Al-Qur'an

Al-Qur’an hadir ke muka bumi tidak mengikuti jenis susastra mana pun. Ia bukanlah puisi, bukan khitabah, tidak pula menyerupai pepatah Arab (Mastal), atau kata-kata hikmah sebagaimana yang biasa dicipta oleh orang-orang Arab Jahiliyah.

Sastra Arab pada masa Jahiliyah sangat populer dengan bentuk puisi (al-syi’ir/al-Qoshidah) ia sudah menjadi daging dan darah bagi mereka. Dirayakan kemenangannya, disanjung penyairnya, bahkan dianggap setengah tuhan. Mereka juga mengenal bentuk prosa, khutbah, washiah, hikmah, mastal, munafarah, mufakharah, Saj kuhhan, usthurah, dan qisshah juga qashidah ghanaiiyah.

Nastar (prosa) tidak banyak diperbincangkan oleh orang Arab jahiliyah, tidak pula ada perayaan besar, bahkan tidak terlalu populer di kalangan mereka, jenisnya pun tidak banyak diperhatikan, mungkin hanya sebagian kecil dari orang Arab yang mengenalnya. Mereka yang mumpuni pun, tidak punya kedudukan, tidak pula disanjung seperti para penyair.

Puisi Lirik (al-syi’ru al-ghinai) paling populer pada masa Jahiliyah, atau dikenal dengan al-syi’ru al-wijnadi, menurut Hafid Ibrahim, masa jahiliyah adalah masa keemasan jenis puisi ini, sudah sampai puncaknya, dicatat dalam sejarah mereka, digantung di Ka’bah dan diberi penghargaan bagi pemenangnya, dinyanyikan dalam setiap pesta, didendangkan di tempat-tempat perjudian, dikobarkan dalam peperangan, dibincangkan di pasar-pasar. Dan puisi Muallaqat, dibuat sebagai dasar, rujukan, usul dari bahasa Arab, kaidah-kaidahnya merujuk padanya. Dan di masa inilah Al-Qur’an itu hadir.

Apakah Al-Qur’an menyerupai al-syi’ru al-ghinai, atau prosa yang menyebar di kalangan mereka? Mari kita lihat sepintas.

Al-Qur’an hadir dengan bentuk yang berbeda, bukan berbentuk bait-bait, dan pula tidak berbentuk prosa khutbah, hikmah, ia hadir dengan bentuk berbeda dengan nama berbeda pula “Al-Furqan“, dengan ayat-ayatnya dan surat-suratnya.

Baca Juga:  Nama-Nama Makkah dalam Al-Qur'an dan Asal Penamaannya

وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ )(al-Isra/ 106)،( تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً)(al-Furqan/1) ، ( الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَقُرْآنٍ مُبِينٍ )(al-Hijr/1) ،( سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا)(al-Nur/1) .

Nama berbeda, bukan syi’ir bukan pula nasr, tapi Al-Qur’an, Al-Furqan, dengan Ayat-ayat dan surat-suratnya. Ia tidak dikenal di kalangan Arab Jahiliyah, bukan yang seperti mereka dendangkan, dan bahkan terkaget-kaget ketika ada beberapa surat yang dibuka dengan huruf-huruf langka buat mereka, “Nun”, “Ya Sin”, “Alif Lam Mim”, “Qof” aneh ini bukan puisi, bukan pula prosa yang mereka kenal.

Nada dan langgamnya tidak seperti puisi, ia pola sendiri, seperti

وَٱلنَّـٰزِعَـٰتِ غَرۡقࣰا، وَٱلنَّـٰشِطَـٰتِ نَشۡطࣰا، وَٱلسَّـٰبِحَـٰتِ سَبۡحࣰا، فَٱلسَّـٰبِقَـٰتِ سَبۡقࣰا، فَٱلۡمُدَبِّرَ ٰ⁠تِ أَمۡرࣰا

tiba-tiba dalam satu surat berubah

یَوۡمَ تَرۡجُفُ ٱلرَّاجِفَةُ, تَتۡبَعُهَا ٱلرَّادِفَةُ, قُلُوبࣱ یَوۡمَىِٕذࣲ وَاجِفَةٌ

Kadang dalam satu surat, kita menemukan kisah, tapi ia bukan cerpen apalagi novel, ada pola yang unik, dengan imaji yang tinggi, juga tidak sepi dari majas, personifikasi, metafora, hiperbola, tamsil, simile, alegori, eufinisme, tiba-tiba ada kata perintah, peringatan, kabar gembira, siksa, hukum dan…seperti mengobarkan semangat, tiba-tiba sedih, tiba-tiba gembira, ada harapan, ada ancaman, penghianatan, kemunafikan, dosa dan dusta, ada sisipan kisah orang-orang terdahulu, keghaiban, surga dengan keindahannya, neraka dengan kengeriannya. Gaya Ini, tidak ditemukan pada karya sastra sebelumnya (masa jahiliyah).

Belum lagi bagaimana ia membuka suratnya (fawatih) menutupnya (khawatim) cukup indah, pilihan diksinya, dengan bahasa yang kadang belum dikenal sebelumnya, akurasi pencitraan: transendensi ekspresi (sumuu ta’bir) dan ungkapannya yang kuat (udmah ta’bir), singkat padat (ijaz), pengulangan yang tidak biasa (balaghah aal-tikrar).

Pula, menggunakan nama yang asing dalam setiap suratnya: sapi (al-Baqarah), guntur (al-Ra’d), meja makan (al-Maidah), gua (al-Kahfi), Muhammad, cahaya (al-Nur) dll, dan banyak kisah dalam setiap suratnya, ada pula yang mirip tapi berbeda, menggunakan diksi yang berbeda pula.

Baca Juga:  Belajar pada Nabi Khidir, Berkata Sopan Santun (Analisis Penggunaan Kata Iradah dalam Surah al-Kahfi)

Membicarakan al-Qur’an tidak akan pernah selesai, tafsir selalu bertandang, pada setiap zaman punya kekhasan, ia benar-benar mutiara. Inna anzalnahu qur’anan Arabiyan la’alakum ta’qilun. [HW]

Refrensi: al-Qur’an, tarikh al-adab al-islami, Al’asr al-jahiliyah, Al-maqalat al-islamiyah, al-wa’u al-islami al-adad 365

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Zainab al-Kubro
Perempuan

Zainab al-Kubra

Zainab al-Kubra, begitulah masyarakat memanggil al-Haura’ Zainab binti ‘Ali bin ‘Abi Thalib cucu ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini