Kebijakan Pemimpin Harus Berorientasi Maslahah

Akhir-akhir ini kebijakan Pemerintah memang seringkali berubah-ubah. Baik nama maupun realisasinya di lapangan. Pemerintah Indonesia seringkali seperti kehilangan marwahnya di hadapan masyarakatnya. Memang kebijakan Pemerintah di masa pandemi covid-19 ini selalu sulit untuk menentukan pilihan prioritas antara ekonomi dan kesehatan, dan seringnya justru di masyarakat baik segi ekonomi dan kesehatan tidak tercapai salah satunya. Hal ini dibuktikan dengan kasus covid-19 dalam bulan Juli 2021 ini, mengalami kenaikan 5-8 kali lipat dari bulan-bulan sebelumnya.

Dalam Islam setiap kebijakan haruslah bersifat la dhirar wa la dharar, dengan kata lain apabila sulit mencapai kemaslahatan, maka menghindari kemafsadatan (kerusakan) lebih diutamakan. Maka, kebijakan PPKM baik yang darurat maupun yang biasa-biasa saja, alangkah baiknya mempertimbangkan untuk menghindari kerusakan yang lebih parah lagi. Dengan catatan, memberikan edukasi pada masyarakat terkait pentingnya menaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan menindak tegas pemimpin-pemimpin daerah maupun lembaga yang melanggar peraturan PPKM.

Di dalam Islam pemimpin adalah seseorang yang bertanggung jawab atas sesuatu yang terjadi atau yang akan terjadi pada suatu kelompok, komunitas atau masyarakat. Karena begitu besar peran yang diemban oleh seorang pemimpin maka pemimpin inilah yang selalu menjadi sorotan bagi setiap orang baik kepribadiannya, jalan hidupnya, ucapannya maupun pemikirannya. Karena baik atau buruknya suatu kelompok sangatlah ditentukan oleh kebijakan seorang pemimpin, bagaimana cara ia memimpin suatu kelompok/ masyarakat tersebut.

Begitu pula dalam suatu agama atau negara juga akan tetap baik bila agama atau negara itu memiliki pemimpin yang bijaksana dalam memimpin agama dan pemerintahan tersebut. Ada satu kaidah fikih yang mengatakan:

تَصَرَّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya: “Kebijakan imam/ kepala Negara terhadap rakyatnya itu harus berdasarkan kemaslahatan.”

Baca Juga:  Pemimpin yang Adil

Adapun dasar dari kaidah ini dari al-Quran surat al-An’am ayat 152:

وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.”

Sekalipun ayat ini tidak secara eksplisit tidak menyebutkan tentang peran pemimpin terhadap masyarakatnya, namun secara implisit ayat tersebut menyebutkan bahwa seorang pemimpin kedudukannya setara dengan wali yatim, di mana posisi ia bertanggung jawab penuh atas harta dan kemaslahatan anak yatim atau masyarakat yang dipimpinnya, sekaligus akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di akhirat kelak.

Karena pemimpin seperti yang dimaksudkan di atas maka seorang pemimpin itu mempunyai kewajiban mewujudkan stabilitas publik dan stabilitas ukhrowi dalam dirinya, dan tiada bolehlah ia berbuat dzalim kepada rakyat yang dipimpinnya.

Ayat ini dijadikan pula oleh khalifah Umar Bin Khathab sebagi landasan yuridisnya pada suatu kasus yang ia hadapi, diriwayatkan oleh Imam Sa’id Bin Manshur, dari Abil Ahwash dari Abi Ishaq, dari Al-Barra’ Bin ‘Azib, beliau berkata: Umar Bin Khattab: “Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allah, sebagaimana kedudukan wali anak yatim, kalu saya membutuhkan, saya ambil secukupnya saja dari harta itu, kelak apabila saya telah mampu, maka saya kembalikan harta yang saya ambil itu, jika saya sudah cukup maka saya menjaga diri dari mengambil harta tersebut (tak mengambil sedikitpun).”  Dan fatwa ini pula dijadikan hujjah bagi Imam As-Syafi’i, yang menyatakan bahwa “kedudukan pemimpin atas rakyat itu sama halnya kedudukannya dengan wali atas anak yatim”.

Baca Juga:  Demonstrasi dan Kemaslahatan

Dari fatwa Umar yang kemudian dikembangkan oleh Imam As-Syafi’i ini dapat ditegaskan bahwa teori kebijakan publik atau untuk mencapai kemaslahatan rakyat maka pada hakikatnya mengacu pada hadist nabi Muhammad Saw. “Masing-masing dari kamu adalah penggembala dan tiap-tiap penggembala dimintai pertanggung jawabannya atas gembalaannya”.

Maksudnya adalah semua peraturan yang dibuat oleh pemimpin atau kepala Negara terhadap rakyatnya harus didasarkan kepada terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya. Maka dari itu, Pemimpin Negara dan seluruh perangkatnya dalam mengambil kebijakan harus didasarkan pada pertimbangan kebaikan atau yang terbaik di antara kebaikan-kebaiakan lainnya, sehingga pemerintah tidak diperbolehkan mengambil kebijakan berdasarkan satu pertimbangan saja, sekalipun bermanfaat jika diyakini masih ada manfaat yang lebih besar lagi, kecuali jika dalam pengambilan kebajikan itu akan berdampak fatal pada hal-hal yang merugikan.

Para pemimpin, abdi Negara, pegawai sipil atau militer, hakim atau qadli, tokoh masyarakat dan lain sebagainya, hakikatnya hanyalah merupakan representasi suara rakyat yang mereka pimpin. Para pemimpin tidak lebih dari pelayan masyarakat yang harus mengabdikan dan mendedikasikan kepemimpinannya untuk kemaslahatan rakyat. Nabi saw. Bersabda: “pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”.

Dengan kata lain, para pemimpin itu hanyalah wakil akan pemenuhan hak-hak umat, sehingga mereka wajib menjalankan roda pemerintahan (tadbir) dengan baik. Hal itu sebagai wujud dari tanggung jawab seorang pemimpin untuk menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan, menghapus kebodohan, memelihara kemaslahatan, melindungi harta masyarakat, memberi rasa aman bagi seluruh rakyat dan seterusnya.

Disamping itu, pijakan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/maslahah ‘ammah) di atas kemaslahatan individual dan golongan. Sehingga apabila ada suatu kelompok pejabat yang menginginkan keistimewaan fasilitas kesehatan di musim pandemi covid-19 seperti saat ini. Jelas ia telah berbuat dzalim kepada rakyat yang dipimpinnya.

Baca Juga:  Selamatkan Mahasiswa dari Deviasi Sosial

Dalam pandangan Islam pemimpin adalah manusia yang diberi kepercayaan yang diberi Allah SWT melalui suara rakyat dengan kata lain demokrasi untuk dapat menjadi pemimpin yang kredibel, sesuai aturan syara’ dan memenuhi aturan standar, maka harus memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya ia harus memiliki sifat adil. Sedangkan sifat adil itu adalah mengutamakan kemaslahatan universal.

Islam menilai bahwa keadilan adalah syarat yang sangat fundamental dalam setiap wewenang dan kekuasaan. Karena dengan sifat adil inilah seorang pemimpin akan mampu melaksanakan roda pemerintahan secara baik dan benar siapapun orangnya dan apapun jabatannya. Dan seperti yang telah dirumuskan secara formal dalam fikih, adil adalah perilaku tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil atau dalam definisi Syarif al Jurjani, adil adalah keteguhan untuk selalu berada dalam jalan yang benar dengan cara menjauhi seluruh apa yang dilarang oleh agama. Untuk itu kami segenap rakyat Indonesia, untuk para pemimpin negeri ini, untuk mejaga sikapnya dan pandangannya, untuk berbuat adil, terutama untuk diri mereka sendiri agar tidak terjadi kedzaliman lebih luas di masyarakat yang dipimpinnya. []

Referensi

Bisri. Mustofa. Terjemah ‘Al Asybah wan Nadhair. Rembang, 1977.

Haq, Abdul. Formulasi Nalar Fiqih. Surabaya: Calista. 2005.

Zaini al-Hasyimiy, Maksum. Pengantar Memahami Nadhom al-Faraidhul Bahiyah. (Jombang: Darul Hikmah, 2010.

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Leaders Eat Last
    Opini

    Leaders Eat Last

    Entah memulai dari mana, menulis isu sensitif kadangkala, tanpa disadari, kita dianggap menyikut ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini