Di Surabaya, beberapa kali saya menjumpai keberadaan para musafir ini pada malam hari. Penampilannya khas: bercaping, berbaju hitam, menggunakan sarung, menenteng ransel bekal, dan bertongkat.

Tujuannya, ziarah ke maupun dari makam Sunan Ampel. Mereka memang berjalan kaki dari satu makam wali ke makam wali lainnya. Biasanya makam Walisongo menjadi jujukannya. Sisanya ke kuburan ulama lain. Jangan heran jika mereka juga menggelari diri sebagai Sarkub alias Sarjana Kuburan.

Mereka pantang meminta-minta, tapi jika diberi juga tidak menolak. Untuk kebutuhan makan minum, sebagian membawa bekal uang, ada juga yang tidak. Nekat? Mungkin iya. Tapi dari situ biasanya mereka mendapatkan rezeki dari penduduk yang bersimpati kepadanya, maupun dari para peziarah lain yang berada di sekitar makam auliya.

Apa tujuan mereka? Macam-macam. Ada yang memang bernadzar, ada juga yang menjalankan perintah guru, ada juga yang menjadi penebus penguasaan ilmu tertentu. Ada juga yang stres karena masalah di rumah, lantas berharap dengan menjalankan ritual keliling makam kekasih-Nya ini hisa mendapat ketenangan batin dan solusi.

Pukul 00.35 WIB, tadi, saya menjumpai Pak Gito, seorang musafir asal Balong, Ponorogo. Pejalan kaki ini saya temui di perempatan rel Margorejo, Surabaya. Ritual ini dia jalani pada bulan Suro (Muharram) ini. Tujuannya, untuk riyadloh. Tak ada tujuan khusus, katanya. Hanya ingin berziarah dengan “mlampah”.

Sejak keberangkatannya di awal bulan, beberapa makam Wali di pesisir utara Jawa sudah dia kunjungi. Tadi dari Sunan Ampel, lantas bergeser menuju timur. “Ke makam Mbah Hamid, Pasuruan.” jawabnya ketika saya tanya.

Begitu pentingnya perjalanan semacam ini, pada zaman dulu di depan rumah penduduk biasanya disediakan gentong besar. Fungsinya, untuk air minum para Ibnu Sabil ini.

Baca Juga:  Menziarahi Makam Sayyid Bakûr b. Ahmad b. Abû Bakar Syathâ al-Dimyâthî al-Makkî (w. 1965): Cucu Pengarang Kitab “I’ânah al-Thâlibîn” yang Wafat dan Dikebumikan di Kaliwungu (Jawa Tengah)

Tradisi semacam ini melekat pada diri muslim Jawa. Raden Mas Mustahar, alias Pangeran Diponegoro, dulu juga menjalani ritual ini. Beliau melepas pakaian kebangsawanananya yang mewah, menggantinya dengan baju sederhana ala santri, memotong rambut panjangnya, mengganti namanya menjadi Abdurrahim, lantas menjalani lelaku keliling dari satu makam ulama ke makam lain, sowan kepada beberapa kiai, hingga uzlah di gua, di mana pada saat bertapa ini dia dijumpai ruh Sunan Kalijaga yang memberitahu apabila kelak dirinya memimpin jihad fi sabilillah. Di perjalanan akhir, sang pangeran mengunjungi Imogiri, makam para leluhurnya. Sungguhpun dirinya menyembunyikan identitasnya, namun beberapa jurukunci masih mengenalinya. Titik-titik perziarahan dan silaturahim ke para ulama ini kelak juga bermanfaat untuk mobilisasi dan konsolidasi kaum santri-ulama menjelang perang Jawa yang dia pimpin.

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah