Kurma

Kelepon sudah berlalu, saya senang dengan tulisan sebelumnya, dilihat dari beberapa komentar, pembaca sampai pada kesimpulan yang saya harapkan; g*bl*knya (Wahabi) bukan cuma privatif, personal, individual, tapi ternyata kolektif, terstruktur, dan masif.

Bagi sebagian kelompok Islam, menganggap nalar, akal, terlarang untuk digunakan, apalagi ketika disebut mantiq; ilmu logika mereka menolak. Seakan Al-Quran dan Sunnah dapat dipahami tanpa peran akal. Inilah salah satu alasan logika (dipandu berbagai ilmu pendukung; gramatikal, morfologi, musthalahat hadis dll) tidak digunakan oleh mereka (wahabi) ketika menjumpai ayat Al-Quran atau hadis Nabi Saw.

Ketika ada hadis dipahami secara harfiah, ini salah satu akar masalah radikalisme, dari pola ini pula muncul paham takfir; mengkafir-kafirkan muslim, tarhib (radikalisme), dan tadmir (memporak-porandakan) milik dan peninggalan umat Islam; masjid, museum, situs sejarah dll).

Dari pola pikir semacam itulah muncul anggapan ada jenis makanan yang islami, dan ada jenis makanan lain, yang sama-sama halal, tapi tidak islami. