Marhaban Ya Ramadhan. Alhamdulillah Wa Syukru Lillah, Insyaa Allah kita memasuki 1 Ramadan 1441 H, Jumat, 24/4/2020. Inilah bulan suci penuh kasih sayang, ampunan, dan di manjakannya kita sebagai hamba-hamba Allah yang beriman, yang kita nantikan. Tak terasa, setahun usia kita bertambah, dan Allah melimpahkan kasih sayangnya pada kita, sehingga kita sampai di bulan Ramadan ini.

Artinya, kasih sayang Allah tak terhingga, ini kesempatan kita untuk mensucikan segala macam dosa baik vertikal maupun horizontal. Dosa vertikal kita sucikan dengan ibadah puasa, dengan menjaga makan, minum, dan hubungan suami istri, dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa, serta beristighfar memohon ampunan-Nya. Dosa-dosa sosial kita sucikan melalui ritual ikrar saling memaafkan, yang membudaya di menjelang masuk bulan suci Ramadan. Jika dalam situasi normal, mushafahah atau bersalaman adalah medium untuk membersihkan dosa sesama saudara, teman, dan sahabat, karena kondisi pandemi Covid-19, maka sementara yang terpenting kita berucap minta atau memberi maaf. Karena pemaaf adalah indikator ketaqwaan yang haqiqi. Karena bagi orang yang bertaqwa, pantang menyimpan dendam, syirik, iri hati, dan sifat-sifat negatif lainnya.

Rasulullah saw menganjurkan, “barangsiapa berpuasa Ramadan dengan dasar iman dan muhasabah, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu”(Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Karena puasa adalah gabungan antara ibadah fisik jasmani yang harus menanggung lapar dan haus, maka keikhlasan menjadi tidak mudah merasuk dalam hati. Godaan-godaan akan selalu muncul, misalnya ketika melihat orang lain dewasa yang dengan “nyamannya” makan di warung di siang hari, atau ketika melihat ada berbagai minuman yang menarik.

Atau pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, puasanya belum mampu mempuasakan indra, apalagi hati dan fikirannya. Karena itu, Rasululkah saw menunjukkan bahwa “aroma mulut orang yang puasa — meskipun boleh jadi secara lahiriyah tetap saja agak kurang enak —adalah laksana wanginya aroma minyak kesturi (misik)”. Ini adalah bahasa simbolik, bahwa orang yang berpuasa, tentu perlu mempuasakan mulut agar lisannya terjaga, untuk berucap yang baik, atau kalau tidak bisa bertutur kata baik, maka lebih baik diam. Karena diam adalah emas atau wangi minyak misik.

Baca Juga:  Puasa: Momentum Membangun Sikap Anti Kekerasan Seksual

Salah satu usaha untuk menjadikan kita ikhlas adalah memahami makna dan tujuan puasa. Karena banyak orang menjalankan ibadah, dia merasa susah dan tidak merasakan kenikmatan beribadah adalah karena tidak adanya pemahaman. Merujuk pada kata hikmah dari Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary, dikatakan “innamaa yu’limuka al-man’u bi ‘adami fahmika ‘an Allah fiihi” artinya “Sesungguhnya yang menjadikan kamu bersusah hati karena tidak ada pemberian, adalah karena kamu tidak memahami pemberian Allah (kepada kamu yang sebenarnya)” (KH Sholeh Darat, Syarah Al-Hikam, Depok: Sahifa, 2016, hlm. 24).

Rasulullah saw sudah memberikan wanti-wanti atau peringatan dalam sabda beliau: “Banyak dari orang yang berpuasa, mereka tidak mendapatkan (apa-apa) dari puasanya, kecuali lapar dan haus” (Riwayat An-Nasa’i). Bagi hamba-hamba yang memahami arti, makna, dan hikmah puasa, apalagi di bukan Ramadan, maka berpuasa adalah kenikmatan. Karena diberi umur panjang sampai ketemu di bukan penuh berkah, rahmah, dan maghfirah, adalah suatu kenikmatan luar biasa.

Sementara bagi sebagian orang yang belum atau tidak memahami makna puasa, perintah berpuasa adalah laksana “bencana” atau beban sangat berat untuk dijalankan. Implikasinya, orang yang demikian, pasti akan terasa berat. Bahkan boleh jadi, pertimbangan puasa tidak secara tulus dan ikhlas diniatkan untuk mensyukuri nikmat umur dan kesehatan, akan tetapi lebih karena kepentingan sosial keseharian semata. Semoga tidak ada lagi yang demikian. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kita harus melatih, membiasakan diri kita, anak-anak kita, lingkungan kita, supaya terbiasa dengan menjalankan ibadah puasa. Pada akhirnya, Allah akan memberi kesempatan bahwa ibadah kita sampai pada keyakinan dan keikhlasan (QS. Al-Hijr (15):99).

Baca Juga:  Memori Indah Ramadhan di Waktu Kecil

Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita ikhlas, khusyu’, dan ridha menjalankannya, kita yakin Allah akan menerima ibadah kita. Allah a’lam bi sh-shawab.
Ngaliyan, Semarang, 24/4/2020-1/Ramadan/1441H. [HW]

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah