Kembali kepada kajian Nicomachea. Dr. Abdurrahman Badawi membandingkan antara naskah asli Yunani dengan naskah terjemahan Arabnya, al-Akhlaq yang digarap Ishaq bin Husein. Ditemukan bahwa naskah Nicomachea asli Yunani berisi sepuluh makalah Aristoteles. Sedangkan dalam versi Arabnya terdapat dua belas makalah. Bagaimana bisa? Setelah dilakukan pengecekan, pembacaan dan pemahaman secara seksama, Abdurrahman Badawi menemukan bahwa ternyata dua makalah dari dua belas makalah itu bukan makalah Aristoteles, melainkan dari muridnya, yaitu makalah satu adalah ringkasan Alexandrina atas Nicomachea dan makalah yang satunya lagi adalah komentar singkat dari salah satu murid Aristoteles yang tak diketahui secara pasti nama penulisnya. Dugaan kuat dari para pakar, makalah itu ditulis Nikolaus.
Makalah Alexandrina berbahasa Arab itu diterjemah dari Arab ke Bahasa Latin yang manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Nasional Paris-Prancis dengan tajuk “Translation Alexandrina in X libros Ethicorum”. Menurut Concetto Marchesi, dalam tulisannya, “L’Etica Nicomachea Nella Traduzione Latina”, (Roma:1904), bahwa ringkasan Alexandrina ini merupakan ringkasan yang paling pendek atas naskah Nicomachea. Memang benar, bahwa ringkasan Alexandrina itu sangat pendek. Saya cek dalam naskah Arab yang ada di akhir dari kitab al-Akhlaq, ringkasan itu hanya 7 halaman. Saya lebih setuju menyebutnya dengan anotasi. Bisa dibayangkan, naskah 400 halaman lebih diringkas menjadi 7 halaman. Sehingga, dalam kitab al-Akhlaq itu tulisan asli Aristoteles tetap sepuluh makalah. Sedangkan dua makalah merupakan ringkasan dan catatan pinggir dari muridnya.
Nicomachea diterjemah dari Yunani ke Bahasa Latin pertama kali oleh Wilhelm von Moerbeke pada abad ke-13, semasa dengan Thomas Aquinas (1225-1274 M.). Sedangkan al-Akhlaq Aristoteles, terjemahan Arab Ishaq bin Hunein, pada abad ke-9. 4 abad lebih tua dari terjemahan Bahasa Latin.
Pada masa Ishaq bin Hunein hidup dan bahkan sebelumnya, kondisi keilmuan peradaban Islam Arab sedang betul-betul gandrung dengan literatur Yunani, Suryani, Mesir kuno, dan Persia. Peradaban Islam pada saat itu, dalam bahasanya Gus Dur, sedang mengalami kosmopolitanisasi, di mana pengetahuan dan pemikiran terjadi silang budaya dan keterbukaan. Sebab disemangati oleh prinsip ambillah ilmu dan kebijaksanaan darimana pun datangnya.
Saya mau nyambung pada sub komentator Nicomachea dari ulama Muslim klasik. Pada pengajian lalu, baru dijelaskan al-Farabi. Dalam tulisan ini, saya menambahkan satu lagi komentator ulama Muslim klasik, yaitu Abu al-Hasan Muhammad bin Yusuf al-‘Amiriy al-Naisaburiy (wafat 381 H./990 M.). Di dalam kitabnya yang berjudul “al-Sa’adah wa al-Is’ad fi al-Sirah al-Insaniyah” yang terbit di Teheran Iran dan Jerman, pada 1957, al-Amiriy menyebutkan Nicomachea. Bahkan, menurut para pakar, al-‘Amiriy banyak sekali mengutip dan menyerap Nicomachea yang dituangkan dalam kitabnya itu dengan tanpa menyebutkan Nicomachea. Artinya bahwa al-Amiriy banyak menyerap Nicomachea secara substansial di dalam kitabnya. Ada kutipan langsung, dan ada kutipan tidak langsung.
Menurut para pakar, bahwa al-‘Amiriy, sebagai ulama, bukan hanya pandai berbahasa Arab, melainkan juga menguasai Bahasa Yunani dan bahasa Suryani dengan baik. Sehingga tidak ada kendala dalam mengakses literatur filsafat Yunani. Artinya bahwa al-‘Amiriy mengakses dari tangan pertama, Yunani, bukan dari terjemahan Arab. Sehingga dalam mengutip bisa leluasa memberi makna penafsiran sesuai dengan pemahamannya pada teks asli Yunani. [HW]