Damai dimaknai sebagai tidak adanya perang atau konflik dan kekerasan. Faktor penyebab terjadinya suasana damai adalah ketika individu memiliki rasa kedamaian dalam diri sendiri, mampu mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain serta bisa memicu terjadinya konflik dan kekerasan. Menurut Sahlan dan Angga (2012), cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

Perdamaian merupakan sebuah konsep, prospek dan cara pandang positif baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. Perdamaian dapat didefinisikan dalam dua sisi, yaitu sebagai berikut:

Damai yang positif, yaitu suasana kehidupan tenteram, sejahtera, adanya kebebasan dan keadilan yang menjadi asas terciptanya suasana damai dalam suatu komunitas.

Damai yang negatif, yaitu tidak adanya perang atau konflik kekerasan diantara sesama. Dalam situasi ini, dapat dicapai melalui pendekatan struktural, yaitu pencegahan segala potensi konflik dengan cara mengontrol pihak-pihak yang bisa menyulut potensi konflik tersebut menjadi konflik terbuka yang menggunakan kekerasan.

Definisi “Islam” apabila dilihat dari asal katanya merupakan representasi dari pesan kepatuhan, kedamaian dan keselamatan. Dalam Al-Quran, digambarkan bahwa Islam merupakaan prophetic mission dari seluruh Nabi dan Rasul. Risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul adalah misi suci untuk mendorong terciptanya keselarasan, kedamaian dan keselamatan dalam kehidupan. Terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama dan Tuhan, sebenarnya bukan berarti agama-agama tersebut membawa benih permusuhan dalam doktrin ajaran agamanya, melainkan karena faktor adanya interpretasi dan kepentingan pragmatis duniawi.

Tetap saja dalam inti terdalam dari doktrin agamanya menyuarakan pesan perdamaian dan keselamatan. Pada faktanya, suara-suara kedamaian tersebut terkadang kalah nyaring jika dibandingkan dengan pekikan kebencian yang dilontarkan antar sesama penganut agama. Dalam hal ini, istilah kekerasan menjadi sesuatu yang esensial di dalam agama dan budaya orang Arab. Tapi terlepas dari stereotype keras dan tidak toleran masyarakat Arab (tempat di mana Islam diturunkan), Islam tidak bisa sepenuhnya sebagai representasi masyarakat Arab secara utuh. Namun Islam merupakan seperangkat ajaran ideal yang universal dan menjangkau semua bangsa, budaya dan peradaban apapun dan dimanapun. Al-Quran sebagai diktum Ilahiyah, secara eksplisit dan spesifik ajarannya menjelaskan visi universal tersebut, termasuk cita-cita perdamaian dalam kehidupan. Damai dalam perspektif Al-Quran bukan berarti tidak ada kekerasan atau perang (absence of war).

Al-Quran menyuarakan bahwa damai lebih dari sekedar tidak adanya perang, akan tetapi ia merupakan pernyataan yang positif tentang keamanan dan manusia terbebas dari rasa ketakutan dan kegelisahan. Term Islam mengandung arti penyerahan diri kepada Allah (self-surrender to God) serta kepercayaan yang benar kepada Allah. Menurut Riffat, di dalam Al-Quran hampir semua halamannya terdapat kata-kata yang diderivasi dari akar kata s-l-m dan a-m-n (Salam/Islam dan aman), yang merupakan akar dari kata Islam dan Iman. Susunan ayat Al-Quran yang menggambarkan tema perdamaian dan perang dapat dikategorikan dalam tiga bagian yaitu:

Baca Juga:  Bahaya Fanatisme dan Pentingnya Meluaskan Wawasan Keberagamaan

Konfigurasi ayat yang berbicara tentang visi preventif tentang konflik kekerasan:

Visi mekanisme penyelesaian masalah (mechanism of conflict resolution), danVisi pelestarian perdamaian. 

Dalam menangani sebuah konflik, harus memperhatikan kondisi pra terjadinya konflik, proses konflik dan pasca konflik kekerasan. Sehingga level perubahan dianggap relevan untuk mendorong terwujudnya perdamaian yang kontinuitas dan mencakup perubahan pada level personal, relasional, struktural serta kultural. Dengan kata lain, penanganan konflik untuk mewujudkan perdamaian, tidak hanya terfokus pada penanganan konflik kekerasannya, akan tetapi sebelum konflik terjadi atau setelah konflik terjadi juga harus dilakukan dengan berbagai upaya.

Visi preventif dalam hal ini adalah serangkaian ayat-ayat Al-Quran yang memberikan perhatian pada bagaimana membangun sebuah masyarakat yang beradab, yang saling bahu membahu dalam kebajikan, saling menghargai dan saling melindungi satu dengan lainnya.

Disebut visi preventif karena jika gagasan ini terwujud maka tindakan kekerasan akan dapat dihindari atau minimal dipersempit ruang terjadinya. Jika tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan konflik tersebut, maka dapat direalisasikan melalui penghindaran (avoiding) terhadap konflik yang ada. Umat Islam bahkan dianjurkan untuk pro aktif dalam melakukan proses penyelesaian masalah konflik, seperti perintah untuk bermediasi (al-ashlah) jika ada saudara yang mempunyai konflik.

Disamping itu, perintah memerangi pihak-pihak yang mengkhianati perjanjian damai yang telah dibuat diantara saudara yang bertikai, sampai mereka kembali kepada jalan Allah (jalan kebenaran). Dalam konteks penanganan konflik modern pada level ini dikenal dengan berbagai tahapan mulai dari gencatan senjata (ceasefire) atau penghentian kekerasan fisiknya, kemudian membuka ruang negosiasi antara para pihak yang berkonflik (disputant). Jika negosiasi menemui jalan buntu, maka ada upaya mediasi. Jika mediasi juga gagal, maka ada mekanisme peradilan atau arbitrase. Dalam bahasa Al-Quran upaya-upaya ini seperti musyawarah (negosiasi), ashlah (mediasi) dan tahkim (arbitrase). Selanjutnya visi pelestarian perdamaian merupakan rangkaian ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang bagaimana kita memelihara kondisi aman agar lebih permanen atau berkelanjutan.

Proses maslahah adalah perintah yang didasarkan pada trasformasi dan pemberdayaan. Dengan kata lain proses resolusi konflik dalam Islam harus menekankan pada prinsip keadilan, pemberdayaan bagi orang-orang yang lemah, membangun solidaritas sosial dan dukungan publik. Islam menolak segala sesuatu yang melampaui batas, termasuk dalam hal penegakan kebenaran dan pencapaian keadilan. Konsep-konsep resolusi konflik yang sudah disebutkan di atas sebenarnya sudah dipraktikkan dalam berbagai masyarakat muslim, termasuk di Timur Tengah.

Baca Juga:  Bahaya Fanatisme dan Pentingnya Meluaskan Wawasan Keberagamaan

Atas dasar ini Ramsbotham berkesimpulan, bahwa dalam upaya resolusi konflik perlu mempertimbangkan aspek kekayaan atau kekhasan budaya masyarakat. Karena boleh jadi konsep atau model resolusi yang dikembangkan di Barat belum tentu cocok bagi masyarakat dengan budaya yang berbeda, seperti dunia Arab. Apabila dalam suatu kemerdekaan atau kebebasan, wujud musuh yang nyata ialah fanatisme, yakni suatu faham yang dapat merusak kehidupan dalam beragama dan dapat mencederai kehidupan sosial masyarakat. Dalam sifat fanatisme hanya melihat pada sudut pandang kebenaran berdasarkan ego dirinya tanpa menghargai pendapat orang lain.

Selain Islam fundamentalisme, ada berbagai istilah yang digunakan oleh pengamat dan sarjana politik untuk mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena fanatisme dalam Islam, baik dari masa klasik maupun hingga masa modern tentang kebangkitan Islam di dunia. Untuk itu, di dalam pembahasan akan diuraikan beberapa pengertian (terminology) fanatisme dalam Islam.

Penganut suatu agama yang sangat fanatik terhadap agama dan hukum yang dianutnya, sehingga membuat dirinya tidak menyukai atau mencela orang yang tidak seagama atau orang yang tidak sefaham dengan dirinya dinamakan dengan fanatisme. Dalam anggapan yang ada pada orang yang fanatik, hanya agama dan hukum yang dianut dan diikuti, sedangkan agama dan hukum yang orang lain anut dianggap salah dan menyimpang, serta mengklaim bahwa hanyalah pahamnya yang paling benar.

Untuk menyebarluaskan faham fanatisme sarana yang ditempuh, yaitu melalui pengkaderan organisasi. Pengkaderan organisasi adalah kegiatan pembinaan terhadap anggota dan atau calon anggota dari organisasi simpatisan atau pengusung paham fanatisme. Pengkaderan organisasi biasanya dilakukan dengan cara pengkaderan internal, yang dilakukan dalam bentuk training calon anggota baru dan pembinaan anggota lama. Rekrutmen calon anggota baru dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Rekrutmen individual biasanya dilakukan oleh organisasi fanatik Islam bawah tanah seperti NII (Negara Islam Indonesia) melalui apa yang sering disebut dengan pencucian otak (brainwashing). Hampir semua korban pencucian otak dari kelompok ini menceritakan pengalamannya terkait dengan doktrinasi ajaran atau faham mereka yang sarat dengan muatan fanatisme, seperti diperbolehkannya melakukan kegiatan merampok untuk kepentingan NII.

Apa makna dari implikasi cara beragama seperti ini? Bahwa dalam praktik pengalaman beragama terdapat orang-orang berperilaku ekstrim, sehingga melebihi kewajaran yang semestinya. Sejarah perilaku kekerasan dalam Islam, umumnya terjadi berkaitan dengan persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada agama sebagai simbol mereka. Hal ini adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan.

Baca Juga:  Bahaya Fanatisme dan Pentingnya Meluaskan Wawasan Keberagamaan

Adapun metode pendidikan Islam dalam mengatasi problem fanatisme adalah sebagai berikut :

Metode Mujaadalah

Dari segi etimologi, lafaz “Mujaadalah” (مُجَادَلَة) bermakna perdebatan. Orang yang berdebat bagaikan menarik ucapan untuk menyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.

Dari segi istilah (terminologi), Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suatu hal yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.

 

Mauidzah al-Hasanah

Mau’idzah al-hasanah merupakan salah satu prinsip metode dakwah yang digariskan oleh Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 125 yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Pemakaian kata mauizhah dalam berbagai makna ditemukan di beberapa surat dan ayat al-Qur’an. Menurut Ali Musthafa Yaqub, mauidzah al-hasanah adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik di mana ia dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subyek.

Sejatinya, Allah SWT menggambarkan kepada umatnya untuk meneliti sejarah umat terdahulu, baik umat yang memperoleh dan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT, ataupun umat yang membangkang karena di dalamnya terdapat pelajaran yang berharga bagi manusia dan menjadi bekal agar manusia tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Beragama secara hakikat adalah pengenalan manusia pada fitrahnya yang mengantarkan dirinya pada pengenalan siapa sebenarnya dirinya dan siapa sebenarnya Tuhannya.

Setelah mengenal diri dan Tuhannya kemudian manusia disadarkaan mengapa dia hadir di bumi, apa tujuannya dan bagaimana cara mencapai tujuan itu. Dengan kesadaran dan pemahaman itu, setiap manusia akan mengerti bahwa tiada pilihan lain bagi manusia dalam hidupnya kecuali hanya bersandar kepada informasi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Berpedoman kepada informasi yang tidak bersumber dari pencipta manusia hanya akan membuat manusia tidak sampai pada tujuan hidup manusia itu sendiri. Sikap seperti ini disebut juga sebagai sikap orang yang sadar beragama. (IZ)

Nurul Maslihah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah IPMAFA Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini