ngaji-kitab-al-akhlaq-aristoteles-nicomachea-6

Al-Farabi merupakan salah satu ulama yang gandrung dengan filsafat Aristoteles, khususnya pada Nicomachea. Dalam salah satu karyanya, “al-Jam’u bayna al-Hakimain”, ia mengatakan bahwa, “Aristoteles di dalam kitabnya yang terkenal dengan judul “Nicomachea”, yang berbicara tentang prinsip-prinsip masyarakat yang beradab dan berperadaban (madaniyah) sebagaimana yang telah kami jelaskan dan kami beri komentar panjang atas kandungan Nicomachea itu di beberapa tempat. Meskipun hal itu juga selaras dengan apa yang telah dikatakan Furfurius dan banyak penafsir lainnya tentang akhlak yang dikatakan Aristoteles”.

Nicomachea disebut oleh Al-Farabi di dalam karyanya. Hanya saja di bagian lain Al-Farabi menyebut Nikomakus atau Nicomachea besar yang dimaksudkan adalah naskah Nicomachea itu sendiri dan Nicomachea kecil yang dimaksudkan adalah naskah Eudemus. Ini sudah dijelaskan di pengajian ke-5, hari yang lalu.

Bahkan Musa bin Maymun atau yang dikenal dengan Moses Maemonedes, filsuf Yahudi, di dalam karyanya “Dalalat al-Hairin” yang disunting Husein Atai, mengutip pandangan etika Nicomachea Aristoteles melalui penjelasan Abu Nashr al-Farabi: “Abu Nashr al-Farabi dalam penjelasan dan komentar panjangnya terhadap kitab Nicomachea karya Aristoteles, berkata; “Mereka memiliki kemampuan sendiri untuk mengubah dari satu karakter/akhlak ke karakter/akhlak yang lain. Sedangkan Plato berkata, “Pertolongan Allah jauh lebih besar daripada kemampuan mereka sendiri”.

Al-Farabi mengutip pandangan Aristoteles tentang transformasi etika. Apakah etika seseorang bisa berubah atau tidak. Apakah etika baik seseorang bisa berubah ke etika buruk, atau sebaiknya etika buruk berubah ke etika baik?

Al-Farabi dalam kitabnya “Al-Jam’u Bayna al-Hakimain” mengatakan bahwa, “Aristoteles tidak mengingkari bahwa sebagian manusia bisa sangat mudah mengalami transformasi dari satu karakter/akhlak ke akhlak yang lain, dan sebagian manusia yang lain bisa lebih sulit. Sebagaimana yang dijelaskan Aristoteles dalam kitab Nicomachea”.

Baca Juga:  Ngaji Kitab Al-Akhlaq Aristoteles: Nicomachea (3)

Penjelasan selanjutnya, al-Farabi menjelaskan tentang sebab-sebab yang dapat mengubah akhlak seseorang.

Akan tetapi, al-Farabi sendiri bukanlah seorang filsuf yang taklid buta terhadap apa yang dikatakan Aristoteles. Bahkan al-Farabi mempelajari, menyerap, dan mengelaborasi semua filsafat yang berkembang pada zamannya. Sehingga obsesinya ingin menyatukan dan mencari benang merah antara Aristoteles dan Plato betul-betul terwujud. Ia berhasil mengawinkan dua arus besar pemikiran Aristoteles dan Plato di dalam satu karyanya yang monumental, yaitu “Al-Jam’u Bayna al-Hakimain” (Mempertemukan di antara Dua Filsuf). Maksud dari dua filsuf ini adalah Aristoteles dan Plato.

Sehingga dalam karya yang lainnya pun, al-Farabi konsisten untuk mengelaborasi kedua pemikiran Aristoteles dan Plato. Sebagaimana pemikiran al-Farabi terkait dengan konsep politik, yang ditulisanya dalam kitabnya yang berjudul “al-Madinah al-Fadhilah”. Kitab ini sedikit banyak mengelaborasi Jumhuriyat Aflatun (Republik Plato) dan al-Siyasah Aristoteles (Politik Aristoteles). Tentu saja, al-Farabi bukan filsuf yang menelan apa adanya, harfiyah, melainkan juga mengulik realitas kondisi sosio-politik, ekonomi, dan dan sosio-religius kemasyarakatnya. Sehingga menghasilkan konsep politik yang genuine al-Farabi sendiri. Terlebih al-Farabi berupaya mensinergikan alam pikir filsafat dengan Islam. Hasilnya menarik dan unik.

Sebetulnya, jika ingin menggali konsep politik dari rahim Islam klasik, tentunya mesti berangkat dari kitab al-Madinah al-Fadhilah—dan tentu saja kitab-kitab yang lain. Belakangan ada gerakan politik Islam yang tak berpijak dari kitab-kitab klasik, melainkan mengekor pada ideologinya yang tergolong manusia modern, dan ujug-ujug KHILAFAH. Padahal di dalam al-Madinah al-Fadhilah lebih mengutamakan bagaimana mewujudkan politik yang berbasis prinsip-prinsip luhur, seperti keadilan, kejujuran, dan berbasis pemikiran yang kokoh, sehingga tercipta al-Madinah al-Fadhilah, Negara Unggul.

Agar tidak ujug-ujug KHILAFAH. Ya kudu ngajinya khatam. Ingat, al-Farabi menginginkan al-Madinah al-Fadhilah, bukan al-Madinah al-Khilafah. Apa bedanya? Ya sangat jauh bedanya. Al-Fadhilah mengandaikan sebuah keunggulan, keutamaan, dan kejayaan yang berada pada substansi, karakter, dan pemikiran yang kokoh. Sedangkan al-Khilafah adalah ideologi dan sistem negara. Khilafah ISIS sudah bubar dan ambyar. Dan NKRI tetap kokoh. Semoga Indonesia menjadi al-Madinah al-Fadhilah, Negara Unggul. Amin. [HW]

Mukti Ali Qusyairi
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dan Santri Alumni PP Lirboyo Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip