Syeikh Mullā

Ada pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika melihat kesuksesan al-Būtī dalam karir intelektualnya dan sisi-sisi kehidupan lainnya, benar-benar al-Būtī tidak jauh dari otoritas keulamaan sang ayah yaitu Syeikh Mullā.

Ayah al-Būtī bernama lengkap Syeikh Mullā Ramadhān Ibn Umar ibn Murād al-Būtī. Syeikh Mullā dilahirkan pada tahun 1888 M di Buthān. Itu sebabnya, beliau dikenal dengan sebutan al-Būtī. Syeikh Mullā adalah keturunan Kurdi dari keluarga yang berprofesi sebagai petani.

Syeikh Mullā muda berguru kepada Syeikh Muhammad Sa’id Sayyidan, Sayyid Muhammad Fandzakī dan Mullā Abdussalām. Ketiga mahaguru inilah yang membentuk pribadi Syeikh Mullā sehingga menjadi ulama rabbani yang disegani.

Sejak kecil, Syeikh Mullā gemar belajar ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah hingga Mantiq. Selanjutnya, ilmu syariah menjadi fokusnya, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih hingga tasawuf. Bahkan, sejak muda, Syeikh Mullā sudah gemar membaca kitab “Ihyā Ulūmiddīn” karya al-Ghazālī.

Al-Būtī mengisahkan masa-masa muda ayahnya saat belajar di madrasah dalam bukunya “Hāzā Wālidī” begini:

ويقول أبي: الحق أنني كنت أنفق كثيرا من وقتي في تلاوة القرآن وحفظ الأذكار والأوراد ونوافل العبادات وقيام الليل بالإضافة إلى واجباتي الأخرى، بينما كان الطلبة يصرفون أوقاتهم كلها إلى حفظ المتون وإعداد الدروس أو تكرارها…

Maksudnya, “Ayahku berkata: Sebenarnya saya banyak menggunakan waktu-waktuku untuk banyak membaca al-Qur’an dan menghafal zikir dan wirid, ibadah-ibadah sunnah, salat malam selain tugas-tugas lainnya. Sementara murid-murid yang lain banyak menggunakan waktunya untuk menghafalkan matan-matan ilmu, persiapan materi pelajaran atau mengulang-ulang pelajaran sebelumnya…

Al-Būtī melanjutkan kisahnya dalam bukunya:

…وذات يوم أقبل إلينا الشيخ يسألنا ويمتحننا واحدا إثر آخر، ولما انتهى إلي ووجه إلي ما شاء من الأسئلة عن معضلات النصوص، ألهمني الله السداد في الإجابة فنظر إلي قائلا: الحق أنك لم تكن عالما، ولكن الله قال لك كن عالما، فكنت!

Baca Juga:  Hasil Mondok Imam Hatim al-Asham Selama 30 Tahun

Maksudnya: “Suatu ketika, guru kami datang untuk menanyai dan menguji kami satu persatu, tibalah saya ditanyai beberapa pertanyaan dan sayapun bisa menjawabnya. Guru kami memandangi saya seraya berkata, “Sejatinya, kamu bukan anak yang alim (pintar), tapi Allah menitahkan kamu jadi orang alim, maka kamu benar-benar menjadi alim.”

Proses sekularisasi di Turki yang dipimpin Kemal Attaturk menjadi sebab utama hijrahnya keluarga al-Būtī ke negeri Syām. Syeikh Mullā bersama keluarganya pun hijrah menuju Damaskus menyusuri Halwat, al-Hasaka, Dier al-Zor, al-Raqqa, al-Hama dan Hims. Beliau kemudian bermukim di dekat masjid Rukn al-Din. Peristiwa hijrah ini terjadi ketika anaknya (al-Būtī) masih berumur empat tahun.

Syeikh Mullā adalah sosok yang sangat mengagumi dan menghormati ulama. Konon, beliau sejak masih di Buthān tanah kelahirannya suka mengisi atau menyediakan kebutuhan air untuk para ulama dan masyarakat Buthān. Berkat khidmat kepada ulama inilah, sang putra (al-Būtī) menjadi ulama besar.

Dalam mendidik keluarganya, Syeikh Mulā sangat disiplin. Selain itu, dalam kehidupannya selalu mengajarkan kesederhanaan kepada keluarganya. Setiap makan bersama, selalu mengingatkan bahwa hidangan yang akan dikonsumsinya adalah nikmat dari Allah yang patut disyukuri, apapun jenis hidangannya.

Lebih dari itu, masalah mendidik anak, Syeikh Mullā selalu menanamkan cinta kepada Baginda Nabi saw. Akhlak dan tuntunan Nabi menjadi pedoman dalam kehidupan kesehariannya. Bahkan, dalam hal-hal kecil sekalipun, harus mencontoh akhlak Nabi saw.

Dikisahkan, Syeikh Mullā pernah menangis sebab sang anak (al-Būtī) memakaikan kaos kakinya dengan mendahulukan kaki kirinya daripada kaki kanan.

“Wahai ayahku, kenapa engkau menangis?” tanya al-Būtī kepada ayahnya.

“Wahai anakku, apakah engkau tidak tahu kalau Rasulullah senang memulai sesuatu dengan anggota tubuh yang kanan?” jawab sang ayah, Syeikh Mullā Ramadhān.

Baca Juga:  Kiai As’ad: Karomahnya yang bisa memecah badan hingga mengetahui turunnya hujan

Syeikh Mullā Ramadhān wafat di usianya 104 tahun dipangkuan sang putra satu-satunya, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buti.

Begitulah sosok Syeikh Mullā. Tidak heran, jika al-Būtī menjadikan ayahnya sebagai rule model dalam hidupnya. Sejak kecil al-Būtī menimba ilmu langsung ke ayahnya. Bahkan, saat al-Būtī di ma’had pun beliau masih menyempatkan diri seminggu sekali untuk talaqqi ilmu-ilmu alat kepada sang ayah, Syeikh Mullā Ramadhān al-Būtī. Wallāhu a’lam. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] diketahui, bahwa Al-Būtī mulai memberikan pengajian kitab al-Hikam Ibn Atāillah ini sejak tahun 70-an. Pengajian al-Hikam […]

    2. […] memiliki darah keturunan Kurdi. Beliau berhijrah dari Turki ke Damaskus sejak kecil bersama ayahnya. Di Suriah al-Būtī belajar ilmu agama di salah satu lembaga pendidikan yang dipimpin Syaikh Hasan […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah