Tasawuf adalah ilmu bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun zahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi yang tentunya bukan kebahagiaan duniawi, bertasawuf juga adalah salah satu cara seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga muncul rasa kedekatannya kepada Tuhan. Telah banyak amalan yang telah diajarkan oleh para tokoh sufi (sebutan untuk pelaku tasawuf) yang sudah berhasil dalam prakteknya, dan mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap tokoh sufi memiliki amalan dan metode ajaran yang berbeda-beda namun, membutuhkan waktu lama jika membahas konsep tasawuf menurut para sufi. Sehingga dalam tulisan kali ini akan difokuskan kepada konsep tasawuf Rabiah al-Adawiyah. Karena, ia adalah tokoh sufi wanita pertama yang sangat diakui kesufiaanya oleh para sejarawan.

Rabiah Al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabiah Basri nama lengkapnya adalah Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah diperkirakan lahir antara tahun 713-717 Masehi atau 95-99 Hijriah dikota Basrah, Irak dan meninggal sekitar tahun 801 Masehi/185 Hijriah. Ia diberi nama Rabiah yang artinya keempat, ia anak keempat dari keluarga miskin, ia telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya sejak kecil tapi tidak menjadi alasan untuk tumbuh menjadi wanita yang berakhlak baik, ia juga merupakan seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya terhadap Allah. Rabiah berasal dari Klan Al-Atik suku Qays bin ‘Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan A-Qaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Ia merupakan seorang sufi beraliran sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan. Rabiah Al-Adawiyah dijuluki sebagai “The Mother of the Grand Master” (Ibu dari pra sufi besar) karena kezuhudannya, Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu Al-Farid dan Dhun Nun Al-Misri.

Baca Juga:  Perempuan Ulama di Panggung Sejarah (3)

Dari beberapa ajaran yang Rabiah Al-Adawiyah ajarkan, ada satu yang paling dikenal dan dominan, ajaran tersebut yaitu ajaran tentang Cinta (Mahabbah). Ada beberapa pengertian tentang cinta yang disebutkan dalam berbagai sumber. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata cinta diartikan sebagai perasaan kasih dan sayang terhadap sesuatu atau orang lain, secara istilah maka cinta dapat dimaknai sebagai suatu perasaan yang dialami manusia dan perasaan tersebut menimbulkan kasih sayang bagi yang merasakannya, dalam pandangan islam sendiri cinta adalah limpahan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluknya sehingga Allah menciptakan manusia dan isinya dengan segala bentuk kesempurnaan, dalam pengertian lain islam juga memandang cinta sebagai dasar persaudaraan antar manusia dan perasaan yang melandasi hubungan dengan makhluk lain yang sama-sama ciptaan Allah, seperti pada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi arti cinta sendiri menurut perpektif Rabiah Adawiyah yaitu adanya dua bentuk cinta, yang pertama, cinta yang lahir dari kesaksian kepada kemurahan Tuhan dalam bentuk kecukupan hajat hidup insaniyah dan kenikmatan inderawi (hissiyah) serta kehormatan harga diri (ma’nawiyah), sehingga tidak dapat disangkal jika hati tergiring dan cenderung untuk mencintai Zat kemurahan itu. Cinta seperti inilah yang disebut dengan Hubbul Hawa (cinta karena kecenderungan hati). Kedua, cinta yang lahir dari kesaksian hati kepada adanya kesempurnaan. Jika hijab yang menyelimuti hati hamba dibuka oleh Allah maka tampaklah oleh hamba tersebut keindahan dan kesempurnaan Tuhan dalam segala hal. Pada saat demikian, secara otomatis lahir kecintaan yang kokoh seorang hamba kepada Allah. Cinta kedua inilah sesungguhnya yang paling hakiki, karena seorang hamba tidak lagi melihat seberapa besar Allah memberikan kecukupan hajat hidupnya melainkan sebuah cinta yang melintasi segala ruang dan waktu serta mengatasi segala keadaan baik suka maupun duka, baik berkecukupan maupun tidak berkecukupan.

Baca Juga:  Konferensi Internasional KUPI II: Ajak Perempuan Lebih Militan

Cinta Rabiah kepada Allah sungguh kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu berpaling untuk selain Allah bahkan sekedar untuk menikah ia sangat takut jika nantinya waktu dan cintanya akan terbagi karenanya ia memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya. Pernah suatu ketika Rabiah ditanya “Apakah Rabiah tidak mencintai Rasul?” ia menjawab “ya, aku sangat mencintainya akan tetapi, cintaku kepada pencipta membuatku berpaling untuk mencintai makhluknya” Rabiah juga ditanya tentang eksistensi Syaitan “Apakah Rabiah membencinya?” ia menjawab “tidak, cintaku kepada-Nya tidak meninggalkan rasa kosong sedikitpun dalam diriku untuk Syaitan”. Ia mencintai Allah dengan kesungguhan hati dan keimanan sehingga kemanapun Rabiah pergi ia membawa Allah kedalam hatinya, dan menjadikan Kekasihnya itu teman bercakap dalam hidup. Banyak sekali percakan Syair yang dilontarkannya kepada Kekasihnya salah satunya yakni,

Tuhanku malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri

Aku gelisah apakah amalanku engkau terima, hingga aku merasa bahagia

Ataukah engkau tolak, hingga aku merasa bersedih.

Demi ke-Maha kuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan

Selama engkau beri hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,

Aku tidak akan pergi karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku.

Konsep cinta Rabiah mampu membawanya kepada Allah sebagaimana konsep para sufi yang lain, malah dikatakan hampir sama dengan konsep cinta Hasan Al-Basri “Khauf (takut) dan Raja’ (harapan)” hanya saja jika ketakutan Hasan Al-Basri didasari karena takut masuk neraka dan harapannya didasari ingin masuk surga, Rabiah justru sebaliknya ia mengabdi kepada Allah lantaran bukan takut masuk neraka dan pengharapan ingin masuk surga namun, ia mencintai lebih karena Allah semata. Konsep cinta Rabiah juga memiliki beberapa tingkatan sebelum mengantarkannya kepada derajat tertinggi Khauf dan Raja’ dan, seperti Sabar, Syukur, Rida, Ikhlas, Ihsan. Ajaran-ajaran Rabiah itu dikenal hingga ke Eropa. Hal tersebut membuktikan bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran yang sangat penting bagi setiap orang yang ingin dekat dengan Tuhannya, memang sangat sulit untuk mencapai derajat seperti para sufi, namun jika dilakukan sesuai dengan yang telah diajarkan, tidak menutup kemungkinan seorang hamba bisa mendekatkan dirinya kepada Tuhan layaknya para sufi, Karena pada dasarnya seorang sufi sama halnya dengan kita ia merupakan makhluk ciptaan-Nya yang ditugaskan untuk menyembah-Nya. [HW]

Khalimatus Sadiah
Mahasiswi Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. Konsep cinta sebagai jalan menuju tuhan 🙂
      Dgn niat ketulusan hati

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini