3 Kata Untuk Lata Mangeshkar: Konsistensi, Kesederhanaan, dan Totalitas

Ada beberapa sosok yang suaranya stabil walau berada di usia senja. Rhoma Irama, qari legendaris Muammar ZA., Klause Meine vokalis Scorpions, dan tentu saja Lata Mangeshkar.

Ketika menyanyikan Do Pal, salah satu lagu dalam Veer-Zaara (2004) suaranya tetap merdu. Stabil enak didengar sebagaimana dia melantunkan Mera Dil Ye Pukare Aja pada 1954, setengah abad, ya setengah abad, sebelumnya melalui film Nagin. Sebuah lagu klasik yang diakui Rhoma Irama sebagai awal indera pendengarannya berkenalan dengan suara Lata Mangeshkar.

Apakah hanya Wak Kaji Rhoma saja yang terpesona dengan Lata? Tidak Rhoma, tidak! Musisi sekaliber Freddy Numberi, eh Freddy Mercury saja juga terpengaruh oleh perempuan kelahiran 1929 itu. Freddy alias Farrokh Bulsara, terinspirasi oleh suara Lata manakala sebagai bocah dia mendengarkan piringan hitam atau via radio saat tinggal di Mumbai, India.

Membincang Lata berarti mendiskusikan tiga hal: konsistensi, kesederhanaan, dan totalitas.

Soal konsistensi, Lata Mangeshkar hanya bisa ditandingi adiknya, Asha Boshle. Keduanya, dalam kurun waktu 70 tahun terakhir telah menyumbangkan suaranya dalam puluhan ribu lagu, ratusan OST film, dan mendendangkan melodi dalam puluhan bahasa lokal di anak benua India.

Ketika menyanyikan beberapa lagu dalam Kabhi Khusi Kabhie Gham (2001), Lata sudah sangat sepuh. 72 tahun. Tapi masih prima dan ciamik. Demikian pula saat suaranya mendominasi lagu-lagu dalam Veer-Zaara (2004). Namun, di antara yang terbaik, Mohabbatein (2001), Dil Se (1998), Dil To Pagal Hai (1998), dan Dilwale Dulhania Le Jayenge (1995). OST film terakhir ini bagi saya adalah di antara yang terbaik, selain filmnya yang tercatat dalam Guinness Book Of Record sebagai film yang diputar secara terus menerus selama 20 tahun non-stop (1995-2015) di salah satu bioskop di Mumbai. Gila!

Baca Juga:  Kesederhanaan dan Kesadaran Islam Nusantara

Susunan lirik dan dipadu dengan melodi dalam Ho Gaya Hai Tujhko To Pyaar Sajna dalam film ini, yang dinyanyikan Lata bersama Udit Narayan adalah yang terbaik. Uniknya, Udit lahir pada 1955 dimana saat itu Lata sudah menjadi playback singer. Ini adalah salah satu duet paling oke di abad XX selain Pierre-Marie Currie, Will-Ariel Durant, Xavi-Iniesta, dan Sukarno-Hatta.

Hanya, sayang sekali, duet komposer Jatin-Lalit tidak memakai suara Lata dalam Kuch-Kuch Hota Hai (1998). Dia memilih juniornya, Alka Yagnik. Di Mann (1999), duo komposer Sanjeev-Darshan melewatkannya dan memilih Anuradha Paudwal, Alka Yagnik, dan Hema Sardesai mendampingi Udit Narayan.

Lata juga cocok bekerjasama dengan sutradara musik berbagai genre: ayah anak Sachin Dev dan Rahul Dev Burman, Hemanta Kumar, A.R. Rahman, Anu Malik, Rajesh Roshan, Kalyanji Anandji, Jatin-Lalit, Shankar Jaikishan, Laxmikant-Pyarelal, Anand-Milind, Sanjeev-Darshan, Nadeem-Shravan, Raam-Laxman, dan komposer lain. Di YouTube, kita bisa mencari suara Lata yang menyanyikan melodi garapan komposer manapun. Bahkan, ada satu akun YouTube yang menyediakan satu video berisi 100 lagu garapan duo komposer Laxmikant-Pyarelal yang dinyanyikan Lata dengan durasi tayang 8,5 jam non-stop.

Dia pula yang bisa luwes berduet playback singer berbagai zaman. Sejak era Mohammed Rafi, Kishore Kumar, hingga Kumar Sanu, Udit Narayan, Abhijeet Battacharya, dan Sonu Nigam.

Sutradara legendaris, Yash Chopra, juga nyaris selalu melibatkannya dalam proyek prestisiusnya. Total ada 21 film garapan mertua Rani Mukherjee itu yang melibatkan suara Lata sejak 1959. Sebagai pengecualian, hanya dalam Jab Tak Hai Jaan (2016), film terakhir garapan Yash sebelum wafat, yang tidak melibatkan Lata.

Konsistensinya dalam olah tarik suara
memang tidak main-main. Soal penghargaan di bidang musik maupun dalam konsistensi berkarya, sudah dia dapatkan dari berbagai lembaga, swasta maupun plat merah. Dalam maupun luar negeri. Silahkan dilacak di biografi singkatnya yang berceceran di internet.

Baca Juga:  Kesederhanaan KH. Marzuki Mustamar, Ketika di Kampus Mengajar

Berdendang sudah menjadi panggilan jiwanya. Karena itu Lata sewot manakala pada 2012 sebuah harian di India menyebutnya bakal pensiun menyanyi. Tidak, katanya, aku akan menyanyi hingga akhir hidupku. Dan, terbukti.

Soal kedua, kesederhanaannya. Rhoma Irama, dalam podcast Bisikan Rhoma, menuturkan kekagumannya pada kebersahajaan Lata. Sebagai seorang legenda hidup, wajar apabila dia bakal menghuni rumah megah atau apartemen mewah. Tapi, Bang Haji kecele. Di Mumbai, dia menjumpai Lata di sebuah apartemen kuno yang sangat sederhana dengan isi ruangan apa adanya. Lata menemui Bang Haji di ruang tamu yang juga tampak kuno. Tak ada perabot mewah. Dia juga menggunakan sari “murahan” dengan kosmetik yang tidak tampak memoles wajahnya. Dari obrolan ringan, barulah Bang Haji tahu bahwa itu adalah pilihan hidup, bukan keterpaksaan. Sebab, nyaris semua pendapatan Lata digunakan membangun rumah sakit dan kegiatan sosial.

Bang Haji, yang datang sowan Lata pada 1992, untuk mengerjakan proyek album khusus duet dengannya, menuturkan kekagumannya. Khususnya pada kualitas suaranya serta pada kecermatan dan kefasihannya melantunkan kalimat berbahasa Indonesia. Ganjalannya satu, Lata tidak fasih melafalkan “bunga”. Lidah Indianya selalu menyebut “bungga”. Kendala dalam rekaman lagu Sekuntum Mawar Merah ini akhirnya bisa diatasi. Dan, hasilnya dahsyat. Lengkingan Sang Ratu berpadu indah dengan suara Sang Raja. Di lagu lain, yang hanya sekali rekaman (one take), suara keduanya berpadu indah: Wahai Pesona, Di Tepi Pantai, Orang Asing, Musim Cinta, Datang Untuk Pergi, serta Puja. Kalau boleh memilih, di antara sekian album karya Bang Haji, Album Khusus Vol I (1992) dan Puja (1997) adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Semacam album terbaik Use Your Illusion I (1991)-nya Guns n Roses dan Silk Road-nya Kitaro.

Baca Juga:  Kesederhanaan dan Kesadaran Islam Nusantara

Soal totalitas, bagaimana? Nah ini yang perlu catatan. Capaiannya dalam tarik suara dengan rekor 30.000 lagu, nyaris dalam 1000 film, dan puluhan bahasa adalah buktinya. Dia bukan saja berdendang, melainkan memasukkan emosinya dalam nada yang dilantunkan. “Ketika Lata bernyanyi untukku, rasanya setengah dari pekerjaanku sudah selesai. Dia bukan saja bernyanyi, melainkan bisa mengeluarkan emosi terdalam dari lagu itu.” kata Sri Devi dalam sebuah komentar. Dalam catatan lain, jumlah lagunya diprediksi terjual hingga dua miliar kopi. Lebih banyak dari capaian Elvis Sukaesih, eh Elvis Presley.

*
Kisah hidup Lata adalah cerita klasik Bollywood tentang gadis yang tak menikah, menangguk sukses besar, namun selalu mempersembahkan segalanya untuk ayahnya. Demikian komentar Mihr Bose dalam “Bollywood: A History” (2016), sebagaimana diterjemahkan oleh Mas Mahfud Ikhwan dalam serpihan artikel mengenang Lata.

6 Februari silam, Permata India itu wafat di usia 92 tahun. Kematiannya menjadi duka seluruh negeri. Pemakamannya dihadiri petinggi negeri dan para aktor-aktris India. Narendra Modi bahkan meminta selama dua hari dijadikan hari berkabung nasional dan semua bendera berkibar setengah tiang.

Dia bagai Wolfgang Amadeus Mozart bagi Austria, Ludwig Van Beethoven bagi Jerman, Leonardo da Vinci bagi Italia, dan Maradona bagi Argentina. Tak terpisahkan dan tak tergantikan.

Dan, malam ini, gendang telinga saya masih menikmati tabuhan suara Bul-Bul Hindustan itu saat mendampingi Bang Haji dalam Wahai Pesona:

“O-oh, begitu pula bayang wajahmu
Selalu saja menggoda

‘Ku memanggilmu melalui lagu
Nada cinta merayu
Oh, wahai pesona….”. []

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini