Memahami ‘Iddah Menggunakan Metode Maqasid Al-Syari'ah

Beberapa hari yang lalu beredar “guyonan” di beberapa grup WhatsApp yang intinya menginformasikan bahwa masa ‘iddah seorang artis yang beberapa waktu yang lalu ditinggal oleh suaminya, yang tiba-tiba meninggal dunia karena serangan jantung. Inti dari meme tersebut menginformasikan bahwa masa ‘iddah artis tersebut  akan  habis pada tanggal 29 Juni 2020 nanti dan boleh dinikahi setelah tanggal tersebut. Meskipun hal tersebut merupakan hal yang “cukup” menghibur bagi sebagian orang, karena dapat dijadikan “bahan candaan”, tetapi bagi sebagian yang lain meme tersebut kurang simpatik terhadap si artis yang hingga saat ini masih terpukul dengan keadaan tersebut. Namun tulisan ini bukan hendak membahas tentang etika menanggapi permasalahan tersebut tetapi menyorot tentang ‘iddah dalam bingkai maqasid al-syari’ah.

Pada umumnya di kalangan muslim awam, pertanyaan mendasar kaitannya dengan ‘iddah adalah kenapa ‘iddah itu disyariatkan? Apa maksud Allah Swt mensyariatkan ‘iddah bagi wanita yang ditinggal oleh suaminya baik karena perceraian atau kematian? Sebelum menjawab hal tersebut, perlu kiranya untuk menekankan kembali bahwa Allah Swt, dalam mengundangkan sesuatu, pasti memiliki tujuan. Tak terkecuali dalam masalah ‘iddah ini.

Di era kontemporer ini, muncul kaidah baru dalam penafsiran, yaitu kaidah al-‘ibrah bi maqasid al-syari’ah. kaidah ini berusaha mencari sintesa kreatis ketika menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyariakannya sebuah doktrin. Oleh sebab itu, ayat-ayat al-Quran haruslah dipahami dari sisi pesan moral atau maqasid al-syari’ahnya. Ayat yang membahas iddah seorang perempuan salah satunya yaitu QS. al-Baqarah 228:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (QS. al-Baqarah 228).

Baca Juga:  Mengenal Aisyah Abd al-Rahman: Ilmuwan Islam sekaligus Sastrawati yang Produktif

Ibn ‘Ashur tidak menerangkan asbab al-nuzul ayat ini. Ia langsung memberikan penjelasan kebahasaan. Meskipun ayat tersebut secara bahasa merupakan jenis kalam khabar, akan tetapi yang dimaksud adalah perintah. Jadi pesan dari ayat tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa menahan diri (tarabbus) itu adalah suatu keharusan bagi wanita-wanita yang ditalak (mutallaqat). Selanjutnya Ibn ‘Ashur memberikan penjelasan terhadap kata-kata yang dianggap penting, misalnya Ibn ‘Ashur memberikan penjelasan bahwa lafaz mutallaqat itu merupakan lafaz umum bagi wanita yang ditalak yang masih mengalami haid sebab ada qarinah ayat yatarabbasna bi anfusihinna thalathata quru’. Selanjutnya lafaz mutallaqat itu dikhususkan hanya bagi wanita yang merdeka saja, sebab budak wanita memiliki aturan sendiri dalam hal ‘iddah sebagaimana diisyaratkan oleh hadis. Ibn ‘Ashur juga mengutip pendapat dari ulama mazhab untuk menopang argumennya ini.

Selanjutnya Ibn ‘Ashur memfokuskan pembahasan atas makna lafaz quru’ yang memiliki makna bersama antara haid dan suci. Ulama pun berbeda-beda pendapat atas hal ini. Akhirnya Ibn ‘Ashur melakukan klarifikasi makna quru’ ini dengan menggunakan pendekatan maqasid al-syari’ah. Menurut Ibn ‘Ashur, bahwa maksud adanya ‘iddah ini adalah untuk mengosongkan rahim wanita yang ditalak dari benih sperma suami yang mentalaknya dan memberikan masa tunggu bagi suaminya apabila berkenan untuk rujuk. Kosongnya rahim dapat diketahui dengan haid atau suci sekali saja, selebihnya adalah masa untuk melakukan rujuk. Dari haid dan suci tersebut, haid adalah cara yang tepat untuk mengetahui kosongnya rahim. Maka kosongnya rahim bisa diketahui meski hanya sekali haid saja. Dengan pernyataan ini, nampaknya Ibn ‘Ashur lebih setuju bahwa quru’ itu bermakna haid, karena sesuai dengan maqasid ‘iddah yaitu kosongnya rahim.

Baca Juga:  Dekolonisasi Feminisme

Sedangkan ayat yang lain menerangkan dalam QS. al-Baqarah 234 berbunyi:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat“.

Ibn ‘Ashur memberikan alasan mengapa masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya ini empat bulan sepuluh hari. Ibn ‘Ashur menjawab bahwa masa empat bulan sepuluh hari itu mengikuti masa janin dalam perut bisa bergerak dengan jelas dengan tujuan menjaga nasab suami yang meninggal. Allah menjadikan ‘iddah talak melalui quru’ karena dalam kondisi ditalak itu, kekosongan rahim bisa diketahui dengan cara quru’ tersebut.

Selain itu, dalam kondisi suami istri masih hidup, suami yang mentalak itu bisa tahu keadaan istrinya apakah dalam keadaan suci atau tidak. Bisa juga memastikan apakah sebelum menjatuhkan talak, suami itu kumpul dengan istrinya atau tidak, sehingga bisa dijadikan sanggahan apabila terjadi li’an. Berbeda dengan suami yang meninggal. Ia tidak bisa memberikan klarifikasi sebagaimana orang yang masih hidup. Maka diberikanlah masa ‘iddah istri seperti masa yang menunjukkan si istri bebas dari kehamilan, yaitu empat bulan sepuluh hari sejak kematian suami mengingat proses kehamilan itu empat puluh hari dalam bentuk sperma, empat puluh hari dalam bentuk segumpal darah, empat puluh hari dalam bentuk embrio, lalu ditiupkanlah ruh.

Total mulai awal hingga ditiupkan ruh terjadi selama empat bulan, dan untuk memastikan janin itu benar-benar bergerak, mengingat setelah ditiup ruh itu butuh proses untuk bergerak, maka ditambah waktu sepuluh hari. Sekaligus untuk berhati-hati. Jika masa empat bulan sepuluh hari ini, maka dapat dipastikan apakah si istri itu hamil atau tidak melalui gerakan janin dalam perut.

Baca Juga:  Refleksi Hari Kartini di Musim Pandemi

Dari kedua ayat di atas, ada satu kesamaan tujuan (maqsad) dalam ‘iddah, yaitu untuk mengetahui bersihnya rahim sehingga jika diafiliasikan pada al-Daruriyyat al-Khams, tujuan ini masuk dalam ranah hifz al-nasab (menjaga nasab). Tujuan ini bisa didapatkan melalui masalik al-‘illah atas ayat-ayat ‘iddah di atas, sehingga didapatkan bahwa maksud inti dari keempat ayat ‘iddah di atas adalah hifz al-nasab. Meskipun dengan wasa’il (perantara) yang berbeda, seperti tiga kali quru’, empat bulan sepuluh hari, tiga bulan, atau waktu melahirkan, akan tetapi semua itu mengarah pada maqsad yang sama, yaitu tahaqquq bara’ah al-rahm yang berafiliasi pada hifz al-nasab. [HW]

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini