Kepemimpinan Orang Jawa Ketika Menghadapi Pagebluk

Saya dilahirkan sebagai orang Jawa, dalam khazanah kebudayaan Jawa. Tentunya banyak sekali hal tradisi atau nilai-nilai. Identitas budaya Jawa ini sangat mewarnai dalam penanggulangan krisis, apalagi ketika menghadapi pandemi Covid-19. Sebuah Antropolog terkemuka Clifford Geertz (1981) mengawali diskusi tentang kebudayaan Jawa ketika mengangkat tesis agama Jawa yang unik karena varian agama yang eksis tidak sama ada di dunia Arab.

Clifford Geertz mengelompokan agama Jawa dalam varian abangan, santri dan priyayi (kebatinan). Geertz dengan jelas menunjukan bahwa aliran abangan plus kebatinan yang oleh ahli lain dimasukkan ke dalam kategori agama kejawen, merupakan aliran mayoritas kejawen.

Aliran ini menurut Bambang Hudaya (2020)  dalam tulisan Pandemi dan Reproduksi Kepemimpinan Jawa, mengetengahkan jagad pandang, kosmologi, kepercayaan dan berbagai pengetahuan yang diinternalisasikan melalui berbagai praktik ritual, kesenian, ekonomi sosial, dan politik yang bersumber pada budaya Jawa.

Tesis Clifford Geertz mendorong keingintahuan saya, ketika pandemi Covid-19 tentang bagaimana orang Jawa dalam menghadapi Covid-19. Yang Orang Jawa sendiri menyebut pandemi dalam terminologi lokal pagebluk. Penggalian ini, mungkin dari beberapa sumber literatur atau pengamatan saya mulai media sosial, TV dan lainnya.

Beragam sikap yang dihadirkan ketika wabah dari Wuhan masuk ke Indonesia. Kepanikan menyerebak dimana-mana. Saya teringat kejadian di Natuna, atas kepulangan WNI dari Tiongkok, berlanjut ketika pengumuman pasien pertama Covid-19 semuanya reaktif menyambutnya. Ada yang borong barang-barang kebutuhan pokok, ada juga yang menutup diri untuk berpegian.

Tetapi, ulasan Bambang Hudayana (2020) mengatakan. Menurutnya, orang Jawa sangat memperhatikan para pemimpin, budayawan dan wong pinter. Mereka mempunyai pengaruh dan mempunyai sumber pengetahuan dan pandangan kejawen yang mewarnai negara dan rakyat dalam memaknai pandemi Covid-19.

Baca Juga:  Penyebaran Covid-19 melalui Aerosol/Udara

Saya tertarik mengulas mengenai para pemimpin Jawa dalam menghadapi pagebluk ini. Dinamika sosial mewarnai bagaimana cara memitigasi dalam penanggulangan bencana Covid-19 sepanjang tahun ini.

Tokoh penting yang sorot pertama, para gurbenur, menteri hingga presiden. Kita tahu bersama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan tokoh orang Jawa yang mewarnai dalam penanganan Covid-19. Kejawaan melekat pada putera daerah Surakarta itu.

Saya mencatatnya, ketika dunia sedang menghadapi Covid-19 dan Indonesia belum terdeksi virus Covid-19. Pemerintah-pun, terlihat pandangan kebijakan politik yang berbeda. Negara lain memperketat kedatangan turis asing dalam soal wisata.

Tetapi, Presiden Jokowi melakukan kebijakan mengundang influencer untuk memanfaatkan pandemi sebagai titik balik pariwisata. Kritik tajam bermunculan, mulai meremehkan virus Covid-19 itu dan lambatnya menutup akses masuk sehingga lebih terkontrol dibadingkan mengelontorkan mendatangkan influencer dalam pariwisata.

Kemudian, bagaimana sikap Presiden Jokowi dengan Menteri Kesehatan Dokter Terawan. Banyak orang lain panik bermunculan. Sikap tenang-tenang saja yang dilakukan kedua pejabat itu, tentu kita ingat bersama penyataan Dokter Terawan yang mengatakan bahwa penderita Covid-19 tidak usah khawatir berlebihan, yang lebih penting imunitas kita kuat maka virus tak akan menyerang tubuh kita. Sontak penyataan itu, berujung polemik di masyarakat. Desakan untuk menggatinya bermunculan. Tapi saya melihat ketenangan dokter Terawan sangat teruji walaupun kritik datang silih berganti mantan direktur RSUPAD Gatot Subroto itu tetap bertahan menjadi menteri.

Yang tentu ingat bersama, bagaimana awal-awal kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSSB) atau lockdown dalam mengatasi bersama. Bagaimana sikap Presiden kita dengan Gurbernur Anies misalnya. Perbedaan cara pandang pun mewarnai tentang kebijakan itu.

Kita tahu bersama, negara-negara lain telah melakukan aturan ketat dengan lockdown seperti China, India dan Perancis. Kebijakan ini diyakini sebagai kebijakan dalam meredam pandemi melalui karantina wilayah.

Baca Juga:  Batal ke Tanah Suci tapi Berpahala Haji

Sikap reaktif-pun dilontarkan Gurbernur Anies yang kebetulan secara etnis non-Jawa yang lebih menginginkan tindakan kebijakan yang tegas dan berani dengan pembatasan berskala besar dan ketat guna memutus penularan Covid-19.

Menurut Bambang Hudayana (2020). Contoh sikap kepemimpinan Jawa dalam menghadapi pagebluk. Dalam kebudayaan Jawa menurut Bambang Hudaya mengajarkan manusia agar memilih pendekatan yang bersifat partikularistik, yaitu tidak seragam karena dikejar menyelesaikan masalah yang beragam dan yang diutamakan selamat (slamet).

Pepatah Jawa mengatakan “alon-alon asal klakon, gremet-gremet waton slamet” yang artinya pelan-pelan asal tercapai tujuan, sedikit-sedikit tetapi selamat. Kalau kita maknai dibalik pepatah ini adalah dalam arti positif menghendaki bahwa kebijakan bukan sebuah tindakan reaktif, emosional sangat ketakutan dan mengejar target semata. Tetapi, kebijakan penuh dengan kehati-hatian, kecermatan, ketenangan, dan memperhatikan berbagai resiko dan berusaha mencapai tujuan secara bertahap sehingga mencapai keberhasilan.

Apa yang dilakukan pemimpin Jawa seperti Presiden Joko Widodo, Menteri Dokter Terawan menjadi bisa dipahami bersama memegang teguh falsafah kebudayaan Jawa. Walaupun, dalam segi kebijakan terkesan lambat, tetapi ketepatan dalam menghitung segala resiko itu dilakukan. Kebijakan PSSB sebagai contoh menjadi dianggap falsafah Jawa “ngono yo ngono ning aja ngono” yang artinya begitu ya begitu tetapi jangan begitu. Dalam arti positif mengakui lockdown sebagai metode untuk mencegah penularan Covid-19 secara masif, tetapi tidak sebaliknya diterapkan secara kaku dan seragam.

Presiden Jokowi berkali-kali, Setiap negara tentu memiliki karakter sendiri-sendiri. Pilihan PSSB yang lebih cocok dan diasumsikan akan berjalan tanpa memakan banyak korban. PSSB itu tidak melakukan pembatasan sosial dengan menegakkan hukum dan penggunaan kekerasan aparat. PSSB menekankan kedisiplinan warga negara untuk melakukan social distancing.

Ini bisa dipahami bagaimana nalar orang jawa yang dalam menghadapi pagebluk diwarnai sikap eling yaitu ingat dan tunduk atas kuasa dan bimbingan Tuhan dan Waspada artinya mawas diri berbagai resiko yang dapat mengancam keselamatan. [HW]

Athoilah Aly Najamudin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Santri PP. Al-Munawir Krapyak Yogyakarta.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini