Perempuan

Berketuhanan Perempuan #1

pixabay

Mengawali tulisan sederhana ini dengan sebuah dialog yang terjadi antara nabi dengan sahabat: “Siapa yang paling wajib aku hormati di dunia ini wahai Rasulullah?” Jawab nabi, “Ibumu, Ibumu, Ibumu.” Baru setelah menyebut kata ‘ibu’ sampai tiga kali, nabi menyebut kata ‘ayah’.

Dialog yang disederhanakan ini, menunjukkan bahwa eksistensi perempuan memang “ada” di dalam islam. Kita tahu dan sepakat bahwa agama islam adalah agama bagi seluruh alam—wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin. Artinya, eksistensi perempuan tentu saja tidak mewujud dalam dunia islam sebagaimana biasa kita pahami, ia ‘ada’ bagi seluruh umat manusia.

Tetapi benarkah konsep eksistensi perempuan itu benar-benar diakui oleh umat manusia secara umum. Memang, kita tidak bisa menggeneralisasikan secara terburu-buru apakah konsep eksistensi perempuan seperti di atas benar-benar ada dan mewataki dalam seluk beluk kehidupan umat manusia, dan ataukah justru sebaliknya. Yang jelas, pembacaan tentang ‘yang ada’ ini perlu segera dilakukan dalam sejarah hidup umat manusia hari ini.

Sejarah hidup umat manusia hari ini adalah sebuah kehidupan baru; dengan alam berpikir yang sama sekali baru. Sebut saja dunia ini dengan zaman modern (atau zaman matrealistik). Sebuah zaman yang menurut Haidar Bagir sebagai ‘zaman kacau’ (Haidar Bagir: 2017). Franz Magnis Suseno juga mengiyakan soal ‘zaman kacau’ itu dengan menyebut manusia modern sebagai manusia satu dimensi (Frans Magnis Suseno: 2006).

Pembacaan terhadap ‘yang ada’ dalam dunia modern bisa diukur dengan banyaknya kasus-kasus yang melibatkan perempuan; baik ia sebagai subjek maupun objek kasus. Dalam beberapa kasus, memang perempuan menjadi ‘subjek’ (dalam arti pelaku), tetapi dalam banyak kasus lain ia selalu menjadi ‘objek’ (dalam arti korban). Sementara, tidak terbatasnya kasus yang menimpa perempuan sebagai ‘objek’ menyebabkan kita kesulitan melacak apa-apa saja yang melatarbelakangi sebuah kasus itu muncul.

Baca Juga:  Memahami ‘Iddah Menggunakan Metode Maqasid Al-Syari'ah

Untuk menghilangkan ambigu itu, kita bisa mulai dengan asumsi bahwa perempuan hari ini telah kehilangan eksistensinya. Asumsi ini diperjelas oleh Mansur Faqih. Ia mengatakan bahwa ketimpangan terhadap perempuan biasanya muncul menjadi subordinasi, mendapat kekerasan (violence), beban kerja ganda (doubel boden), marginalisasi, dan pelabelan (stereotipe) (Mansur Faqih: 2013).

Lalu bagaimana perempuan seharusnya? Diam saja? Tenang, tidak perlu dijawab secara terburu-buru. Kita perlu memahami bagaimana konsep eksistensi perempuan secara lengkap dan mendasar. Terutama mulai dari konsep dan pandangan Tuhan tentang perempuan, sampai ke dalam wujud partikular sebagai upaya konstruksi konsep eksistensi perempuan di mata masyarakat modern.

Tetapi, sebelumnya, kita juga perlu memahami bahwa dalam alam berpikir modern, Tuhan yang bersifat teologis-metafisik itu nampaknya dikesampingkan begitu saja. Termasuk konsekuensi logis yang mewujud seperti agama (dan seabrek lainnya) misalnya, juga diletakkan di “tong sampah”. Justru di sini letak kekurangan dunia modern. Ia menaruh Tuhan dan agama sembarangan, sehingga berdampak besar bagi manusia berjenis kelamin perempuan sebagai bagian dari representasi Tuhan di dunia. Walhasil, perempuan dalam dunia modern juga ikut tercecer (bahkan tenggelam) eksistensinya.

 Eksistensi Perempuan di Mata Tuhan

Sebelum begitu jauh memahami bagaimana eksistensi perempuan di hadapan Tuhan. Alangkah bijaksananya jika kita mau memahami apa itu eksistensi. Secara bahasa eksistensi adalah keberadaan atau hal berada. Kita ambil makna eksistensi sebagai keberadaan. Seperti hukum kausalitas, setiap yang ada berarti juga membuka kemungkinan ketiadaan.

