Buku, dewasa ini, adalah seperti tokek: ia termasuk jenis makhluk yang terancam punah. Terutama di Indonesia, di sebuah masyarakat yang dengan cepat, bahkan langsung, bergerak dari suatu keadaan pra-literer ke dalam keadaan pasca-literer, dari suatu lingkungan yang tak pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak hendak membaca, di mana media televisi mengisi hampir, setidaknya dalam dugaan saya, 50% dari waktu senggang malam hari orang Indonesia yang berpendidikan sekolah menengah.
……………………tetapi di Indonesia, telenovela dengan wajah-wajah rupawan, film silat dengan pukulan-pukulan yang ajaib, dan puluhan kuis yang tidak menginginkan kecerdasan, semuanya begitu gilang gemilang, dan orang-orang bisa duduk di depannya, bersama-sama, rukun, dan terpukau. Lagipula, di rumah kelas menengah kita, mana ada sebuah kamar yang menyediakan buku?”
(Goenawan Mohamad, “Buku, Iman, dan Pembebasan”, pidato pada ulang tahun, Penerbit Mizan, Bandung, April 2003.)
Setuju atau tidak dengan statemen kolumnis tersebut, silahkan. Namun, hari ini ada yang lebih mengancam peradaban buku, bukan televisi sebagaimana yang tertera dalam pidato di atas, melainkan sebuah benda bernama gawai alias gadget. Lantas, bagaimana menumbuhkan minat baca anak di era teknologi ini?
Saya menyebutnya sebagai Metode A, B, C, D alias Akrabkan, Biasakan, Ceritakan, dan Diskusikan. Pola semacam ini saya oleh berdasarkan pengalaman pribadi sekaligus juga hasil berdiskusi dengan para pecandu buku yang menularkan virus “cinta buku”nya ke anggota keluarganya dan masyarakat.
Huruf (A) berarti AKRABKAN. Artinya, mendekatkan anak dengan buku. Caranya: sediakan majalah, komik, dan buku bergambar. Bisa beli di toko, maupun pasar loak penyedia buku bekas. Di Jember, misalnya, buku-buku bekas banyak dijual di belakang Matahari Plaza. Harganya terjangkau. Maklum, bekas. Tapi masih bisa dibaca dengan baik. Di Surabaya, “Kampoeng Ilmu” di Jalan Semarang bisa menjadi alternatif tujuan wisata edukasi. Manga, komik “Islami”, hingga bacaan anak-anak tersedia melimpah ruah. Beri anak kesempatan untuk memilih buku yang dia sukai. Pola semacam ini akan membuat anak merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk bertanggungjawab atas buku yang dia pilih. Jika dia merasa diberi kesempatan untuk memiliki, maka dia akan secara sukarela menjaga dan merawatnya dengan baik.
Selain membeli di toko buku maupun kawasan buku bekas, kita bisa juga beli secara daring. Anak kita minta memilih buku yang dia sukai. Biasanya berdasarkan tokoh favoritnya. Kalau dia suka Doraemon, dia akan mencari komiknya. Kalau dia suka Transformers, dia bakal mencari buku-buku yang bergambar Bumble Bee, Optimus Prime, dan para sahabatnya. Kalau dia suka Hello Kitty, My Little Pony, dan kawan-kawannya, belikan saja. Meskipun itu hanya buku gambar dan buku mewarnai. Tidak masalah jika dia hanya mewarnai dan mencoret-coret buku tersebut. Toh, ini bagian dari proses mengakrabkan mereka dengan buku.
KH. A. Wahid Hasyim memupuk minat baca anak-anaknya dengan cara ini. Beliau menyediakan bacaan-bacaan ringan yang dilahap secara rakus oleh Gus Dur kecil. Dalam sebuah peristiwa, Nyai Solihah Wahid Hasyim mencari Gus Dur kesana kemari. Hasilnya nihil. Ternyata Gus Dur kecil sedang membaca buku di balik pintu. Saking asyiknya, dia tidak mendengar panggilan ibunya. Kemudian, ketika Kiai Wahid wafat, pola ini dilanjutkan oleh istrinya. Nyai Solihah menyisihkan penghasilannya untuk membeli buku-buku buat anak-anaknya.
Tapi, saya kan nggak punya uang buat membelikan buku? biasanya ini alasan klasik yang dipakai orangtua. Ini tidak lucu Ferguso! Jangan manja. Ayo, segera anggarkan biaya buku dari ATM-mu untuk anakmu. Jika kita bisa mengalokasikan dana untuk kebutuhan konsumeristik yang bersifat sekunder bahkan tersier, berarti sudah saatnya menyediakan dana khusus untuk kebutuhan primer bernama buku.
Kalau masih kesulitan memenej kebutuhan ekonomi untuk membeli buku, pakailah cara ini. Beli saja celengan plastik maupun tanah liat. Setiap hari sisihkan Rp 5000-10.000. Dalam satu bulan bakal terkumpul jumlah yang lumayan. Pakailah dana celengan itu untuk membeli buku. Dengan cara ini kita mengajarkan anak komitmen menabung dan proses membeli buku.
Langkah selanjutnya, menaruh bahan bacaan (komik, majalah, atau buku) di tempat yang mudah dijangkau anak. Misalnya di ruang tamu, atau di meja anak. Hal ini akan memudahkan mereka mengaksesnya. Jika perlu, sediakan ruang membaca yang asyik. Sederhana saja, tidak perlu mewah. Yang penting anak krasan di dalamnya.
Huruf (B) berarti BIASAKAN. Artinya, membiasakan anak agar senantiasa bergaul dengan buku. langkah praktisnya: (1) Membaca bersama anak. Orangtua bisa duduk mendampingi anak ketika membaca. Bisa pula orangtua membaca buku di samping anak yang sedang membaca komik kesukaannya. Keterdekatan secara fisik ini membuat anak nyaman. Dia merasa didukung oleh orangtuanya.
(2) Membeli berbagai buku untuk anak. Biasakan memberikan hadiah berupa buku. Ketika anak ulang tahun, ayah mengajak anaknya ke toko buku, dan meminta buah hatinya memilih maksimal 5 buku yang dia suka sebagai kado ultahnya. Ketika pulang dari bepergian, selain membawa oleh-oleh berupa kue, biasakan pula membawa oleh-oleh berupa buku yang disukai anaknya. Dengan cara ini, anak merasa diperlakukan secara istimewa.
(3) Sediakan rak buku untuk anak. Belikan lemari khusus. Biasanya bergambar tokoh kartun. Ajari anak menata bukunya dengan rapi. Dengan cara ini anak bisa belajar bertanggungjawab mengelola “perpustakaan pribadinya”.
(4) Sediakan waktu khusus untuk membaca bersamanya. Interaksi manusiawi yang terjadi antara ortu dengan anak akan senantiasa membekas dalam memorinya kelak. Ketika ortu memperlakukan anaknya dengan hormat dan bijak, dia akan melakukan hal yang sama pada keturunannya kelak.
(5) Membatasi akses gawai pada anak. Melarang anak bermain gawai nyaris mustahil. Justru malah menjadi blunder jika kemudian anak meminjam gawai temannya dan mengakses berbagai situs tanpa bisa kita mengawasi. Solusinya, memberi akses bermain dengan ponsel tetapi dibatasi waktunya. Misalnya, akses memegang gawai hanya 1 jam setiap hari.
Huruf (C) berarti CERITAKAN. Dalam pola ini, ada tiga cara, yaitu (1) Anak bercerita tentang isi buku, orangtua mendengarkan. Artinya, ortu meminta anak menceritakan apa yang telah dia baca. Mintalah dia menceritakan tokoh yang dia sukai, mengapa dia menyukainya, kebaikan yang dilakukan tokoh favoritnya, cerita yang ada dalam buku yang dia suka dan seterusnya. Hal ini akan mengasah kemampuan anak dalam menyerap obyek bacaannya, sekaligus kemampuannya bercerita.
(2) Anak menggambar sekaligus bercerita. Mintalah anak menggambar. Biasanya dia akan menggambar tokoh favoritnya. Jika dia suka Batman, minta dia menggambarnya. Gambar jelek tidak apa-apa. Namanya juga anak-anak. Kemudian, mintalah dia bercerita tentang gambarnya sesuai dengan imajinasinya. Pola semacam ini akan melatih daya imajinasi, kemampuan berekspresi dan berkomunikasi.
(3) Orangtua bercerita isi buku, anak mendengarkan. Kemampuan mendongeng dari orangtua kepada anaknya ini yang tampaknya mulai pudar seiring dengan perkembangan teknologi. Jika anak sudah mendengarkan dongeng dan bisa diajak komunikasi, maka mintalah dia menceritakan ulang dengan gayanya sendiri. Hal ini akan merangsang kemampuannya dalam berkomunikasi dan berekspresi.
Huruf (D) berarti DISKUSIKAN. Bebaskan memilih buku yang dia suka, lantas mintalah dia menceritakan isinya. Orangtua meresponnya dengan ekspresif, dan mengajak dia mendiskusikan isi buku tersebut. Misalnya, mengapa tokoh A begini, sosok B begitu, dan mengapa kita tidak boleh mencontoh perbuatan buruk si C, dan seterusnya. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari isi buku cerita bergambar, dan sebagainya?
Survey membuktikan, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki minat baca tinggi, sebab mereka memiliki tiga buku favorit yang masuk kategori megabest seller, judulnya:
Buku Yasin dan Tahlil
Buku Tabungan
Buku Nikah
Wallahu A’lam Bisshawab. [HW]