IAIN Ponorogo merupakan sebuah kampus PTKIN yang berada Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur. Kampus ini menyimpan banyak fakta menarik yang basis keilmuannya relevan dalam menyikapi problematika perkembangan zaman.
Kampus IAIN Ponorogo atau orang sering menyebutnya kampus hijau ini, sebentar lagi akan mengalami alih status menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo. Tempatnya yang strategis dan mudah dijangkau dari berbagai kabupaten kota di sekitarnya, serta didorong banyaknya pondok pesantren dan kebudayaan Reog Ponoroggo yang sangat terkenal menjadikan pendukung utama dalam proses perkembangannya.
IAIN Ponorogo bertempatkan di Kabupaten Ponorogo memiliki dua kampus utama, kampus I yang berlokasikan di Kecamatan Siman dan kampus II berada di Kecamatan Jenangan. Kampus hijau yang memiliki keistimewahan ini dipimpin langsung oleh seorang Rektor perempuan Prof. Dr. Hj. Evi Muafiah, M.Ag. dan didukung oleh para Civitas Akademika yang profesional menjadikan siklus pusat pendidikan yang sempurna, selain itu IAIN Ponorogo merupakan Perguruan Tinggi Islam Negeri terbesar di lingkup Karasidenan Madiun.
Secara historis IAIN Ponorogo berdiri pada tanggal 1 Februari 1968 di pelopori oleh KH. Syamsuddin dan KH. Chozin Dawoed yang masih menjadi bagian dari fakultas syari’ah IAIN Sunan Ampel, beriringan dengan perkembangan zaman dan dikeluarkanya Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, yang bersyaratkan semua fakultasnya harus berada di dalam kampus induk dan yang diluar dari jangkauan kampus induk dipecah menjadi kampus tersendiri berubah menjadi STAIN yang tidak lagi menjadi bagian dari IAIN Sunan Ampel.
Sejak itulah STAIN Ponorogo yang kini menjadi IAIN Ponorogo, mulai berdiri sendiri dan mulai mengembangkan berbagai keilmmuannya yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Sebelum membahas lebih mendalam lagi, setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu mengenai mazhab keilmuan atau paradigma keilmuan yang di jadikan landasan dalam pengembangan keilmuan di IAIN Ponorogo. Jika kita melihat bahwa IAIN Ponorogo adalah kampus yang berbasiskan dengan ajaran islam maka landasan keilmmuannya tidak lain adalah merujuk pada sumber Al-Qur’an.
Disisi lain IAIN Ponorogo juga mengembangkan konsep keilmuan yang di gagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas seorang cendikiawan Islam Malaysia, yang tak lain adalah Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan fokus integrasi antara Iman, Ilmu, dan Amal. Dari sini dapat difahami, jika IAIN Ponorogo hanya menganut paradigma keilmuan tersebut dan terpacu hanya pada teks-teks, maka akan mengalami ketertinggalan yang jauh, apalagi melihat perkembangan saat ini, semuanya sudah serba kontekstual yang takhanya terpaku dengan tekstual saja.
Apalagi jika saat ini IAIN Ponorogo akan mengalami transformasi menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, maka tugas yang harus dipikirkan adalah sebuah model paradigma keilmuan yang harus dijadikan pakem ciri khas landasan dalam menentukan arah dan tujuan keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo. Merujuk pendapat Prof. Aksin Wijaya Guru Besar IAIN Ponorogo, dalam opininya yang berjudul “Meneroka Paradigma Keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo” menyampaikan dalam proses transformasi dari IAIN ke UIN maka paradigma keilmuannya juga harus ikut ditranspormasikan yang awalnya dari dikotomi ilmu menjadi integrasi ilmu.
Integrasi ilmu ini dapat dilihat di UIN yang berkembang di Indonesia didalamnya memuat fakultas dan prodi ilmu umum. Dalam proses perumusan paradigma keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo hal ini masih diperlukan workshop dan FGD bagi para civitas akademika untuk merumuskan berbagai alasan-alasan perpindahan menjadi UIN, selain itu juga perlu merumuskan beberbagai historis berdirinya perguruan tinggi islam dan transformasi-transformasi PTKIN di Indonesia. Bertujuan agar bisa menempatkan posisi paradigma keilmuan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.
Seperti yang digambarkan oleh Prof. Aksin Wijaya tersebut akan menghasilkan pola paradigma keilmuan yang akan di gunakan, maupun model simbolnya seperti apa, misal simbol piramida keilmuan yang berunsurkan Tuhan, Alam, dan Manusia. Nantinya model paradigma tersebut diaplikasikan di fakultas maupun prodi yang dikembangkan.
Proses integrasi ilmu ini juga didukung kuat oleh para pakar integrasi keilmuan yang menjadikan IAIN ke UIN di seluruh Indonesia misanya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan paradigma pengembangan keilmuan Islamisasi Ilmu, Iluminasi Islam, dan Paradigma Dialogis yag digags oleh P rof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan simbol paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi yang digagas Prof. Dr. Amin Abdullah. UIN Sunan Ampel dengan simbol paradigma keilmuannya menara kembar tersambung. UIN Maulana Malik Ibrahim dengan simbol paradigma keilmuan Pohon Keilmuan yang menggunakan pendekatan Ulul Albab yang digagas Prof. Dr. H. Mujid.
Model paradigma-paradigma keilmuan tersebut yang mengantarkan UIN-UIN di Indonesia semakin berkembang dalam menjembatani ilmu yang awalnya dikotomis menjadi integrasi ilmu, yang berusaha memecahkan problematika perkembangan zaman saat ini.
Urgensi dalam Pengembangan Keilmuan yang Relevan UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
IAIN Ponorogo yang sebentarlagi akan bertransformasi menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo ini, keilmuannya akan relevan dalam menghadapi problematika tantangan zaman, apabila proses transformasi ini berhasil dan paradigma keilmuannya terbangun dengan sempurna. Proses perumusan paradigma keilmuaan ini tentunya juga sangat berpengaruh pada proses Input-Pembelajaran-Output yang takhanya mendikotomikan ilmu tapi harus juga diintegrasikan. Apalagi melihat kondisi hari ini perkembangan zaman yang sangat pesat, tentunya juga terdapat berbagai problematika permasalahan yang sangat banyak.
Dalam menyikapi permasalahan ini, komponen yang terpenting terutama melalui ilmu pengetahuan, bagaimana ilmu bisa menyelesaikan permasalahan saat ini? tentunya apabila ilmu tersebut diajarkan tidak hanya terpaku pada tekstual teoritis melainkan juga secara kontekstual menyesuaikan kondisi saat ini.
Yaitu dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, sehingga integrasi ini dapat menghasilkan keilmuan yang relevan dalam menyikapi perkembangan zaman dan dapat menghasilkan Output sarjana yang berwawasan luas serta dapat menyelesaikan problematika yang terjadi saat ini ataupun yang akan mendatang.