Hurufnya mencolok. Empat kalimat dalam satu paragraf ditulis kapital semua. Pertanda sang penulis pesan whatsApp duko luar biasa, ngamuk. Semprotan bertekanan tinggi. Saya bayangkan, ini kalau live hadap-hadapan, tetangga sepuluh rumah bisa jadi dengar. Saking jengkelnya si pengirim.

Eh salah. Karena yang saya baca novel, berarti saking pentingnya hal tersebut untuk disampaikan sang muallif.

Saya sedang menikmati novel sastra pesantren terbaru karya Ning Nisaul Kamilah Chisnullah kemarin siang. Sejak datang malam harinya, waktu 24 jam untuk menuntaskan 500 halaman novel itu terhitung lama sekali.

Well, apa mau dikata. WA masuk pagi-pagi dari sang penulis.

“Da, sudah sampai ya bukunya? Bacanya alon-alon.”

Nggih Bulik, siap!” Begitu jawaban saya. Kami memang masih ada jalur kekerabatan.

Dalam hati saya ngiris bawang. Beliau ngendikan saya harus baca pelan-pelan ini pasti agar saya bisa meresapi dan mengambil pelajaran. Bukan cuma menghilangkan penasaran atau baca buku tapi ndak tutug enggon hilang dimakan kebosanan tengah jalan.

Well karena saya juga janji mau bikin resensi, alon-alon wae deh. Biar meminimalisir potensi harus baca ulang. Sengaja saya siapkan tiga carik kertas selain dua pembatas buku yang ada untuk penanda halaman penting.

Hingga pertengahan novel saya sudah dapat beberapa poin untuk ditulis dalam resensi. Birrul walidain, habaib, mitos pendidikan, stigma swasta versus negeri, pernikahan dini, pelbagai falsafah jawa dan kawan-kawan berlompatan muncul dari lembaran-lembaran DUR dan berbaris satu-persatu diujung angan menunggu jemari mewujudkannya jadi ketikan.

Hingga saya sampai di nebula 42. Barisan makian berbahasa njombangan membuat saya mengulum senyum.

“…NGUAWUR KAMU ASY KALAU MENGANGGAP IBU MILIH MENANTU HANYA KARENA MEMANFAATKAN POTENSINYA BAGI PONDOK!” (DUR Hal 312)

Baca Juga:  Bincang Menarik dengan Khilma Anis, Penulis "Hati Suhita"

Awesome!

Tokoh pria dalam novel ini, Asy, di-umbah resik, diuntal tanpo gedang oleh ibunya karena mengusulkan Rumaysha pindah kuliah dekat rumah dan pindah jurusan yang dianggap lebih manfaat buat pesantren mereka.

“Kupikir ya tidak masalah mencari menantu yang ada manfaatnya bagi pondok. Toh itu bisa jadi amal jariyah.” Begitu pemikiran Asy sebelum menyadari kesalahannya dan menelpon minta maaf.

Kalimat Ibunya Asy berikutnya termasuk favorit saya.

Bebaskan Rum jadi dirinya sendiri, Asy. Seperti Ibu dan Abah juga membebaskanmu.” (DUR Hal 313)

Ingatan saya langsung melayang ke novel Hati Suhita yang fenomenal itu.

Sejak kecil, abah dan ibuku sudah mendoktrinku bahwa segalaku, cita-citaku, tujuan hidupku adalah kupersembahkan untuk pesantren Al-Anwar, pesantren mertuaku ini.

Maka aku tak boleh punya cita-cita lain selain berusaha keras menjadi layak memimpin disana. Kiai dan Bu Nyai Hannan lah yang mengusulkan bahwa aku harus kuliah di jurusan Tafsir Hadis meski aku sangat ingin kuliah di jurusan sastra. Abah dan Ibuku setuju saja, asal itu keinginan mereka. Bahkan saat aku sudah semester tujuh, kiai hannan memintaku pindah pesantren dan meninggalkan kuliahku agar aku bisa lebih lanyah hapalan.” (HS hal. 3)

*
Sejak MTs, kata mertua menjadi salah satu kata yang membuat saya sering was-was. Dulu, Laila teman saya saat di bangku tsanawiyah itu pernah bercerita tentang saudarinya yang baru menikah diintip oleh ibu mertuanya ketika memasak karena kurang percaya.

Allahumma sallimna!

Sejak itu, saya memiliki kecenderungan negatif pada kata mertua.
Jika dilihat di Wikipedia, “Mertua adalah sebutan dalam hubungan/sistem kekerabatan yang merujuk pada orang tua istri atau suami. Selain merujuk pada ayah mertua dan ibu mertua juga dapat merujuk pada kakek atau nenek mertua. Lawan dari kata mertua adalah menantu.”

Baca Juga:  Ketika Sastra Pesantren Masuk ke Sosial Media

Nah lho, belum-belum disebut lawan mertua adalah menantu. Gimana ndak ketakutan saya?

Ning Farah Firyal dalam tulisannya mengatakan bahwa fiksi adalah Cara Indah menceritakan fakta ( https://pesantren.id/fiksi-cara-terindah-menceritakan-fakta-4338/ ) ketika saya mengingat mertua Alina Suhita saya malah tidak bisa melihat dimana indahnya.

Saya melihat eksploitasi.

Seto Mulyadi, pendidik dan pemerhati anak, mengatakan setiap anak memiliki bakat yang berbeda-beda. Ada yang berbakat di bidang seni, kreativitas, olahraga, dan ada pula yang berbakat di bidang akademis, seperti pintar matematika atau fisika. Menurut Kak Seto, orang tua harus bisa menghargai setiap bakat dan potensi anak.

Sementara itu, A. Kassandra Putranto, psikolog anak dan keluarga, mengatakan banyak anak terjerat masalah narkoba atau tawuran. Salah satu faktor penyebabnya adalah mereka tidak bisa menemukan potensi dan dipaksa belajar sesuatu yang bukan minat mereka.

Alina dan Rumaysha dua tokoh novel yang memiliki nasib serupa. Dipaksa takdir menjadi menantu keluarga kiai terkemuka.

Namun kedua mertua mereka sangat berbeda dalam memperlakukan menantu.

Menantu itu juga anak. Harus didatangi dibimbing selayaknya anak sendiri. Sama seperti mertua harus dihormati, diberi bakti dan dipatuhi setara orang tua sendiri.

Tapi tidak heran sih, jika Alina diberlakukan begitu rupa. Lha anaknya juga sama menderita. suami Alina sendiri Birru sampai berujar di halaman tiga.
Tapi ya bagaimana? Ummik apalagi Abah sangat mengandalkan kamu membesarkan pesantren ini. Aku bisa apa? Aku kadung dituduh gak bisa apa-apa.

Setiap anak mempunyai potensi dan bakatnya sendiri. Tugas orang tua untuk mendukung minat dan bakat anak. Namun jangan memaksakan. Jika anak merasa gagal, dapat menurunkan rasa percaya diri, kehilangan minat, menderita gangguan sosial, gangguan fisik, maupun kehilangan harga diri.

Baca Juga:  Film HATI SUHITA Tayang 25 Mei 2023 di Bioskop

Tidak heran saat Alina pergi semua kolaps, lha anaknya sendiri saja ndak tahu dokter yang biasa merawat ibunya. Alina hanya dieksploitasi habis dengan niat mengasuh pondok, mirip dengan Karakter Meysaroh dalam novel 2 barista yang awalnya diperlakukan Ahvash sebagai sarana reproduksi saja.

Seram.

Membaca Diary Ungu Rumaysha dan menemukan bab mertua ini membuat saya tersenyum dan mengira-ngira.

(sambil diam-diam berdoa)

Stok mertua kados mertua Rum, masih ada kan, Gusti?. [HW]

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Kurma
    Opini

    Kurma

    Kelepon sudah berlalu, saya senang dengan tulisan sebelumnya, dilihat dari beberapa komentar, pembaca ...

    1 Comment

    1. […] hanya orang tua kandung, dari mertua bapak, atau mbah saya, bapak juga berusaha menjalankan wasiat yang hanya satu juga. Yaitu:”Tapi […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini