Ziarah kubur merupakan tradisi yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Meski demikian, tidak dipungkiri wilayah lain di Indonesia juga dapat ditemukan terdapat masyarakat yang menjadikan ziarah sebagai tradisi, layaknya masyarakat Jawa.

Umumnya, tradisi ini dapat ditemukan di pelosok desa wilayah Jawa; baik sebelum puasa, setelah puasa; lebaran, setiap kamis sore maupun setelah shalat Jum’at tradisi ini dapat ditemukan, tepatnya di area makam.

Secara umum ziarah dapat dipahami sama dengan berkunjung; baik berkunjung ke orang yang sudah meninggal maupun berkunjung ke orang yang masih hidup. Namun, lazimnya di wilayah Jawa jika disebut ziarah maka yang terbesit dalam lintasan kepala ialah mengunjungi orang yang sudah meninggal di kuburan. Sedangkan, ziarah mengunjungi orang yang masih hidup disebut silaturahmi.

Untuk itu, maka ziarah bagi masyarakat Jawa (mayoritas) dapat diartikan sebagai ziarah kubur; mengunjungi orang yang sudah meninggal, bukan mengunjungi orang yang masih hidup. Tentunya dengan berbagai alasan. Lazimnya, yang sering ditemukan alasannya ialah mendoakan orang yang ada di alam kubur (yang dikhususkan) supaya mendapat rahmat; ampunan dan kasih sayang Allah.

Polemik Ziarah Kubur; Syirik dan Kafir

Persoalan ziarah kubur dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kehadiran beberapa oknum yang mensyirikan para peziarah kubur hingga mengkafirkan mereka yang melakukan kunjungan. Sederet alasan yang populer dan menjadi modal pelabelan mereka kepada yang berziarah kubur umumnya dikuatkan dengan menghadirkan dalil nash yang berisi pelarangan ziarah kubur oleh Rasul Muhammad.

Ziarah kubur bagi mereka adalah bentuk kesyirikan yang fakta dan menyesatkan. Bagaimana tidak, orang sudah meninggal ‘kok’ dimintai pertolongan bahkan dikultuskan. Sebab, mereka seakan mengerti (bahkan meyakini) bahwa yang pasti dipegang setiap orang yang berziarah ialah demikian. Artinya mereka (oknum) memahami ziarah kubur merupakan perbuatan syirik, sebab pasti dilandasi dengan meminta-minta kepada yang dikubur (ahli kubur) bahkn mengkeramatkan kuburnya.

Baca Juga:  Berketuhanan Perempuan #1

Tolak ukur yang biasa dipakai oleh oknum ini ialah bahwa sebagai muslim dan mukmin jika berdo’a hanya kepada Allah semata, bukan kepada mayit. Berdo’a kepada mayit sama halnya mengkultuskan mayit dan itu syirik, sebab mensekutukanNya.

Selain itu, boleh jadi yang menjadi alasan lain ialah bahwa untuk berdo’a tidak perlu berziarah, melainkan cukup dirumah saja. Sebab, ada dalil nashnya ketika nabi melarang umatnya untuk berziarah.

Probematika ihwal ziarah kubur dapat ditemukan dimana saja tempat. Salah satu bukti kuatnya ialah bahwa eksistensi polemik ini bisa dicari di media sosial. Diantaranya youtube, google dan lain sebagainya. Bisa klik di pencariannya ‘ziarah kubur syirik’, maka kemungkinan akan muncul beberapa topik yang dicari.

Konstruksi Nalar Tauhid

Kelemahan tauhid adalah sebab dilarangnya ziarah kubur, sehingga perlu ditangguhkan kembali ihwal tauhid dalam diri. Bagaimana tidak, boleh jadi yang menjadi alasan dilarangnya ziarah kubur ialah tidak menuju Allah yang Maha Suci, melainkan menyimpang dari jalan yang seharusnya. Do’a yang seharusnya sebagai bentuk kelemahan kepada Tuhan dihadirkan dengan manifestasi permintaan duniawi kepada ahli kubur.

Sedangkan, yang memberikan ijabah ialah Tuhan bukan ahli kubur. Hal demikian merupakan kekeliruan fatal dalam beragama; keimanan.

Meskipun demikian, tidak (lantas) dibenarkan jika seorang muslim mengkafirkan yang lain, kecuali melalui ilmu (diskusi atau takliman; bukan mengobori individu, melainkan sebatas permisalan). Sebab, letak iman ialah dalam dada. Sehingga, yang mengetahui hanya Allah semata.

Adapun seandainya setiap dada orang dibelah, maka kemungkinan besar tidak dapat ditemukan posisi iman atau tidaknya seorang muslim. Sebab, yang mengetahui iman dan kafirnya seseorang ialah Allah.

Namun, perlu dipahami bahwa ada ilmu yang perlu diupayakan untuk mencapai iman yakni ilmu tauhid. Bukan pembahasan dzat yang sejati, melainkan suatu konsep penetapan nalar sehat dalam menemukan dan menetapkan ke-Esa-an Tuhan. Tidak hanya sebatas iman keyakinan, melainkan juga dalam ucapan (ikrar), tindakan. Artinya ada 3 jalan iman, yaitu: iman dalam ucapan, iman dalam tindakan dan iman dalam keyakinan. Umumnya, iman dalam keyakinan ialah iman yang memiliki dalil untuk memperkuat keyakinnya; melalui argumentasi. Sehingga, ada porsi yang berbeda dari setiap 3 jalan iman tersebut.

Baca Juga:  KH. Ahmad Abdul Hamid Kendal: Atlet, Ulama, dan Penulis Kitab

Tidak dapat dinafikan begitu saja bahwa Isalm menganjurkan kepada umatnya tentang pentingnya mendalami keyakinan dirinya melalui konsep nalar tauhid; baik perenungan pikiran sendiri maupun tanya jawab dalam taklim.

Keimanan tidak lepas dari ihwal ketuhanan, kenabian dan berita-berita yang dibawanya. Hal-hal tersebut termanifestasikan dalam ilmu tauhid yang wujudnya terbagi dalam 6 rukun iman. Adapun manifestasi dari wujud 6 rukun iman ialah rukun pertama dalam rukun Islam yakni dua kalimah syahadat. Maka penting untuk mendalami (memaknai) dua kalimat syahadat denga ilmu melalui nalar.
Menalar Sehat Ziarah Kubur
Ziarah seperti pada umumnya (dimaklum) dapat diartikan berkunjung. Sebuah kunjungan biasanya memiliki tujuan juga dilandasi dengan niat, seperti silaturahmi. Ziarah dilakukan biasanya untuk mengikat hubungan antar sesama makhluk, khususnya sesama muslim. Meskipun tidak lantas memberi batas bahwa silaturahmi hanya kepada sesama muslim; berkunjung ke siapa saja (sesama manusia, senegara dan sebangsa) itu juga dapat disebut ziarah.

Sedangkan ziarah kubur dapat diartikan berkunjung kepada ahli kubur yang dituju; baik keluarga, ulama hingga Rasul Muhammad dan para sahabatnya. Berkunjung artinya menyambangi, menghampiri; datang ke tempat yang dituju yakni makam.
Salah satu sebab dilakukannya kunjungan kubur oleh peziarah (biasanya) karena adanya (nikmat) kerinduan kepada yang dikubur; hal yang sangat manusiawi. Boleh jadi yang dimakamkan adalah orang yang penting dan berjasa dalam hidupnya; orang tuanya dan keluarganya. Boleh jadi yang dimakamkan adalah orang yang berjasa dalam ilmunya; para guru dan ustaznya. Boleh jadi yang dimakamkan adalah orang yang berjasa dalam keberagamaan Islam di desa atau wilayahnya; para ulama dan waliyullah. Dan boleh jadi yang dimakamkan adalah orang yang berjasa dalam kemerdekaan negaranya; para pahlawan dan lain sebagainya. Secara tidak langsung, ziarah kubur dalam tahap ini ialah sebagai obat yang diupayakan manusia (yang hidup) untuk mengingat jasa yang dikubur.

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Tidak hanya berkunjung karena rindu semata, melainkan para peziarah juga mendo’akan yang dikubur. Perlu digarisbawahi bahwa mendo’akan tidak dapat diartikan secara mutlak bahwa yang berdo’a lebih baik dari pada yang dido’akan. Sebab, berdo’a adalah perintah yang intinya menggambarkan bahwa manusia itu lemah daya tidak biasa apa-apa dan selalu membutuhkan pertolongan Tuhan yang maha suci dari sifat butuh.

Dalam hal ini, berdo’a dalam ziarah kubur dapat diartikan sebagai ungkapan terimakasih para peziarah kubur kepada yang dimakamkan karena jasanya dengan meminta pertolongan kepada Tuhan melalui rasa terimakasih itu supaya Tuhan memberikan tempat yang membahagiakan kepada yang dimakamkan atau yang dikhususkan dalam ziarah. Sehingga, sangat keliru jika diartikan bahwa para peziarah dengan tujuan demikian dilabeli syirik apalagi kafir, sebab yang terkandung dalam tujuan dan niatnya ialah mentauhidkan Allah dengan kesucianNya melalui doa dan berterimakasih kepada Tuhan juga kepada ahli kubur karena telah berjasa.

Dapat disimpulkan, bahwa ziarah kubur dilakukan karena 3 alasan. Diantaranya ialah menghormati yang diziarahi, berterimakasih kepada yang diziarahi atas jasanya, dan mendoakan yang diziarahi. Selain itu, ziarah kubur juga memberikan hikmah besar bagi yang hidup, bahwa mereka (yang hidup) juga akan kembali ke tanah seperti mereka yang mendahului (yang dikubur). Oleh sebab itu, maka ziarah kubur tidak dapat dilepaskan dari sesuatu yang manusiawi-humanis berupa kerinduan keinginan mengucapkan terimakasih, dan sesuatu yang sakral yakni mengesakan Tuhan dalam permintaan do’a. (IM)

M Khusnun Niam
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan bahwa seseorang yang menghadiahkan Al-Fatihah pada ahli kubur maka, masing-masing dari mereka mendapatkan satu pahala surat Al-Fatihah sempurna. Adapun […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini