Tahun 1937, Muktamar NU digelar di Malang. Anshoru Nahdlatoel Oelama (ANO) tampil elegan dengan mendelegasikan drumband yang dipandegani oleh BANOE (Barisan Ansor NO).
Seorang pemuda cakap, Hamid Rusydi, tampil jadi mayoret. Dia memang punya bakat jadi pemimpin. Cerdas pula. Klop. Jadi, bisa dibilang Hamid Rusydi ini adalah tipikal Banser idaman. Sebab, di era 1930-an, dia adalah anggota aktif Pandu Ansor atau yang sering disebut dengan BANOE alias Barisan Ansor NO, yang merupakan cikal bakal Barisan Ansor Serbaguna alias Banser. Kerennya lagi, Hamid Rusydi ini mengislamkan cewek Belanda, lantas menikahinya. Kelak, dia menjadi komandan PETA, lantas melanjutkan karier di TNI, dan gugur pada 1949.
Di awal pembentukan drumband ini, beberapa ulama NU masih belum sreg, khususnya dalam penggunaan seragam yang jas dan dasi. Khusus yang terakhir, para ulama tetap keberatan. Alasannya, itu baju “kaum kafir”. Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut. Menyikapi hal ini, beberapa eksponen ANO, seperti KH. Abdullah Ubaid, KH.Tohir Bakri, dan beberapa aktivis lain menjelaskan. Kurang lebih, jas dan dasi kami pakai sebagai strategi perlawanan, karena dengan menggunakan baju ini kami sebagai pribumi merasa setara dengan mereka. Para kiai manggut-manggut. Sebagian menolak, tapi lebih banyak yang mendukung. Apalagi, kaum muda ini melengkapi jas-dasi ini dengan kopiah hitam. Lengkap sudah.
Di era 1950-an, drumband semakin populer. Berawal dari grup musik militer, drumband kemudian menjadi grup musik resmi, penyampai lagu-lagu perjuangan, mars kepartaian, dan simbol propaganda. Bisa dibilang, setiap partai politik punya “orkestra berjalan” ini.
Bahkan, di awal era 1960-an santri bernama Imron Hamzah, murid KH. Ma’shum, Lasem, pernah mencopot satir musholla pondok yang berwarna hijau, untuk dijahit sebagai dasi seragam drumband GP Ansor Lasem. Perbuatan yang menyebabkan Mbah Ma’shum tertawa melihat militansi santrinya. Kelak, santri nekat ini menjadi ahli fiqh yang disegani dan menjabat Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. (M Luthfi Thomafi “Mbah Ma’shum Lasem: The Autorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad“, Yogyakarta, LKiS, 2007).
Persaingan partai politik yang memanas di era 1960-an ini semakin membuat keberadaan drumband diperhitungkan. Latihan-latihan dijadwalkan sesering mungkin, seleksi anggota dijalankan dengan ketat, peralatan dimodernisasi, dan atraksi mayoret menjadi tontonan yang ditunggu-tunggu. Sebagian partai politik, seperti PNI, Partai NU, dan PKI juga mengirimkan anggotanya belajar teknik drumband mutakhir ke akademi militer. Maklum, drumband tentara dianggap sebagai prototype ideal, baik dari segi postur anggota, teknik bermain, pilihan lagu dan pukulan yang menghentak, hingga atraksi yang rumit dan memukau.
Dalam buku “Gerak Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran” (Surabaya: AULA, 1990), Choirul Anam menyebutkan peran vital grup drumband milik GP Ansor yang energik dan ditunggu-tunggu atraksinya. Nyaris setiap PC GP Ansor di berbagai daerah memiliki drumband. Keberadaannya menjadi sarana syiar dan propaganda. Drumband milik Pemuda Rakyat, sayap kepemudaan PKI, menjadi kompetitor beratnya. Bahkan dalam ulangtahun PKI ke 45, 23 Mei 1965, 15 grup drumband Pemuda Rakyat tampil di hadapan massa yang menyemut di Gelora Bung Karno.
Setelah GP Ansor mengaktivasi banyak drumband, Fatayat NU tak mau kalah. Sayap pemudi NU ini juga membentuk marching band. Salah satu atraksi memukaunya adalah saat peringatan harlah NU ke-40, 1966, di GBK. Di YouTube ada rekaman peringatan harlah ini, meskipun di dalamnya hanya ada beberapa detik petikan atraksi drumband cewek ini.
Ide pembentukan drumband Fatayat NU tersebut, sebelumnya sempat memantik perdebatan fiqhiyyah antara KH. Bisri Syansuri dan kakak iparnya KH. A. Wahab Chasbullah. Kiai Bisri melarang, Kiai Wahab memperbolehkan dengan catatan ketat di sana-sini. Akhirnya, drumband Fatayat NU menjadi pesaing terberat grup milik Gerwani.
Demikian kuatnya arus kompetisi di era 1960-an itu, Mas Hairus Salim HS, dalam “Kelompok Paramiliter NU” (Yogyakarta: LKiS, 2004) juga mencatat apabila di era Orde Lama, drumband menjadi pertanda kemodernan. Juga parade kebudayaan dan alat propaganda. Kompetisi yang berlangsung sengit, atraktif, namun tetap sportif.
*
Kamis kemarin (20/08), bakda isya’, seusai mengikuti prosesi tahlilan dalam rangka 40-hari wafatnya KH. Maddah Zawawi, PP. Assunniyah, Kencong Jember, di ndalem-nya KH. Abdullah Khoirzad Maddah, saya mewawancarai KH. Ni’am Zawawi.
Beliau adalah salah satu, bahkan mungkin satu-satunya pendiri IPNU Cabang Kencong yang masih hidup. Usianya 78 tahun, tapi ingatannya masih tajam. Sungguh pun kondisi fisiknya sudah menurun tapi Mbah Ni’am masih semangat diajak ngobrol. Beliau bernostalgia soal pendirian IPNU Cabang Kencong.
IPNU Kencong berdiri tahun 1967. Salah satu cara menarik calon anggota adalah menggunakan media drumband. Seragamnya berwarna putih: celana, baju, topi (bentuknya seperti topi polantas) hingga sepatu. Anggotanya juga diseleksi.
Atraksi mereka selalu ditunggu-tunggu. Jika sudah tampil, dalam rangka Agustusan, misalnya, maka masyarakat menyemut di pinggir jalan. Apalagi saat itu, selain IPNU, GP Ansor juga punya grup drumband. Demikian juga dengan NU Cabang Kencong. Ibaratnya, jika ada kompetisi drumband, yang paling ditunggu adalah atraksi dari kubu NU ini. Ketika Shalawat Badar dikumandangkan melalui nada yang menghentak oleh para pemuda, masyarakat juga menyanyikannya dengan bersemangat. Tanpa partitur, tapi sudah sangat hafal.
Tidak heran jika kakak Mbah Ni’am, KH. Jauhari Zawawi, pendiri PP. As-Sunniyyah, Kencong, Jember, yang awalnya tidak setuju, pada akhirnya memuji grup drumband IPNU Kencong ini, karena melihatnya sebagai sarana syiar dan dakwah.
Menurut Mbah Ni’am, yang diamini oleh keponakannya, KH. Achmad Sadid Jauhari, di era 1960-an hingga satu dasawarsa berikutnya, drumband menjadi sarana efektif rekrutmen dan pencitraan NU sebagai sebuah organisasi yang modern. Ya, alat musik yang menjadi penanda modernitas. Citra ini demikian melekat dan mayoret, yang gagah dengan tubuh atletis dan atraksi tongkatnya yang ciamik, biasanya juga menjadi idola. Semacam selebriti lokal.
Namun, ketika Golkar semakin mencengkeram kekuasaannya di pertengahan 1970-an, keberadaan drumband milik NU dimatikan. Paradenya dikerdilkan dan diminggirkan melalui tangan aparat desa. Sebagai gantinya, hanya drumband milik Golkar yang boleh atraksi. Sejak saat itu, banyak grup drumband NU yang mati suri.
Sebagai siasatnya, beberapa kiai memilih membentuk drumband santri. Tidak heran jika kemudian banyak pesantren memiliki drumband santri ini. Yang paling kondang adalah drumband milik Ponpes al-Anwar, Sarang Rembang. Ketika menyambut tamu, baik dari dalam maupun luar negeri, Mbah KH. Maimoen Zubair bisanya menampilkan atraksi drumband santri ini.
Diakui atau tidak, dalam konteks sosial-politik di Indonesia, drumband bukan sekadar kumpulan atraksi alat musik. Ia lebih dari itu. Sebagai syiar Islam, sarana pencitraan, hingga alat propaganda.
Wallahu A’lam Bishshawab. [HW]