Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita tentang karakteristik manusia bertakwa. Selain agar kita memahami ciri-cirinya, juga sebagai introspeksi diri apakah kita ada dalam jalur takwa tidak, agar kita dapat meraba sejauh mana ketakwaan kita kepada Allah telah mencapai substansinya. Allah sendiri menjamin hamba-Nya yang bertakwa akan mendapatkan hidup yang kekal di surga ditemani pasangan yang telah disucikan, lebih dari itu, karunia terbesar yang akan diberikan adalah rida dari-Nya.
Ciri-ciri orang yang bertakwa dapat kita lihat salah satunya dalam firman Allah surah Ali Imran ayat 16-17 yang berbunyi,
ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ إِنَّنَآ ءَامَنَّا فَٱغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ – ٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡمُنفِقِينَ وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِينَ بِٱلۡأَسۡحَارِ
[16] (Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari azab neraka.” [17] (Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu fajar. (QS. Ali Imran [3]: 16-17)
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah mereka yang berdoa “Allażīna yaqụlụna rabbanā innanā āmannā fagfir lanā żunụbanā wa qinā ‘ażāban-nār”, yakni orang yang senantiasa memohon ampunan dosa dan perlindungan dari neraka. Selanjutnya adalah orang-orang yang sabar, berlaku benar, taat, berinfaq, dan berdoa di akhir malam.
Al-Qusyairi menafsiri ayat ke-16 yakni orang-orang yang menyendiri sowan kepada Allah dengan rendah hati mengangkat kedua tangan berdoa dan mengeluhkan semua ujian dan musibah yang mereka alami. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kedudukan dan keistimewaan, derajat yang tinggi, dan pemberian yang diridai Allah. (Lathaif Al-Isyarat/1/224)
Al-Mawardi dalam kitabnya menjabarkan ada tiga interpretasi “Aṣ-ṣābirīn”, di antaranya: (1) Sabar dalam mengekang diri dari berbuat maksiat; (2). Sabar ketika ditimpa musibah; (3) Orang yang berpuasa.
Arti kata “aṣ-ṣādiqīn” ada dua; (1) Benar dalam bertutur kata; (2) Benar dalam berkata, merealisasikan dengan berperilaku, dan bertekad sesuai niat. Sedangkan “al-qānitīn” ada dua pendapat, menurut Qatadah yaitu orang yang taat, dan menurut Az-Zujjaj yaitu orang yang senantiasa mendirikan ibadah.
Kata “al-munfiqīn” juga mengandung dua tafsiran. Pertama, berarti jihad. Kedua, berarti seluruh kebaikan. Adapun “al-mustagfirīna bil-as-ḥār” ada tiga tafsiran:
- Orang yang salat di waktu sahur (sebelum fajar), ini pendapat Qatadah
- Orang yang beristigfar (meminta ampunan kepada Allah) dengan lisan, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Anas bin Malik
- Orang yang hadir mengikuti salat subuh berjamaah, pendapat ini dari Zaid bin Aslam (An-Nukat wa Al-‘Uyun/1/377-378)
Dalam tafsirnya, Ath-Thabari mengartikan doa dalam surah Ali Imran ayat 16 sebagai berikut:
- رَبَّنَآ إِنَّنَآ ءَامَنَّا, orang-orang yang mengucapkan, “Sesungguhnya kami beriman kepada-Mu, Nabi-Mu, dan semua yang datang kepada kami adalah dari-Mu”.
- فَٱغۡفِرۡ لَنَا, Semoga Engkau menutupi dosa-dosa kami dengan ampunan-Mu dan meniadakan hukuman kepada kami.
- وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ, Jauhkanlah kami dari azab dan neraka-Mu.
Lanjut Ath-Thabari terkait ayat ke-17:
(1) “Aṣ-ṣābirīn” artinya orang-orang yang sabar saat terkena musibah dan kesulitan.
(2) “Aṣ-ṣādiqīn” artinya orang-orang yang menyatakan iman kepada Allah dan utusan-Nya serta semua yang datang adalah dari Allah seraya melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
(3) “Al-qānitīn” artinya orang-orang yang taat kepada Allah.
Beliau juga mengutip pernyataan Qatadah:
(a) “Aṣ-ṣādiqīn” berarti orang-orang yang benar ucapannya, hati dan lisannya konsisten, benar dalam keadaan lahir dan batinnya.
(b) “Aṣ-ṣābirīn” berarti orang-orang yang sabar dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah.
(c) “Al-qānitīn” berarti orang-orang yang taat kepada Allah.
(d) “Al-munfiqīn” berarti orang-orang yang zakat dengan hartanya dengan rendah hati saat menyerahkannya dan menginfakkan hartanya kepada hal-hal yang telah diizinkan Allah.
Kata “al-mustagfirīna bil-as-ḥār” dinyatakan oleh Ath-Thabari bahwa ada berbagai pendapat:
- Pendapat pertama mengartikan sebagai orang-orang yang salat di ujung malam yaitu: (1) Orang-orang yang melaksanakan salat; (2) Orang-orang yang salat di akhir malam. Keduanya diriwayatkan oleh Qatadah.
- Pendapat kedua mengartikan sebagai orang-orang yang beristigfar:
- Ayahnya Ibrahim bin Hathib yang berkata, “Aku mendengar laki-laki di sisi masjid seraya berdoa, “رَبِّ أَمَرْتَنِيْ فَأَطَعْتُكَ، وَهَذَا سَحَرٌ، فَاغْفِرْ لِيْ””
- Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar menghidupkan malam dengan salat, lalu dia berkata, “Wahai Nafi’, apakah sudah tiba akhir malam?”, Nafi’ menjawab, “belum” lalu beliau kembali berdiri melaksanakan salat. Dan ketika aku berkata, “sudah”, lalu beliau duduk beristigfar dan berdoa sampai tiba waktu subuh.
- Anas nin Malik berkata, “Aku diperintahkan membaca istigfar di ujung malam sebanyak 70 kali”.
- Abu Ya’kub Adh-Dhabbi berkata, “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata, “Barangsiapa salat malam lalu beristigfar di akhir malamnya sebanyak 70 kali maka ia termasuk dalam al-mustagfirīna bil-as-ḥār””.
- Pendapat ketiga mengartikan sebagai orang-orang yang hadir mengikuti salat subuh berjamaah. Yakni Ya’kub bin Abdirrahman, beliau pernah bertanya kepada Zaid bin Aslam, “Siapa yang dimaksud al-mustagfirīna bil-as-ḥār?”, Zaid menjawab, “Orang-orang yang hadir melaksanakan salat subuh”.
Ath-Thabari menambahkan, pendapat yang paling utama dari berbagai pendapat di atas adalah mereka yang mengatakan sebagai orang-orang yang memohon kepada agar semua aibnya ditutupi oleh Allah. (Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an/6/263-267)
Ayat ini juga bisa diaplikasikan dalam pendidikan orang tua kepada anak (parenting education), Al-Baghawi dalam tafsirnya mengutip Al-Hasan yang bercerita kisah Luqman Al-Hakim saat membangunkan anaknya di ujung malam seraya berkata, “Wahai anakku, janganlah kamu kalah dari seekor ayam yang telah berkokok di pagi hari, sedangkan kamu masih dalam keadaan terlelap di tempat tidurmu!” (Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an/1/420)
Kalau di dunia pesantren, bangun sebelum subuh adalah kegiatan sehari-hari yang wajib dipatuhi, selain manajemen waktu dan menaati peraturan, juga untuk melatih pengendalian diri sekaligus mengamalkan surah Ali Imran ayat 17 ini. Biasanya yang bertugas membangunkan adalah para pengurus, terkadang Kiainya juga turut andil sesekali. Sedangkan di rumah, tugas orang tualah yang membangunkan anaknya, tentu sebagai teladan yang baik. Wallahu a’lam. []