RUM Melawan dengan Berjuang Menerima Takdir; Sebuah Catatan untuk Novel DUR

Lama saya berjanji untuk me-review novel tulisan dinda Nisaul Kamilah, pengarang Novel DUR (Diary Ungu Rumaysha). Kalau pakai alasan sibuk, tentu tak akan ada yang percaya dengan apologi pionir kaum rebahan ini. Tapi saya memang sibuk. Sibuk mencari alasan. Hehe. Intinya saya sedang dilanda malas membaca karena sedang terpesona dengan Alhambra.

Jujur, prolog novel ini belum bisa membuat saya terpancang di ruang baca. Sampai akhirnya saya menemukan segmen yang menjadi nafas novel ini. Yaitu ketabahan seorang Rumaysha menjalani takdirnya.

Memang agak aneh, melihat seorang Rum yang merdeka dalam pilihan dan tindakannya selama ini, menjadi perempuan yang sangat penurut saat dijodohkan dengan orang yang menjadi calon suami kakaknya. Tragis bukan?
Seorang aktivis perempuan, feminis, begitu saja takluk pada kehendak orang lain, justru di saat terpenting dalam hidupnya. Pernikahan di usia muda. Badal pula!

Mestinya ia menolak!

Tapi perjuangan bukan hanya cara melawan anasir di luar dirinya. Tapi menaklukkan ego demi untuk kebahagiaan orang lain adalah perjuangan yang juga tak terkira beratnya. Ini adalah perang yang sebenarnya..!
Rum tidak tunduk pada anggapan nasib, bahwa perjodohan hanya bentuk kepasrahan dan ketidakberdayaan.

Rum melawan dengan berjuang menerima takdirnya. Dengan sebaik-baiknya. Dengan sikap riangnya, polosnya, dan kejujuran bahwa dia tak sempurna. Rum menertawakan dan membalik takdir! Mestinya ia menderita, tapi ia berjuang untuk bahagia.

Agaknya penerimaan Rum pada perjodohan ini terbantu dengan profil Gus Asy yang digambarkan nyaris sempurna. Ganteng, pintar, mapan, punya strata sosial, baik dan sayang pada Rum. Saya tidak bisa membayangkan bila yang terjadi sebaliknya.

Romansa Rum dan Gus Asy baru terbangun setelah putra pemangku pesantren itu menyelesaikan pergolakan batinnya untuk melupakan Salma, kakak Rum. Rum berbesar hati dengan men-support Gus Asy untuk menziarahi makam Salma. Setiap hari!

Baca Juga:  Catatan Kecil pada Ultah Ibunda Nafisah yang Ke-75

Titik ini penting sekali untuk menjelaskan kepribadian Rum yang terbuka dan cenderung mudah beradaptasi. Tidak memperumit perasaan.

Meskipun penulis menolak menyebut novel DUR ini sebagai novel pesantren, hal itu tak terelakkan. Jelas nampak setting pesantren di dalamnya.

Setting itu sepertinya dimaksudkan untuk memperkuat display ilmu pengetahuan yang bertebaran di sana sini.

Pembaca diajak berpetualang dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang kaya. Biologi, sejarah, sastra, profil ulama, kimia, aurad wadhifah dll.

Dalam kajian Ihya Gus Ulil kemarin, semua itu adalah sains. Sains bukan hegemoni kaum eksakta saja. Semua bisa menggunakannya untuk mencapai kehambaan yang sempurna.

Tidak ada dikotomi ilmu sebagaimana orang sebut selama ini sebagai ilmu umum dan agama. Semua adalah wujud ilmu yang datang dari Allah. Baik berupa optimalisasi otak maupun karena ilham. Bahkan mimpi pun bisa menjadi wasilah datangnya ilmu pengetahuan.

Leee ngambrak

Ada beberapa yang menjadi catatan dalam novel ini. Seperti logika cerita yang kadang kurang pas atau mungkin kurang dieksplorasi. Misalnya seperti ada geng sosialita di sekolah yang terletak di desa, lomba katulima di tingkat SD, hits cendol dawet yang tidak pas konteks waktunya dll.

Selebihnya, saya sangat menaruh hormat dengan proses kreatif ibu 6 bocil ini. Mila, demikian saya menyebutnya, seperti tak pernah kehilangan energinya. Di saat orang lain merutuki beratnya momong anak, banyak lagi, dia malah obah bikin karya2 produktif dan membuka peluang ekonomis dimanapun dia bergerak.

Takdir boleh bicara apa saja, berwujud sekenanya, tapi bagaimana kita mengolahnya menjadi energi positif, itulah yang membedakan.
Apakah kita akan kalah atau menang!. [HW]

Ninid Alfatih
Guru MAN 3 Jombang, dan salah satu Penulis Buku "Sejarah Tambakberas".

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini