Novel Hati Suhita menyita perhatian netizen. Berawal dari cerita bersambung di facebook yang mendapatkan banyak sambutan positif dari pembaca, tulisan Khilma Anis akhirnya dibukukan menjadi sebuah novel best seller.

Uniknya, novel Hati Suhita tidak diterbitkan secara mayor dan tidak dijual di toko-toko buku besar. Rizal Mubit dari Alif.ID mendapatkan kesempatan langsung mewawancarai penulisnya, Khilma Anis, setelah bedah buku yang “heboh” itu.

Apa yang membuat Hati Suhita best seller?

Kalau ada perempuan yang menulis itu merupakan daya pikat sendiri. Apalagi penulisya berasal dari kalangan pesantren, berkaitan dengan pesantren, berkaitan dengan Jawa dan berkaitan dengan rumah tangga. Menurut saya, masalah keluarga itu bisa menjadi daya tarik karena memang kisah-kisah rumah tangga bisa dialami banyak orang. Sifatnya universal. Jadi daya tariknya menurut saya karena Hati Suhita ditulis perempuan, tentang perempuan, Jawa dan berkaitan dengan pesantren,  Itu masih merupakan sesuatu yang langka.

Apa karena Cerbungnya muncul di facebook?

Saya kira tidak juga. Ada banyak cerbung. Itu sudah biasa. Tapi ndak semuanya boomingsebagaimana Hati Suhita. Ada banyak kok novel yang berawal dari cerbung.  Dan, begini. kalau pesantren itu ada jaringan. Jadi pesantren hari ini sangat antusias sekali. Kalau ada tulisan tentang pesantren biasanya akan diundang ke lembaga-lembaga. Tapi pesantren juga selektif dalam memilih penulis. Kalau ghirah tulisannya tidak berkaitan dengan pesantren ya tidak menarik dunia pesantren. Jadi kita sebagai santri tidak boleh menulis asal-asalan.

Hati Suhita apa ada hubungannya dengan fenomena Hijrah?

Tidak. Saya tidak pernah membidik hal itu. Justru saya fokus kepada ilmu bagi remaja putri untuk mengarungi hidup selanjutnya sebab kita semua tahu ya kalau suksesnya sebuah rumah tangga itu tergantung pada perempuan. Kalau ibunya baik ya rumah tangganya akan baik.

Baca Juga:  Ketika Sastra Pesantren Masuk ke Sosial Media

Referensi Hati Suhita begitu banyak, pertimbangannya apa saja kok bisa buku-buku yang variatif?

Saya seorang pembaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Karya tulis seorang penulis akan menjadi baik kalau referensinya banyak. Penulis yang malas baca akan kelihatan dari karyanya.

Saya punya buku yang banyak. Yang saya baca dan pelajari berkaitan dengan sejarah masa lampau, sejarah pesantren dan lainnya. Kemudian ketika menulis tentang Suhita, saya tidak mau tokoh yang ada dalam tulisannya otaknya kosong yang hanya bicara tentang perasaan hatinya. Saya tak mau yang seperti itu.

Meskipun sastra, semestinya sastra ditulis dengan sungguh-sungguh. Sastra itu jangkauannya luas, bisa menyentuh semua kalangan. Bahkan Buya Husein Muhammad membaca Hati Suhita, ada juga Bu Nyai yang membaca dan banyak orang membaca. Misalnya saya membuat tokohnya bodoh, akhirnya saya yang malu. Apalagi yang membaca santri-santri. Jadi yang ditulis jangan hanya perasaannya. Misalnya Suhita. Dia hafal Alquran, diandalkan mertua sehingga pembaca bisa tahu bahwa Suhita itu seorang pemimpin dan perhatian kepada banyak orang. Sedangkan Rengganis, meskipun tidak memiliki nasab sebagaimana Suhita, tapi dia aktif organisasi. Dengan karakter seperti itu pembaca bisa terinspirasi.

Ketika menulis, bahan pokoknya harus buku. Saya penulis yang anti Google. Saya tahu apa yang saya baca tidak ada dalam Google. Buku-buku lama saya tidak banyak dibahas di Google.

Bagaimana dengan tawaran Hati Suhita di-filmkan?

Sudah kok. Sudah ada tawaran. Sudah deal. Cuma belum ada perjanjian yang lebih jauh. Saya pegang kata-kata Gus Mus, agama itu melarang kita menggantungkan sesuatu yang masih rencana. Ini saya pegang terus.

Kami sempat sudah mulai membicarakan siapa calon pemainnya dan lain-lain. Tapi masih rahasia.

Baca Juga:  Gus Birru atau Malin Kundang yang Tanggung?

Mengapa tidak dijual di Gramedia atau Toga Mas?

Saya ingin menggerakkan ekonomi kreatif. Khususnya menggerakkan perempuan. Makanya reseller-nya kan kebanyakan perempuan. Biar orang-orang bukan hanya konsumtif tapi juga produktif. Kalau urusan dengan toko buku hanya satu arah dari penjual dan pembeli. Tapi dengan adanya reseller kan kita bisa menggerakkan banyak orang. Reseller-nya ikut membaca dulu sebelum menjual. Kami juga bisa berkomunikasi dengan para reseller.

Pesan dan Kesan untuk para Calon Penulis apa?

Perbanyak membaca. Jangan sampai jadi orang yang tidak mau membaca. Ciri-ciri orang yang sombong itu tidak mau membaca. Membaca itu menerima pemikiran orang. Kalau tidak mau membaca berarti sudah merasa sudah pintar. Membaca apa pun. Membaca sastra juga tidak apa-apa. Dengan membaca, orang akan bisa menulis. Profesi apa pun, kalau bisa membaca dan menulis akan semakin kreatif. (RM)

Sumber: https://alif.id/read/redaksi/berbincang-bincang-dengan-khilma-hati-suhita-anis-b223049p/

 

Redaksi
Redaksi PesantrenID

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri