas? Hingga masalah yang membuat senyum terkulum seperti Bagaimana hukum berpura-pura menjadi penyandang disabilitas untuk mengemis juga dibahas.

Total ada 86 pertanyaan yang dibahas. Seperti biasanya bahwa buku Fikih kerap menimbulkan ambigu & harus dibaca dengan petunjuk guru, untung di buku ini argumen rujukan dalil-dalil yang dipakai lengkap dan bisa ditelusuri ulang.

Ada yang menarik pada pembahasan mengenai tunagrahita.

Pada paragraf di halaman 91: “menurut Abdul Wahab khalaf pakar usul Fiqih terkemuka, kondisi manusia dari segi kelayakan untuk melakukan ibadah itu ada 4 yaitu pertama orang yang sama sekali tidak mempunyai kelayakan untuk melakukan ibadah yaitu anak kecil di usia belianya dan orang penyandang gangguan jiwa di usia berapapun. keduanya tidak mempunyai kelayakan sebab tak mempunyai kesadaran sehingga perbuatannya secara hukum dianggap batal. Ketiga adalah orang yang kurang kecakapannya yaitu anak kecil di usia Mumayiz ( usia yang mampu membedakan baik dan buruk) dan orang yang mengalami keterbelakangan mental. Keempat adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan ibadah yaitu orang dewasa yang non disabilitas.”

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Paragraf di bawahnya kemudian berbunyi:

“Penyandang disabilitas grahita masuk dalam kategori kedua.”

Jika merujuk pada paragraf sebelumnya maka Apakah di buku ini tunagrahita dianggap masuk kepada kategori ‘orang penyandang gangguan jiwa di usia berapapun’?

Menurut laman hello sehat Tunagrahita atau juga disebut sebagai disabilitas intelektual, merupakan kondisi di mana anak memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
(https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/ciri-ciri-anak-tuna-grahita/?amp=1)

Sedangkan gangguan jiwa adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. (https://www.alodokter.com/kesehatan-mental)

Gangguan jiwa bukanlah kondisi bawaan lahir maupun karena kecelakaan dan ada kemungkinan tidak tersembuhkan seperti kasus difabel tunagrahita. Penyakit jiwa bisa disembuhkan melalui pengobatan dan terapi. Penyakit jiwa bisa menyerang orang dewasa normal yang mengalami stress berat dan depresi karena masalah hidupnya.

Tunagrahita berbeda karena bisa jadi sejak awal tunagrahita malah sama sekali tidak bisa merasakan depresi atau stres karena tidak memiliki kemampuan untuk merasa stress sama sekali. Dalam banyak kasus, tunagrahita justru serupa dengan retardasi (keterbelakangan) mental.

Tetangga saya ada yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan tidak bisa menamatkan pendidikan di tingkat Tsanawiyah dia tetap mengerti ibadah sehari-hari, halal-haram dan bisa bekerja serabutan meski pengelolaan keuangan dan hartanya diatur oleh keluarga.

Saya tidak terima pada ketidakmampuan saya mengerti kalimat bahwa di buku Fiqih ini tunagrahita disamakan dengan penyakit jiwa. Langkah terakhir saya merepotkan teman saya Ning Farah Firyal meminta second opinion beliau atas paragraf tersebut. Sama merasa ambigu kami pun lari ke rujukan yang disebut kitab Ushul fiqih oleh Syekh Abdul Wahab khallaf halaman 137. Kitab saya bentuknya PDF sedang kitab Neng Farah fisik dan yang tertera adalah

Baca Juga:  Belajar Tawasut dari Sebuah Novel

الانسان بالنسبة لاهلية الاداء له حالات ثلاث

Nah.. kok tadi disebut ada 4?

Sepertinya ada salah cetak dan harus direvisi. []

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka