Bahaya Fanatisme Beragama dalam Perspektif Agama Islam

Indonesia merupakan negara yang besar yang terdiri dari beberapa suku, agama, dan budaya. Indonesia sendiri memiliki enam agama resmi yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Asas pancasila yang memiliki slogan “Bhinneka Tunggal Ika”  menjadi acuan dalam mengedapankan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Namun, sangat disayangkan apabila slogan tersebut hanya digunakan sebatas hiasan. Budaya fanatisme di Indonesia seperti beranak pinak yang kian hari semakin banyak dan bertumbuh pesat. Hal ini, dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya terutama dalam hal pendidikan untuk meningkatkan rasa jiwa nasionalisme dalam diri seseorang.

Di Indonesia sendiri, fenomena kasus benturan konflik SARA sudah sekian lama terjadi yang berakibat pada peningkatan potensi tindakan separatisme dalam suatu kelompok. Begitupun dengan fenomena hari ini, gerakan fanatisme pada suatu kelompok semakin besar. Hal ini, tak lain karna upaya untuk kepentingan pada kelompok tertentu dengan cara mengorbankan masyarakat berkedok doktrin agama. Sangat ironis, Indonesia memang mayoritas agama muslim bukan agama Islam, yang seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai yang ada dalam asas pancasila, bukan seenaknya merubah asas tersebut dengan asas Islam yakni Kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tak lain halnya dengan agama lain seperti Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu adalah keniscayaan yang dari semuanya saling klaim kebenaran dan watak misioner dari setiap agama berpeluang terjadinya benturan-benturan dalam kehidupan beragama dan timbulnya salah pengertian antar penganut agama menjadi terbuka lebar.

Dari sinilah, penulis akan memaparkan secara komprehensif terkait bagaimana bahaya fanatisme beragama dalam perspektif Islam.

Pluralitas agama merupakan kenyataan aksiomatis yang bersifat universal. Pluralitas agama harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi dengan bijaksana. Pluralitas agama masyarakat Indonesia pada satu sisi berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain, akan tetapi pada sisi yang lain agama adalah wahana pemersatu bangsa.

Baca Juga:  Bahaya Fanatisme dan Pentingnya Meluaskan Wawasan Keberagamaan

Penanganan tanpa terarah justru akan semakin memperlebar jurang disintegrasi bangsa. Untuk itu, memberikan porsi pendidikan cinta damai dalam sistem pendidikan di Indonesia menjadi suatu keharusan. Hal ini bertujuan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala  dan masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.  Dengan adanya pendidikan damai akan dapat menyadarkan setiap individu atau kelompok tentang konflik, skill dalam menyikapi konflik dan pentingnya kedamaian berperan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Premis yang dibangun berdasarkan pengalaman empiris dalam pendidikan damai diharapkan mampu untuk membangun masyarakat yang kondusif bagi pemecahan masalah atau konflik secara damai dan beradab. Disamping itu, upaya ini menjembatani individu atau kelompok dengan pengetahuan, kecakapan, dan pola hidup damai. Sehingga damai bukan hanya tujuan, namun juga proses berkelanjutan. Dengan kata lain, pendidikan cinta damai diharapkan dapat mendorong upaya untuk terus mencari kedamaian, menggalakkan rekonsiliasi masyarakat, dan mempromosikan keadilan tanpa mengurangi harkat, martabat, dan hak asasi manusia. Sebab, setiap manusia memiliki identitas dan eksistensi yang ingin diakui dan dihargai. Oleh karena itu, pada saat yang sama ia harus pula mengakui identitas orang lain. Prinsip ini memiliki kekuatan moral yang dapat membangun pondasi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan berkeadilan.

Bahaya Fanatisme Beragama

Terminologi fanatisme dalam agama, apabila dihubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam kamus bahasa Arab. Istilah fanatisme merupakan murni produk barat yang sering dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam. Dalam tradisi barat, istilah fundamentalisme dalam Islam sering tertukar dengan istilah lain, seperti: “Ekstremisme Islam”, sebagaimana yang dilakukan oleh Gilles Kepel atau “Islam Fanatik” menurut Emmanuel Sivan. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “Kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrem. Dibandingkan dengan istilah lainnya, “Islam Fanatik”, lebih sering dikenal dengan istilah “Islam Fundamentalis”. Sebab, istilah fundamentalisme lebih banyak mengekspos liberalisme dalam menafsirkan teks-teks keagamaan, serta berakhir pada tindakan berwawasan sempit yang sering melahirkan aksi destruktif dan anarkis.

Baca Juga:  Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Sahabat Nabi?

Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi memberikan istilah Fanatisme dengan istilah al-Tatarruf ad-Din, yang bahasa lugasnya adalah untuk mempraktikkan ajaran agama dengan tidak semestinya atau mempraktikkan ajaran agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Sehingga hal ini jauh dari substansi ajaran agama Islam, yaitu ajaran moderat (cenderung kea rah dimensi atau jalan tengah). Biasanya posisi pinggir ini adalah sisi yang berat diantara sisi lainnya atau memberatkan dan berlebihan yang tidak sewajarnya. Lebih lanjut al-Qaradhawi menjelaskan bahwa posisi praktik agama tersebut mengandung tiga kelemahan, yaitu:

  1. Tidak disukai oleh tabiat kewajaran manusia;
  2. Tidak bisa berumur panjang, dan
  3. Sangat rentan mendatangkan pelanggaran atas hak yang didapatkan oleh orang lain.

Di Indonesia sendiri, kasus fanatik semakin marak bermunculan mulai dari antar partai, ormas agama dan lain sebagainya. Hal ini sangat dimanfaatkan oleh beberapa praktisi politik guna mendapatkan dukungan penuh menjadi penguasa di Indonesia. Karena bagaimanapun juga hukum minoritas harus mengikuti hukum mayoritas.

Di Indonesia ada tiga ormas besar yang berkuasa mendapat dukungan besar masyarakat Indonesia yakni, NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, dan FPI (Front Pembela Islam). Indikasi tumbuhnya antusiasme keagamaan ini tak lain untuk memperoleh kesempatan masuk ke dalam dunia politik. Maka, tak heran apabila setiap ormas saling berlomba-lomba mendapatkan tahta tersebut dengan memberikan beberapa dogma-dogma fanatisme untuk mendapatkan dukungan yang kuat.

Pada dasarnya pandangan tersebut tidak memiliki teori ataupun landasan, namun telah diadopsi secara mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang bersifat fanatik dapat dikatakan memiliki pemikiran yang cenderung tidak mau menerima opini maupun ide dari orang lain. Sehingga pada akhirnya dianggap bertentangan apapun yang tidak sependapat dengannya. Agama yang menjadi obyek dalam penelitian ini tentu bagi penganutnya tidak akan ada habisnya jika dibahas dan dikaitkan dengan konflik dari fanatisme itu sendiri.

Baca Juga:  Mengembalikan Wajah Menawan Agama Islam

Sifat fanatik dan fanatisme dalam agama tidak akan ada habisnya jika dibahas dari waktu ke waktu. Sehingga, hal ini akan membuka mindset manusia bahwa akan selalu ada kasus yang terjadi dan berkaitan dengan fanatisme. Secara tidak  disadari, proses reaktualiasasi yang direalisasikan secara berkesinambungan dapat tumbuh dalam kehidupan kaum muslim. Konfigurasi nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama tersebut akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum muslim istiqomah (teguh pendirian) untuk tidak melangkahi ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka.

Bahaya dari fanatisme sendiri yaitu dapat menghadirkan konflik antar madzhab teoritis keagamaan, dari sisi ini juga dapat memecah belah persatuan umat Islam, saling menuduh tanpa adanya bukti jelas, berbagai macam bid’ah bermunculan serta saling mengklaim syariat yang paling benar sendiri. Selain itu, yang paling ekstrem adalah adanya paham dalam suatu umat yang saling menyesatkan dengan yang lain. Padahal pada dasarnya mereka beratap pada satu tujuan, yaitu La ilaa ha Illallah al-Malikul Haqqul Mubiin wa Muhammad Rasulullah.

Revitalisasi Tasamuh

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhi fanatisme, selanjutnya mengajarkan bersikap tasamuh (toleransi) baik dalam segi teoretis maupun beramal ibadah. Dengan adanya sikap tasamuh, semua umat beragama (terutama Islam) dapat saling menumbuhkan kebersamaan dalam perbedaan. Seperti halnya apa yang diajarkan oleh Sayyidina Ali ra. Bahwa “Seandainya jika kita tidak sama dalam sebuah pemahaman, kita akan bersaudara dalam keimanan. Dan jika kita tidak sama dalam keimanan, maka kita akan tetap bersaudara dalam kemanusiaan”. Oleh karena itu, pada dasarnya semua manusia tetap menjadi saudara bagaimanapun bentuknya. Wallahu a’lam. []

Nurul Maslihah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah IPMAFA Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini