Peringatan Imam Ghazali kepada Para Pencari Ilmu

Sudah tak asing lagi di telinga bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim maupun muslimah. Tak ada yang menyangkal hal ini. Buktinya para orang tua pasti mengajarkan anaknya―meskipun masih bayi―tentang hal-hal yang mereka kehendaki untuk diajarkan. Secara tidak langsung, sebenarnya sang anak tersebut tengah menjalani proses menuntut ilmu. Ketika sang anak tersebut tumbuh ke usia batita, ia akan cenderung menirukan apa yang dilihat dan didengar dari lingkungan sekitarnya.

Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa sang anak sedang menuntut ilmu―meskipun ia belum mengetahui bahwa menuntut ilmu itu wajib. Hal ini sebenarnya berlangsung terus-menerus hingga akhir hayat. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa terjadi penyempitan makna ‘menuntut ilmu’. Sering kali orang mengartikan menuntut ilmu sebagai kegiatan yang bertujuan untuk mendapat ilmu di tempat-tempat tertentu saja. Tempat-tempat tersebut misalnya lembaga pendidikan (formal maupun non-formal) atau majlis ta‘lim.

Padahal sebenarnya makna dari menuntut ilmu itu begitu luas. Tadabbur alam, mengambil hikmah dari apa yang terjadi, mempelajari hal baik yang tidak diajarkan di sekolah, semua itu termasuk kategori menuntut ilmu. Semesta ini terlampau luas, maka tentu tak cukup bagi manusia sekadar belajar di dalam kelas. Pernyataan itu juga dipertegas oleh al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 190 yang terjemahnya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”.

Ayat termaktub dengan jelas memaparkan bahwa menuntut ilmu tak terbatas pada tempat-tempat tertentu semata. Bicara soal menuntut ilmu, nyatanya kegiatan tersebut tak selamanya mudah. Maksudnya, ada beberapa cobaan yang harus dihadapi oleh para pencari ilmu. Bukan semata cobaan-cobaan dalam bentuk materiil, melainkan juga cobaan-cobaan dalam segi mental atau cobaan yang berkaitan dengan hal yang tak bisa dilihat oleh mata. Imam Ghazali telah mewanti-wanti para penuntut ilmu terkait masalah ini.

Baca Juga:  Menghafal Versus Menalar

Dalam muqaddimah kitab Bidayah al-Hidayah, Imam Ghazali menulis bahwa bisa jadi semangatmu dalam mencari ilmu adalah bagian dari al-nafs al-ammarah. Tak menutup kemungkinan semangat tersebut merupakan bentuk ketuntudukan terhadap bujuk rayu setan yang berusaha menyesatkan. Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan bahwa tata cara setan―dalam kaitannya dengan ini―adalah dengan membuat manusia menyerbu keburukan tetapi melalui jalan kebaikan. Akibat dari hal ini adalah manusia seolah menjadi buta dan tuli (terhadap kebaikan yang sesungguhnya).

Tak berhenti di situ. Setan juga akan membacakan (membuat manusia terngiang-terngiang) dengan keutamaan ilmu dan derajat orang yang berilmu. Hal ini bisa membuat manusia menjadi pribadi yang egois. Niat menuntut ilmu yang mulanya lillahi ta‘ala berbelok menjadi untuk mengangkat derajat diri sendiri di mata masyarakat. Terkait perkara ini, Imam Ghazali―masih dalam muqaddimah kitab Bidayah al-Hidayah―mencantumkan hadis berikut.

مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى؛ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا

“Barangsiapa bertambah ilmunya namun tak bertambah hidayahnya, maka tak ada yang bertambah baginya kecuali jauh dari Allah”. (HR. al-Thabrani)

Perlu diketahui bahwa peringatan Imam Ghazali termaktub bukan bertujuan untuk memadamkan semangat para pencari ilmu. Justru Imam Ghazali bermaksud supaya para penuntut ilmu lebih berhati-hati dalam segala aktivitasnya. Bukan semata aktivitas zahir, tapi juga aktivitas batin. Dengan demikian, para penuntut ilmu tidak keluar dari koridor yang semestinya. Oleh sebab itu, penting bagi setiap orang untuk memperhatikan peringatan Imam Ghazali tersebut supaya terhindar dari jurang kehinaan.

Imam Ghazali nampaknya melihat banyak di antara pencari ilmu yang tergiur dengan derajat yang ditawarkan oleh ilmu. Akibatnya yang terjadi bukan ilmu yang mengangkat derajat mereka, melainkan mereka sendiri yang mendeklarasikan bahwa mereka punya derajat yang tinggi karena ilmu yang dimiliki. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan analogi tumbuhan padi, “Semakin berisi, semakin merunduk”. Tujuan dari menuntut ilmu itu bukan menjadikan arogansi manusia meninggi, tetapi supaya mereka lebih rendah hati dan manusiawi.

Baca Juga:  Ilmu Perbandingan Agama (III): Menuju Abad Modern

Guna mengantisipasi hal termaktub, Imam Ghazali lantas menuliskan sebuah doa dari Nabi saw. Kurang lebih terjemahnya yakni, “ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu‘, amal yang tidak diterima, dan doa yang tidak didengar”. Semua yang disebut oleh Nabi saw dalam doa tersebut adalah sesuatu yang baik tapi tidak memiliki nilai kebaikan. Lantaran membaca doa di atas, semoga kita diberi oleh Allah swt sesuatu yang baik dan bernilai kebaikan.

Demikianlah peringatan Imam Ghazali kepada para pencari ilmu. Semoga dengan mengetahui peringatan tersebut, kita bisa menjadi pribadi yang menuntut ilmu lillahi ta‘ala. Semoga kita tidak befokus pada derajat yang ditawarkan ilmu, melainkan berfokus pada bagaimana ilmu yang kita dapat bisa bermanfaat. Secara ringkas peringatan Imam Ghazali tadi bermakna, “Semangat mencari ilmu itu penting. Namun, kehati-hatian harus mendapat porsi yang lebih besar”. Semoga Allah swt meridhoi semua aktivitas kita termasuk menuntut ilmu. Aamiin!.

Wallahu A‘lam. []

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah