Surat al-Būtī untuk Albanī

Setelah terjadi perdebatan jilid I, Albanī pun mengusulkan kepada al-Būtī untuk dilakukan pertemuan berikutnya. Albanī berharap bisa terjadi perdebatan jilid II. Akan tetapi, al-Būtī tidak berkenan untuk merealisasikan ajakan Albanī tersebut.

Oleh sebab itu, al-Būtī berkirim surat kepada Albanī. Berikut salinan suratnya:

أما عن اقتراحكم التقاءنا في جلسة أخرى فقد لاحظت في جلستنا الأولى -كما قلت- أننا لم نستفد شيئا منها فلا أنتم رجعتم عما تتصورونه من نزاهة صاحب الرسالة ولا أنا اقتنعت بما حملتم كلامه عليه وفي اعتقادي أنكم لو رضيتم أن تأولوا وتقيدوا كلام أمثال الشيخ محي الدين بن عربي ربع التأويل الذي حملتم كلام الخجندي عليه لما وسعكم تكفيره ولا تفسيقه.

وعلى كل فإن ما دار حوله كلامكم بالأمس هو الدفاع عن الخجندي وبيان أنه لا يعني شيئا آخر غير الذي أوضحته أنا في رسالتي عدا كوني حملت كلامه على الجنوح.

وسواء أكان الخجندي كما تتصورون أنتم أو كما أتصور أنا فإنه ليسعدني على كل حال أن تكونوا أنتم بخصوصكم لا تقبلون الأفكار التي فهمتها من كلام الخجندي كما يسعدني أن تنشروا على الناس تصحيحا أو شرحا لكلامه وتضمنوه ما ذكرتم من احترامكم للأمة وضرورة تقليدهم بالنسبة لمن لم يبلغ درجة الاجتهاد.

أما اللقاء فإني لا أرى أي فائدة فيه ولم أشعر في اجتماع الأمس إلا بشيء واحد وهو أني ضيعت ثلاث ساعات كان من الممكن أن أحقق فيها بعض الأعمال المفيدة.

وتفضلوا بقبول خالص تحياتي!

Saya tidak akan menerjemahkan isi surat di atas secara lengkap. Begitu juga tidak merekomendasikan untuk memahami maksud surat di atas dengan bantuan mesin translator lainnya. Karena keakuratan makna terjemah hasil mesin translator terkadang justru membuat “gagal” paham.

Baca Juga:  Mengapa Al-Būtī Menulis Buku?

Ringkasnya, surat yang berisi empat paragraf plus salam penutup ini menunjukkan bahwa al-Būtī sejatinya enggan untuk melayani perdebatan yang tidak “sehat” dengan Albanī. Karena, sikap fanatisme buta Albanī terhadap “junjungan”-nya, yakni al-Khajundī lebih dominan daripada mengambil sikap terbuka “mendengar” perspektif pihak lain.

Perlu diketahui bahwa al-Khajundī adalah penulis risalah “al-Karrās” yang menjadi sasaran kritik al-Būtī dalam bukunya “Al-Lāmazhabiyah [Anti-Mazhab]” itu sendiri. Tujuan Albanī berdebat adalah dalam rangka membela “mati-matian” dan menjelaskan pokok-pokok pikiran al-Khajundī dengan cara mentakwil semua statemen-statemen al-Khajundī yang menjadi objek kritik al-Būtī.

Tidak heran, jika kemudian al-Būtī menyatakan, andai saja Albanī mau adil untuk mentakwil statemen-statemen Ibn Arabi, 25% saja dari banyaknya takwil-takwil Albanī atas statemen al-Khajundī, niscaya ia tidak akan pernah mengkafirkan atau menyesatkan Ibn Arabī, sebagaimana tertulis dalam paragraf pertama dari surat al-Būtī di atas.

Oleh sebab itu, menurut al-Būtī bahwa debat tersebut tidak lagi membuahkan hasil dan manfaat apapun. Karena Albanī tidak mau bersikap objektif terhadap konten “Risālah al-Khajundī“. Selain itu, Albanī juga tidak mampu memuaskan al-Būtī dalam mengkonstruksi argumen-argumen ilmiah-nya.

Di akhir isi surat, sejatinya al-Būtī menyesal menerima ajakan untuk bertemu Albanī selama tiga jam pada pertemuan debat jilid I. Sementara hasilnya “nol”, karena fanatisme buta telah menjadikan Albanī membenarkan seluruh statemen al-Khajundī, meskipun secara ilmiah pemikiran-pemikiran al-Khajundī tidak memiliki pijakan argumentasi yang kokoh.

Al-Būtī menulis begini: “Adapun untuk pertemuan [lanjutan], saya tidak melihat ada manfaat apapun di dalamnya. Saya tidak merasa pada pertemuan sebelumnya kecuali satu hal, yaitu saya kehilangan waktu tiga jam, di mana saya bisa mengerjakan beberapa pekerjaan lain yang lebih bermanfaat.” pungkas al-Būtī dalam suratnya.

Baca Juga:  Syeikh Mullā, sang Ayah al-Būtī

Di sisi yang lain, Albanī sebenarnya masih merasa keberatan dengan judul buku al-Būtī yang diklaim terlalu provokatif. Tapi, al-Būtī tidak bergeming, justru judul itu sangat merepresentasikan isi yang menjadi isu utamanya. Oleh sebab itu, buku tersebut yang sudah diterbitkan puluhan kali cetakan, tetap memberikan “shock therapy” bagi kaum Salafi sebagai sasaran “tembak” utama dari buku tersebut.

Setelah ajakan pertemuan jilid II ditolak al-Būtī, maka terbitlah buku yang berjudul “Al-Mazhabiyah al-Muta’ashibah Hiya al-Bid’ah” yang mengatasnamakan diri penulisnya adalah Muhammad ‘Id Abbāsī sebagai kritik atas buku al-Būtī, “Al-Lāmazhabiyah“. Meskipun, isi bukunya cukup “menggelikan,” karena penuh dengan sikap sinis, emosi dan caci maki.

Perlu diketahui, bahwa sejatinya buku itu ditulis oleh Albanī sendiri dan beberapa koleganya seperti Mahmūd Mahdī al-Istanbūlī, dan Khairuddīn Wānilī. Ironisnya, Albanī meminjam nama orang lain. Karena sebenarnya Abbasī hanya menulis sebagian kecil dari seluruh bagian isi buku yang cukup tebal mencapai 350 halaman itu. Fakta ini, diungkap sendiri oleh al-Istanbulī salah satu penulis buku tersebut.

Dan, buku yang penuh sinis dan emosi itupun sudah dijawab secara ilmiah oleh al-Būtī dalam lampiran bukunya di cetakan kedua. Silahkan dirujuk dan dihayati, semoga menambah kedewasaan kita dalam beragama dan bermazhab secara arif dan bijaksana. Wallāhu a’lam. [HW]

Catatan: Bagi yang ingin membandingkan kualitas dua karya tersebut bisa langsung download link di bawah ini: https://archive.org/details/Lamathhabya https://archive.org/details/o_1_915

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah