Di tengah kesibukan berpikir, mendidik dan menulis, beberapa purnama belakangan, saya acapkali berkeringat menjelang pagi lantaran berusaha mencari makna Indonesia, bukan dari gejolak medsos yang palsu dan menipu, juga bukan dari gelegak diskusi, dari (tata) buku klasik, apalagi kontemporer, melainkan dari sebuah eksemplar permenungan bahwa sejarah manusia adalah sejarah bahasa, ia memang di bumi, tetapi meta-sejarahnya dari langit.
Saya terus mencari makna itu pada mantra-mantra sunyi, pada karmina dan pantun-pantun sepi, pada gurindam-gurindam yang mungkin mengeram di balik temaram, pada seloka-seloka irisan malam, pada sajak-sajak rohani, pada talibun-talibun empun, tiba-tiba senyap dan lantas menguap makna-makna Indonesia itu bersama serbuk-serbuk kopi, bersama kantuk yang mulai menepi. Tapi, di manakah makna? Makna itu ada pada arwah para pahlawan yang telah rela menyabung nyawa demi kemerdekaan tanah air dan tumpah darahnya, makna itu ada pada kesadaran bahwa kita Indonesia.
Baru saja kita memperingat-syukuri dirgahayu kemerdekaan Republik ini yang ke-74, tak lama lagi kita akan rayakan tahun baru Hijriyah, Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad, Sumpah Pemuda, hari Pahlawan sekaligus Maulid Nabi yang seluruhnya adalah ekspresi gelora dan semangat dalam bahasa. Itu semua puisi tanpa tapi, keindahan tak terperi, semua itu debar jantung nyala api, bagi kemanusian dan keindonesiaan yang mulai kehilangan kewarasan dan orientasi. Sehingga, menjadi penting rasanya menyoal dan memaknai bahasa.
Lazim kita tahu bahwa perubahan dan peradanan dunia dimulai dari bahasa, dari teks, dari karya para leluhur, para ilmuwan. Tak tanggung-tanggung, Tuhan dan iman sekalipun hadir dan memperkenalkan diri kepada umat manusia melalui bahasa. Sehingga, mengabaikan bahasa berarti merencanakan kemunduran peradaban. Inilah setidaknya yang ditanamkan oleh Pesantren dan para Kiai. Ini pula yang lamat-lamat menjadi karakter para santri yang selama belajar di Pesantren berdialektika dengan teks dan bahasa dari berbagai peradaban melalui kitab kuning. Mana bukti? Santri belajar gramatika-morfologi dari ulama Kufah, Maroko dan Andalusia, belajar yurisprudensi Islam dari Madinah, Damaskus, Mesir dan India, belajar teologi dari Bsrah, Badhdad, juga Gaza. Santri belajar tasawuf dari Badhdad, Murcia, Thus, dll. Itu artinya peradaban santri adalah peradaban paling maju dan kosmopolit di dunia.
Seorang pakar gramatika asal Mesir, Syaikh Syarafuddin Yahya al-‘Imrithi asy-Syafi’i (w. 989 H) menyatakan dalam salah satu karya monumentalnya bertajuk Ad-Durrotul-Bahiyyah atau yang lebih dikenal Nazham al-‘Imrithi, yakni ’idzil fata hasba’tiqadihi rufi’ # wa kullu ma lam ya’taqid lam yantafi’ (Idealnya pemuda harus memiliki keyakinan yang tinggi, sebab tanpa keyakinan, apapun tidak akan berguna). Kumpulan puisi Nahwu ini sangat karib di telinga para santri dan bahkan menjadi kurikulum wajib di 30 ribu Pesantren di Nusantara ini, bahkan sebelum tamat Sekolah Dasar, saya telah menghafal seluruh bait manzhumah itu.
Ajaran Syaikh Imrithi ini telah mendarah daging di Pesantren, bahwa santri harus mantap hatinya bulat tekadnya dan yakin seyakin-yakinnya kepada ilmu dan barakahnya, kitab kuning dan barakahnya, kepada Kiai/guru dan barakahnya, kepada Pesantren dan barakahnya, kepada Nabi Muhammad Saw dan syafaatnya, bahkan kepada Tuhan dan ampunan serta cinta-kasihNya. Nah, di atas keyakinan itulah santri melangkah. Pun juga Kiai, ia sungguh-sungguh yakin bahwa perjuangan itu akan berbuah dan merambah, yakin bahwa kerajaannya di langit bukan di bumi, sebagaimana sungai mengalir ke laut, sejarah bermuara ke langit. Lantas, bagaimana untuk sampai pada keyakinan sedemikian itu?
Sekali lagi, Syaikh Imrithi memberi wejangan dalam kumpulan puisi yang sama, wan nahwu awla awwalan an yu’lama # idzil kalamu dunahu lan yufhama (Tata bahasa lebih utama untuk dipelajari, karena teks tidak akan dipahami tanpa itu.) Agama adalah kalam (teks), masyarakat adalah teks, Negara adalah teks, pendidikan adalah teks, genarasi milenial adalah teks, nasib adalah teks, hidup dan matipun adalah teks, jangan lupa, para jovisa alias jomblo fi sabilillah juga teks. So?
Manusia, para pemimpin, penentu kebijakan, penganjur kesslehan dan khususnya santri milenial harus memahami “tata bahasa” kehidupan, denyut masyarakat, getar perjuangan, gelombang ujian dan pola-pola serta rumus-rumus dalam bernegara dan bermasyarakat. Dengan memahami “bahasa” itulah santri dan Kiai akan mudah diterima di segala level kehidupan. Saya kira inilah jawaban mengapa teramat sering kebenaran yang kita sebarkan dan kebaikan yang kita pancarkan sulit diterima oleh orang lain.
Kitab Suci mereportase berbagai terma yang merujuk pada bahasa di antaranya: (1) manthiq, seperti pada QS. An-Naml: 16, kadang menggunakan (2) kalam, misalnya pada QS. At-Taubah: 40, (3) lisan, QS Ibrahim: 4, dan (4) qaul, misalnya pada QS. Al-Baqarah: 204. Bahkan, redaksi “qaul” ini kemudian berkembang menjadi cikal-bakal filsafat komunikasi, yakni: qaulan karima (QS. Al-Isra: 23), qaulan layyina (QS. Thaha: 44), qaulan baligha (QS. An-Nisa: 63), qaulan maysura (QS. Al-Isra: 28), qaulan sadida (QS. An-Nisa: 9), qaulan ma’rufa QS An-Nissa: 5 dan 8, QS. Al-Baqarah: 235 dan 263, serta QS. Al-Ahzab: 32.
Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat), Indonesia sebagai bangsa dan negara atau negara-bangsa lahir dari bahasa dan lantas berdaulat karena bahasa. Mana buktinya? Sumpah Pemuda. Ya, Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar bahasa dan bahasa ikrar ini sangat layak dianggap sebagai kristalisasi daya juang dan endapan gelora untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keputusan Kongres Pemuda yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) ini mensyiarkan sebuah syair perihal cita-cita akan “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Padahal, kita tahu, “bangsa Indonesia” belum ada, ia murni imajinasi dalam puisi Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia juga belum lahir, sebab lingua franca adalah bahasa Melayu, setelah bahasa Kawi dan Jawa Kuna mulai koyak-moyak dan bahkan boyak dirusak oleh Penjajah. Memang, salah satu ciri bangsa beradab adalah memiliki bahasa pemersatu, kalender dan tentu saja kedaulatan ekonomi politik.
Dengan sendirinya, bahasa Sumpah Pemuda yang disepuh doa para wali, ditempa oleh keringat para pejuang dan resi, ditajamkan dengan darah juang para pemuda menjadi asas dan getar bagi setiap “perkumpulan kebangsaan Indonesia” dan dipancar-siarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan.
Pada awal abad kedua puluh, suku-suku asli negara Hindia Belanda—sekarang Indonesia—mulai merasa memiliki satu semangat nasionalisme, yang akhirnya dirumuskan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Memang, gagasan nasionalisme ini impor dari pemikiran Joseph Ernest Renan (1823-1892), seorang filsuf, sastrawan, filolog, dan sejarawan Prancis terkemuka. Pernyataannya dalam Qu’est-Ce Qu’une Nation? (1882), bahwa suatu bangsa bukan semata berdasarkan pada masa lampau bersama, tetapi juga pada hasrat hidup bersama.
Rasa persatuan dan kesatuan ini juga dicerminkan dalam media baru. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond(1917) mengajukan negara modern yang bebas dari sistem feodalisme tradisional. Pandangan nasionalisme s juga diajukan dengan publikasi untuk dewasa, termasuk Pandji Poestaka (mulai 1930) dan Timboel (1932). Publikasi ini tidak bertahan lama dan hanya memuat karya sastra ala kadarnya. Ada pula usaha untuk mendirikan majalah sastra berbahasa Melayu, yakni Malaya yang diterbitkan pada 1921, tapi jauh panggang dari pada api.
Pada gilirannya, Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang menjadi redaktur “Memadjoekan Sastera” (bagian sastra dalam koran Pandji Poestaka) berkenalan Armijn Pane saat penulis keturunan Batak ini mengirim beberapa sajaknya. Aktivis pembaharuan sastra, pada surat yang dikirim pada bulan September 1932 STA meminta kritikus sastra baru (letterkundigen) serta minta Armijn mengundang penyair Amir Hamzah untuk membantu membentuk kelompok sastra.
Tak berselang lama pasca korespondensi melalui surat, mereka mengambil keputusan untuk membentuk suatu majalah sastra bersama. Majalah itu, kelak, bernama Poedjangga Baroe, untuk mendukung kebudayaan modern dan nasionalisme melalui sastra, yang pada saat itu belum pernah dilakukan di Nusantara.
Pada rentang 1948-1954, setelah penyerahan Jepang dan menjelang akhir Perang Kemerdekaan Indonesia, seri baru dengan judul yang sama didirikan oleh STA. Penulisnya baru, termasuk Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, dan Asrul Sani. Majalah Pudjangga Baru ini kemudian diganti dengan Konfrontasi, yang juga dipimpin oleh STA dan diterbitkan setiap dua bulan dari tahun 1954 sampai 1962.
Apapun itu, Indonesia sebagai bangsa dan Negara atau negara-bangsa lahir dari ikrar bahasa dan lantas berdaulat karena bahasa, sebab Tanah Air ini Tanah Air bahasa, di mana wangsa Sanjaya dan wangsa Purnawarman merumuskan kebudayaan tanah dan air.
Oleh karena, Negara yang memilki konsep Tanah Air adalah Indonesia dan agama yang memiliki filosofi wudhu dan salat adalah Islam, maka pembangunan harus bersujud, industrialisasi harus membumi, pendidikan harus bersujud, kebudayaan tidak boleh menyelingkuhi tanah dan air, sistem politik pun harus paling sering dan rutin bersujud, agar manusia Indonesia tetap memiliki kewarasan dan kewajaran. Kabar baiknya, di Pesantren tradisi wudhu yang benar-benar wudhu dan salat yang sungguh-sungguh salat masih sangat terjaga, bahkan shalat malam.
Nah, jika bangsa ini ingin selamat, deru sepatu pembangunan dan kegilaan minal jinnati wan nas yang tak henti-hentinya ingin merusak dan memecah-belah NKRI, sepatu-sepatu dari tempurung jahat itu harus mulai kita lepas dan lebih sering telanjang kaki agar segala penyakit kemajuan dan pemutlakan paham terserap tanah bumi pertiwi
Kapitalisasi tanah dan air serta penjualan sumber-sumber kehidupan dan kerukunan sudah harus mulai dikurangi dan bahkan disudahi sama sekali agar sungai tak lagi mengalirkan sampah dan limbah industri. Para pemangku kebijakan itu harus istiqamah berwudhu dan bersujud, karena Tanah Air ini adalah tanah air para santri, tanah air puisi. Tapi, benarkah bahasa menjadi alutsista santri milenial di era internet of thing ini? Secangkir shalawat untuk Nabi, secangkir alfatihah untuk semua pahlawan NKRI.