Sama halnya dengan eksistensi, ia juga punya hukum keterbalikan yang biasa kita sebut sebagai ketidakhadiran. Tampaknya, problematika eksistensi perempuan yang sebenarnya tidak hanya sekadar eksistensi dalam makna sesederhana itu. Ia melampaui itu semua.

Baca Juga:  Perempuan Berparas Cantik dari Kedudukan Hina menjadi Mulia

Tentang pandangan Tuhan terhadap perempuan yang dimaksud juga punya banyak sekali makna. Ia tidak hanya sekadar pengakuan adanya mahluk bernama perempuan oleh Tuhan. Lebih dari itu, ia melampaui segala yang ada. Namun untuk pembatasan dan fokus kajian ini, makna yang dimaksud adalah tentang bagaimana sebenarnya Tuhan mengakui perempuan di mata-Nya.

Sebelumnya, perlu ditandaskan terlebih dahulu sebuah argumentasi dari Eti Nurhayati. Ia menyatakan secara implisit, bahwa: “yang meremehkan perempuan berarti ia menentang Tuhan.” Kalimat ini seolah perlu ada tambahan supaya lebih sempurna, yaitu siapa pun yang menentang Tuhan secara terang-terangan berarti ia telah menodai Tuhan, menodai agama dan kesucian (janji primordial) dirinya sendiri.

Nasarudin Umar, dengan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan terminologi perempuan memberikan kesimpulan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antara perempuan dalam arti biologis dan perempuan dalam arti sosiologis (segi beban sosial). Terminologi “al-untsa” digunakan secara konsisten dalam Al-Qur’an untuk makna perempuan dari segi biologisnya.

Sedangkan terminologi “al-mar’ah” atau “al-nisaa” tampak digunakan untuk perempuan dalam sudut pandangan sosiologi (segi beban sosial). Jadi, ada beda antara makna perempuan untuk segi biologis dan segi sosiologis (Eti Nurhayati 2014).

Tentu saja ini berimplikasi kepada interpertasi-interpertasi yang dilakukan oleh kalangan ulama terhadap berbagai tema-tema pokok dalam islam, khususnya yang berkaitan antara perempuan dan laki-laki dalam suatu konteks tertentu.

Sementara itu, Komarudin Hidayat juga berkeyakinan bahwa persoalan perempuan dan laki-laki yang saling tumpah tindih itu bukanlah given (takdir) manusia. Semua didasarkan pada ikhtiar mereka (umat islam) dalam memaknai dan menginterpertasi ayat-ayat yang berkelindan dengan terminologi perempuan dan laki-laki. Artinya, tak ada pengistimewaan terhadap laki-laki dan perempuan.

Baca Juga:  Sikap Tokoh Agama Soal Pernikahan Anak di Masa Pandemi

Dalam pandangan Tuhan mereka sama. Tentu saja Tuhan punya tolak ukur untuk keduanya, yaitu ‘ketakwaan’ sebagai ajang ‘kualitas’ diri yang harus dimiliki manusia (baik perempuan dan laki-laki) (Eti Nurhayati 2014). Tentu saja, jelas, implikasi pandangan Tuhan yang seperti di atas ialah bahwa perempuan diakui secara mutlak, dengan syarat “ketakwaan” sebagai legitimasi kualitas.

Begitulah pandangan Tuhan terhadap perempuan, di mana ia tak sama sekali diposisikan sebagai nomor dua atau bahkan lemah; yang artinya tak bisa menampakkan eksistensi. Tuhan mendukung eksistensi perempuan. Hanya saja, problematika yang muncul hari ini ialah bagaimana kreativitas tafsir dalam dunia islam terhadap teks-teks yang berkaitan dengan terminologi tadi.

Ada dua klasifikasi untuk melihat fenomena ini: satu kelompok menafsirkan perempuan sebagai yang nomor dua (tidak bereksistensi). Sedang untuk kedua, yang banyak muncul akhir-akhir, memandang perempuan sebagai mahluk yang istimewa. Menurut kelompok yang terakhir, perempuan boleh dan bisa ‘berada’ dan bereksistensi tanpa perlu ada gangguan dari pihak mana pun. Sebab, Tuhan melegitimasi itu. (Bersambung)

Muhammad Khasbi Minannurrohman
Penulis adalah Mahasiswa IAINU Kebumen. Aktif berorganisasi di PMII Cabang Kebumen. Selain itu, ia juga termasuk salah satu inisiator Institut Literasi Indonesia dan Forum Diskusi Dialektika serta Forum Kajian Islam Nusantara. Sampai sekarang aktif membaca, diskusi dan menulis esai lepas.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan