Hukum Taklifi dan Hukum Wad’i

Para ulama Ushul fiqh membagi hukum Islam ke dua bagian, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wad’i.

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi adalah tuntunan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Didalam Islam, hukum taklifi yang berupa bentuk tuntutan yang tidak memberatkan pelakunya dan dalam batas kemampuan mukalaf. Imam hanafi menjelaskan hukum taklifi mencakup Wajib (Fardu), Sunnah (Mandub), Haram (Tahrim), Makruh (Karahah) dan Mubah (Al-Ibahah).

1. Wajib (Fardu)

Adalah aturan Allah SWT yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan berakibat dosa. Misalnya, perintah wajib sholat, zakat dan lainnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 110)

2. Sunnah (Mandub)

Adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan ditinggalkan karena berat dalam melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya, puasa Senin-Kamis, ibadah shalat rawatib dan lainnya.

Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis”.

3. Haram (Tahrim)

Adalah larangan dalam mengerjakan sesuatu perbuatan ataupun pekerjaan. Pekerjaan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Misalnya, larangan berjudi, zina dan lainnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

”Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32)

4. Makruh (Karahah)

Baca Juga:  Pengunduran Hari Libur Maulid Nabi Muhammad SAW pada Masa Pandemi Menurut Perspektif Ushul Fiqh (Sadd  Adz-dzari’ah)

Adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila pekerjaan tersebut dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi apabila ditinggalkan maka akan mendapat pahala. Misalnya, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap.

5. Mubah (Al-Ibahah)

Adalah sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan. Secara umum, mubah ini juga dinamakan jaizatau halal.  Tidaklah berdosa dan berpahala jika ditinggalkan atau dikerjakan. Misalnya, minum susu, duduk-duduk, dan lainnya.

Hukum Wad’i

Hukum Wad’i adalah perintah Allah SWT yang berkaitan dengan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu. Dalam ushul fikih, hukum wadh’i terdiri dari, sebab (sabab), syarat (syarth), penghalang (mani’), rukhsah (keringanan), azimah (hukum yang tidak berubah), sahih (sah), dan batal (batil atau fasid).

1. Sebab (Sabab)

Adalah kondisi atau sifat yang menjadikan suatu sebab atau tanda keberadaannya karena ada hukum syariat. Misalnya, datangnya Idul Fitri ditandai dengan kemunculan hilal.

2. Syarat (Syarth)

Adalah sesuatu keberadaan hukum yang syariatnya tergantung kepadanya. Misalnya, setelah melaksanakan wudlu seseorang belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena untuk melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila kamu hendak mengerjakan sholat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir ” (HR Bukhari dan Muslim).

3. Penghalang (Mani’)

Adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan batalnya hukum ataupun meniadakan hukum. Misalnya, seseorang perempuan yang sedang haid tidak boleh melakukan sholat.

4. Rukhsah (Keringanan)

Adalah suatu perubahan dari yang berat menjdai ringan atau juga  yang lebih mudah. Dengan maksud Allah memberikan keringanandalam suatu kondisi dan situasi khusus. Misalnya, keringan kepada orang yang sedang diperjalanan untuk mengasar sholatnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Baca Juga:  KH Afifuddin Muhajir dan Upayanya Membumikan Ushul Fiqh

“Dan apabila kamu bepergian di Bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar sholat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 101)

5. Azimah (Hukum yang tidak berubah)

Adalah perbuatan yang disyari’atkan pada awalnya oleh Allah Swt yag tidak tertentu atau  tergantung pada sutau halangan. Misalnya, Sholat 5 waktu sebelum uzur, puasa ramadhan sebelum uzur dan lainnya.

6. Sahih (Sah)

Adalah keadaan dan perbuatan yang telah memenuhi segala sesuatunya yaitu syarat dan rukunnya. Maka dari itu perbuatan tersebut sudah memenuhi suatu ketentuan hukum. Miasalnya, apabila sholat dikatakan sah karena sudah sesuai dengan diperintahkan syara’.

7. Batal (Batil atau fasid)

Suatu keadaan ataupun perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya, tidak ada akibat yang ditimbulkannya. Misalnya, batalnya jual beli minuman keras, karena minman keras tidak bernilai harta dalam sebuah ketentuan syara’. []

Dwi Nila Kartika Sari
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini