Al-Qur'an Makhluk

Pertanyaan ini sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Bahkan, sampai menimbulkan tragedi berdarah bernama Mihnah. Cuma gara-gara satu pertanyaan simpel itu.

Oleh karena itu, Syekh Nawawi dalam kitabnya, Qathru Al-Ghaits, memberikan solusi jika ada orang yang kembali menanyakan pertanyaan klasik itu. Kata Syekh Nawawi, harus diperinci dulu yang dimaksud dari pertanyaan itu. Apa itu yang dituju Al-Qur’an kalam Allah, mushaf Al-Qur’an yang banyak beredar, atau bahkan maksud yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. Tentu hal ini diutarakan bukan tanpa sebab. Karena beda tujuan, beda pula jawabannya nanti.

Nah, untuk Al-Qur’an yang dimaksud kalam Allah Syekh Nawawi menjawab pasti itu bukan makhluk. Karena kalamullah adalah qadim, dahulu. Berbeda dengan makhluk yang merupakan sesuatu baru. Sedangkan Al-Qur’an yang dimaksud mushaf-mushaf yang biasa kita baca, jelas adalah makhluk. Karena mushaf berasal dari makhluk bernama kertas.

Sementara itu, jika yang dituju madlul, makna yang terkandung dalam ayat, masih diperinci. Kalau madlul-nya berhubungan dengan sifat-sifat Allah, seperti dalam surat Al-Ikhlas ayat satu menerangkan keesaan Allah, maka hal itu dikatakan qadim. Kalau yang dimaksud berkenaan dengan cerita masa lalu, seperti dalam surat Al-Lahab, maka bisa disebut makhluk. Intinya, jika berhubungan dengan sesuatu qadim dikatakan qadim. Begitu sebaliknya.

Pertanyaan mengenai Al-Qur’an itu makhluk atau bukan ini memang sangat penting untuk dibahas. Karena dulu gegara satu pertanyaan ini banyak menimbulkan tragedi. Dalam kitab tarikh dicatat saat masih zaman khilafah terjadi tragedi bernama Mihnah. Yakni cobaan keimanan mengenai apakah Al-Qur’an itu qadim atau hadits. Kalau menurut ahlus sunnah jawabannya Al-Qur’an itu qadim, karena para ulama zaman itu berpendapat Al-Qu’ran yang dimaksud adalah kalamullah.

Pernah pernyataan menjebak itu disodorkan kepada Imam Bukhari. Beliau dipaksa pemerintah, yang saat itu mesra dengan Mu’tazilah, untuk mengatakan kalau Al-Qur’an adalah makhluk. Landasan ini didasari pemikiran rasionalis Mu’tazilah yang melenceng dari Ahlus sunnah. Saat itu Imam Bukhari mengatakan kalau Al-Qur’an mushaf yang terbuat dari kertas adalah makhluk. Untuk menghindari perselisihan berlanjut, Imam Bukhari pun pindah ke daerah bernama Naisabur.

Baca Juga:  Ketika Al-Quran Membicarakan Kematian Ringan

Kepindahan Imam Bukhari ini membawa kisah unik sekaligus menyesakkan. Di Naisabur, beliau diterima baik oleh seorang ulama bernama Az-Zuhdi dan membuka halaqah kajian ilmu. Semakin lama di sana, semakin banyak pula yang ikut halaqahnya. Sampai ulama setempat merasa iri karena pengikutnya lebih tertarik kepada Imam Bukhari. Sehingga ketika mendengar kalau kepindahan beliau karena masalah Al-Qur’an, ulama Naisabur menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang.

Mereka memotong perkataan Imam Bukhari yang menyatakan Al-Qur’an itu makhluk. Padahal yang dimaksud Al-Qur’an mushaf dari kertas. Karena merasa difitnah, Imam Bukhari pun kembali pindah ke daerah lain agar tidak terjadi perpecahan. Karena saking parahnya masalah tersebut, beliau berkata, “Sampai ada yang bertanya begitu lagi, itu perbuatan bid’ah.”

Juga ada kisah Imam Hambali yang membela Al-Qur’an itu bukan makhluk. Beliau membelanya sampai rela dicambuk karena dirasa membangkang khilafah saat itu yang sudah dirasuki pemahaman Mu’tazilah. Beliau tetap tegar walau dalam kondisi seperti itu boleh berkata Al-Qur’an itu Makhluk, dengan hati meyakini yang dimaksud Al-Qur’an di situ adalah Al-Qur’an cetakan. Tapi beliau bersikeras mengatakan Al-Qur’an qadim agar pengikutnya tidak mengentengkan masalah tersebut. Sebab kejadian inilah Imam Syafi’i bermimpi Nabi merasa bangga atas pengorbanan Imam Hambali. [HW]

Muhammad Miqdadul Anam
Mahasantri Ma'had Aly An-Nur II Al-Murtadlo

    Rekomendasi

    Hikmah

    Generasi Qurani

    اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق َ(1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَق ٍ(2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ ...

    2 Comments

    1. […] Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara asal-asalan, mengingat digunakanya gaya bahasa yang tinggi dalam Al-Qur’an, maka butuh sebuah perangkat khusus untuk memahaminya. Dibutuhkan ilmu-ilmu pendukung untuk kita dapat melakukan penafsiran terhadao Al-Qur’an seperti ilmu tafsir, ilmu lughah, ulumul qur’an, balaghoh dan lain sebagainya. […]

    2. Trimakasih penjelasan y… Apakah ada referensi/buku bacaan untuk saya mempelajari topik terkait lebih komprehensif lagi?

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini