Abu Al-Qasim Al-Qusyayri: Sang Penghimpun Nilai-Nilai Syariat dan Hakikat

Abu Al-Qasim Al-Qusyayri, begitulah sosok sufi ini dikenal di kalangan umat Islam. Nama lengkap beliau adalah Abd Al-Karim ibn Hawazin ibn Abd Al-Malik ibn Talhah ibn Muhammad. Nama Al-Qusyayri berasal dari leluhur beliau dari jalur ayah, Bani Qusyayri. Sedangkan dari jalur ibu, Abu Al-Qasim Al-Qusyayri memiliki garis keturunan yang berporos pada marga Sulami.

Al-Qusyayri berkata bahwa beliau dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H./986 M. di kota Ustawa. Keterangan ini merujuk pada pengenalan penyusun buku terjemah Al-Risalah Al-Qusyayriyyah (Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm 3). Sejak kecil, beliau yang yatim berada dibawah bimbingan dan pengajaran Abu Al-Qasim Al-Yamani, seorang sufi sekaligus sahabat dekat Bani Qusyayri. Pada masa itu, jajaran kepemerintahan tidak memihak pada kepentingan rakyat dan membebankan pajak dengan jumlah banyak. Beliau kemudian bercita-cita untuk menjadi pegawai pemerintahan yang mengelola pajak. Al-Qusyayri memutuskan pergi menuju Naisabur untuk belajar ilmu hitung.

Atas izin Allah, Al-Qusyayri yang sampai di kota Naisabur dipertemukan dengan seorang sufi bernama Abu Ali Al-Hasan ibn Ali Al-Naisaburi yang akrab disapa dengan Abu Ali Al-Daqqaq. Semenjak pertemuan tersebut, Al-Qusyayri kemudian berbalik arah dan memutuskan untuk menekuni ilmu agama. Beliau menemukan keindahan dalam pengetahuan spiritual dan memilih tasawuf sebagai jalan yang ditempuh hingga akhir hayat.

Pendidikan, Pemikiran, dan Perjuangan dalam Mengembangkan Tasawuf

Selain menjadi seorang sufi, Abu Al-Qasim Al-Qusyayri juga menguasai ilmu di luar tasawuf. Beliau merupakan penghafal hadis yang kuat, menekuni ilmu fiqih beraliran Syafi’i, juga setia dalam menganut madzhab teologi Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Oleh karena itu, Al-Qusyayri juga dikenal dengan gelar Al-Jami’ Bayna Al-Syari’ah wa Al-Haqiqah (Penghimpun antara nilai-nilai Syariat dan Hakikat).

Baca Juga:  Belajar Pada Konflik (Islam-Kristen) di Aceh: Bagaimana Hakikat Beragama?

Al-Qusyayri merasakan keprihatinan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mengikuti tasawuf secara taklid. Mereka mempraktikkan ajaran tasawuf dengan kekeliruan. Diantara penyimpangan tasawuf yang terjadi pada masa itu adalah ungkapan-ungkapan Syatahat (ucapan ganjil kaum sufi dalam mengungkapkan penghayatan mereka terhadap keesaan Allah) yang mereka lontarkan. Mereka juga gemar mengenakan pakaian orang miskin, padahal tindakan mereka bertentangan dengan wujud pakaian itu.

Keresahan ini kemudian beliau tuangkan dalam karya monumental yang berjudul Al-Risalah (judulnya kemudian dinisbatkan pada nama beliau, Al-Risalah Al-Qusyayriyyah). Kitab ini memaparkan secara lugas bahwa para sufi tidak seharusnya keluar dari dua pijakan dasar Al-Qur’an dan Hadis. Sudah seyogyanya mereka mengikuti tradisi beragama generasi salaf yang saleh dalam iman, akidah, dan perilaku mereka.

Seiring berjalannya waktu, popularitas Al-Qusyayri menyebar hingga tak terhitung jumlah murid dan pengikutnya. Namun ibarat pepatah “semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin menerpanya”, Al-Qusyayri menjumpai banyak cobaan. Penguasa baru Dinasti Seljuk di bawah pimpinan Perdana Menteri Al-Kunduri menetapkan kebijakan yang seakan menyudutkan beliau dan penganut Madzhab Asy’ari Syafi’i lainnya. Al-Qusyayri tampil membela dan menentang tuduhan Al-Kunduri yang menyebut mereka penganut aliran Syi’ah Rawafid dan pembuat Bid’ah.

Cobaan ini bertambah berat ketika datang fitnah keji dari kelompok Mu’tazilah dan Hanbali. Mereka melancarkan propaganda fitnah dusta kepada orang terdekat hingga murid Al-Qusyayri. Sayangnya, rencana ini berhasil menceraiberaikan murid Al-Qusyayri dan membuat orang-orang mulai menyingkir dari beliau. Pengajian dan majelis zikir yang didirikan terpaksa harus bubar. Abu Al-Qasim Al-Qusyayri mengalami cobaan yang begitu berat dengan berbagai ragam cacian, siksaan, dan bahkan pengusiran pada tahun 440 H./1048 M.

Setelah lima belas tahun masa pengusiran yang dialami Al-Qusyayri, beliau akhirnya dapat kembali ke Naisabur ketika tampuk kekhalifahan diambil alih oleh Abu Syuja’. Pengikut dan murid Al-Qusyayri bertambah banyak dan membanjiri majelis yang kembali diadakan. Al-Qusyayri menghabiskan sisa usia beliau disana dan meninggal dunia pada Ahad, 16 Rabiul Akhir 465 H./1073 M. dalam usia 87 tahun. Jasad beliau disemayamkan di samping makam Sang Guru, Syaikh Abu Ali Al-Daqqaq.

Baca Juga:  Kontinuitas Islam dan Syariat
Karya-Karya

Al-Imam Al-Qusyayri adalah seorang ulama yang menguasai berbagai fan ilmu. Karya beliau banyak mengupas tentang permasalahan tasawuf dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam pembukaan terjemah kitab Al-Risalah Al-Qusyayriyyah, dijelaskan bahwa karya dan karangan yang dituntaskan oleh Al-Qusyayri berjumlah 29 buah. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm 12-14). Diantara kitab-kitab tersebut terdapat Balaghah Al-Maqasid fi Al-Tasawwuf, Al-Taysir fi ‘Ilm Al-Tafsir, dan yang paling populer adalah kitab Al-Risalat Al-Qusyayriyah fi ‘Ilm Al-Tasawwuf.

Tertulis dalam buku Ensiklopedia Tasawuf jilid 2, kitab Al-Risalah ini ditulis oleh al-Qusyayri pada 438 H./1046 M. Kemasyhuran al-Qusyayri pun sangat dipengaruhi oleh kitab yang terkadang disebut dengan Al-Risalah Al-Sufiyyah ini. (Bandung: Angkasa, 2008, hlm 1027). Menurut Al-Qusyayri, kitab ini ditujukan pada kaum sufi yang menyimpang, tentang bagaimana pengikut thariqah seharusnya bersikap dan berperilaku.

Al-Qusyayri sebenarnya menulis Al-Risalah dalam lima pasal. Namun, dalam rangka mengikuti kaidah penulisan buku ilmiah modern, editor Al-Risalah menyusun kembali sistematika penyajian Al-Risalah menjadi; pendahuluan sebagai permulaan pembahasan, kemudian pasal tentang dasar-dasar tauhid menurut kaum sufi, istilah istilah tasawuf, penjelasan maqamat kaum sufi dan berbagai persoalan keruhanian, karamah, dan terakhir tentang konsep-konsep tasawuf.

Pengaruh Al-Qusyayri Terhadap Tokoh Sufi Lainnya

Pemikiran-pemikiran Al-Qusyayri memberikan pengaruh yang sangat krusial dalam kemajuan tasawuf. Beliau menempati posisi penting dalam tasawuf abad ke 5 sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Waba Al-Ghanimi At-Taftazani. Hal ini dapat terjadi mengingat beliau adalah tokoh tasawuf sunni sekaligus pelopor yang berperan dalam mengompromikan dua sisi syariat dengan hakikat.

Kitab monumental Al-Risalah juga banyak mempengaruhi pemikiran dan literatur para sufi. Banyak karya besar dalam dunia tasawuf yang berhutang budi kepada Al-Risalah. Misalnya, Kasyf Al-Mahjub karangan al-Hujwiri yang ditulis dalam bahasa Persia. Demikian juga magnum opus Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din. Sebagain besar anekdot didalamnya juga dicantumkan dalam Tazkirat al-Awliya’ karya Farid al-Din al-Attar. Bahkan beberapa bagian dalam Minhaj al-Fugara’ karya sufi Mawlawi Turki dan komentator Matsnawi Ismail Ankaravi diduga bersumber dari al-Risalah. Wallahu A’lam bi Al-Shawab. []

Vina Sa'adatul Athiyyah
Alumni MANPK MAN 4 Denanyar Jombang, Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama