Sampai detik ini, problematika keberagamaan terkhusus Islam menjadi wacana krisis di berbagai wilayah, bahkan negara. Fenomena ini merupakan respons atas berbagai tragedi mengenai teror dan kasus besar kemanusiaan yang diduga (dipahami) dilakukan oleh orang (dilabeli) Islam. Perihal ini, memberi trauma besar pada siapa saja yang sensitif atas kejadian tersebut, sehingga membentuk persepsi seakan-akan Islam begitu tidak manusiawi dan penuh dengan kekerasan.
Tumbuhnya paham seperti ini (yang merugikan banyak pihak) tidak lain dikarenakan minimnya penalaran kritis dalam beragama. Pun tidak menafikan, marak dan masifnya doktrinisasi dalam beragama oleh oknum. Umumnya, permasalahan ini dibalut halus dengan simbol anjuran jihad membela agama Tuhan dengan disertai dalil-dalil lahiriah dan perihal eskatologis (janji-janji Tuhan dalam Al-Qur’an terhadap orang-orang yang disebutkan) untuk menarik simpati para kader dan calon kader.
Minim Berfikir; Sumber Problem Beragama
Tidak dapat dipungkiri, tumbuh dan berkembangnya paham ini, dikarenakan minimnya nalar tauhid dalam ranah sosial kemanusiaan dan didukung oleh dogma-dogma yang diajarkan perihal jihad dan eskatologis oleh oknum yang (mengaku) beragama Islam. Sehingga, permasalahan ini berimbas pada paradigma besar, yakni persepsi bahwa Islam merupakan agama yang tidak memanusiakan manusia dan penuh kekejian.
Fenomena ini tidak hanya menjadi wacana pengamat dan pemerhati keberagamaan dalam ruang lokal dan nasional semata, melainkan juga kancah internasional. Adalah fakta, bahwa tragedi yang pelakunya beridentitas layaknya orang Islam (cover; pakaian dan simbol) kemudian dilabeli oleh kalangan luar sebagai Islam. Mirisnya, hal ini berdampak pada persepsi, bahwa Islam seperti demikian (penuh kekejian dan ketidakmanusiawian).
Minim Literasi-Validasi; Sumber Problem Kemanusiaan
Islam dan pemeluknya dikonstruk oleh kalangan luar memiliki ajaran seperti yang dilakukan oleh oknum, meskipun faktanya pemeluk Islam sendiri mengecam kejadian tersebut. Konstruksi ini mengakibatkan ruang klarifikasi sebagai jalan edukasi mengenai Islam dalam ranah lokal, nasional dan internasional terhambat oleh hal tersebut. Sehingga, berdampak pada menyebarluasnya pemahaman bahwa Islam merupakan ajaran yang keji dan tidak manusiawi.
Problem ini, lazimnya dikarenakan kebiasaan mudah menilai (melabeli) dan mudah percaya akan dogma, meski tidak mengetahui sumber kebenaran, minimnya filterisasi atas ke-valid-an suatu permasalahan. Sehingga, secara tidak langsung, peristiwa ini menggambarkan kondisi keberagamaan di ruang lokal, nasional dan internasional, dalam kaitannya dengan penggunaan nalar kritis keberagamaan dan filterisasi problem (apa benar demikian Islam?).
Untuk itu, sebagai makhluk yang dikaruniai Tuhan dengan akal untuk berfikir, memfilter segala perkara yang terjadi, sudah sepatutnya manusia memberdayakannya, ditambah dengan hadirnya agama dalam kehidupan yang diyakini sebagai pedoman keselamatan dengan aturan-aturan di dalamnya. Dari hal demikian, dapat diminimalisir problem ini, terkhusus kader Islam yang baru belajar, sebagai dasar beragama dalam ruang perbedaan dan kemanusiaan. Sehingga, terbentuk kader yang sesuai dengan karakter Islam yang damai.
Memahami Islam dari Segi Ilmiah Kalimah Syahadah
Secara umum, Islam identik dengan kasih sayang dan kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam ajaran tauhidnya, bahwa semua manusia itu sama, yang membedakan mereka antar satu dan lainnya adalah takwa. Jalan bertakwa ialah melalui pemaknaan mendalam terhadap dua kalimat syahadat. Dalam ruang dua kalimat syahadat, manusia dibimbing untuk mengetahui posisinya dan posisi Tuhan juga rasul-Nya. Sehingga, output dari bimbingan dua kalimat syahadat ialah manusia yang beradab terhadap dirinya dan Tuhannya.
Muslim merupakan orang yang beragama Islam, artinya mereka yang tunduk pada Tuhan dan menghamba kepada-Nya. Jalan penghambaan manusia (makhluk berakal) ialah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memaknai substansi di dalamnya. Secara tidak langsung, Islam menekankan sisi ketauhidan melalui nalar kritis untuk menggali makna terselubung dalam dua kalimat syahadat yang eksistensinya menjadi esensi Islam yang damai, memanusiakan manusia dan penuh rahmat.
Berkaitan dengan hal tersebut, nalar tauhid dalam kehumanisan bergaul dengan sesama manusia sangatlah penting, artinya berbagai problem atau kesalahan yang ditujukan atas Islam karena ulah beberapa oknum yang gagal atau keliru memaknai Islam dan keliru dalam mengamalkannya, merupakan bukti dari masifnya gerakan doktrin yang terus mencari kader untuk melakukan misinya. Sehingga, sangat terlihat jelas akan minimnya penalaran beragama dalam mencapai humanisme menuju Tuhan.
Sebagaimana dapat kita sepakati bersama, bahwa konsepsi atau isi makna dua kalimat syahadat melalui penalaran kritis dan humanis, dapat meminimalisir berkembang dan masifnya seruan jihad yang merugikan banyak pihak, terkhusus Muslim. Islam merupakan agama yang membawa rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, sebagai manusia yang memiliki akal dan mengaku beragama, sudah menjadi keharusan menjaga kerukunan dan kedamaian pada seksama.
Pentingnya nalar tauhid dalam fungsinya menerapkan humanisme melalui logika berfikir dengan berlandaskan pada sumber samawi merupakan jalan utama untuk meminimalisir terjadinya kegagalpahaman beragama, terkhusus bagi generasi baru Islam. Pun tidak dipungkiri, jika nalar keberagamaan diberdayakan secara kritis menuju perdamaian, hal tersebut dapat mengubah paradigma manusia beragama akan problematika yang terjadi. Sehingga, tidak mudah melabeli, menghukumi dan memukul rata antara satu dengan lainnya tanpa pengkajian lebih lanjut yang kemungkinan besar merugikan.
Kesadaran Beragama; Pemberdayaan Nalar dan Wahyu
Oleh sebab itu, menjadi manusia beragama dengan disertai modal wahyu dan akal merupakan salah satu kesadaran yang harus ditingkatkan. Di samping itu, kesadaran ini harus dimulai dengan mengenal terlebih dahulu apa itu Islam? siapa pembawa risalah Islam? bagaimana karakter pembawa risalah Islam? apa esensi Islam? dan lain-lain.
Potensi pertanyaan-pertanyaan yang hadir merupakan kunci terbentuknya nalar kritis disertai dengan pemahaman yang tajam. Bukan itu saja, fungsi nalar kritis ialah menemukan ilmu yang menurut manusia berguna bagi dirinya. Sehingga, sudah barang tentu, jika nalar kritis digunakan secara sehat disertai ayat-ayat suci dan pemahaman pengantar Islam, problematika Islam yang masif akan terminimalisir.
Selain itu, potensi-potensi terminimalisirnya problem ini ditandai dengan kesadaran manusia beragama dalam mengambil sikap bijak, bahwa Islam merupakan agama yang membawa rahmat. Jika terselubung individu yang terindikasi anti-rahmat, maka sudah sepatutnya dipertanyakan keberagamaannya dan kehumanisannya.
Salah satu hikmah yang dapat kita ambil ialah bahwa humanis dalam pergaulan diajarkan di semua agama dengan dasar-dasar atau pedoman yang jelas, begitupun Islam. Untuk itu, mempelajari suatu perkara terkait agama perlu mendayakan nalar kritis untuk menemukan pemahaman yang terbimbing dan terarah. Sehingga, terdapat kesesuaian antara yang dipaham dengan yang diyakini. Bukan itu saja, membiasakan berfikir kritis juga menjadi salah satu kunci menghindari dogma yang membentuk ketaklidan yang mendaging dan kolot, berbeda dengan karakter Islam yang penuh kedamaian. [HW]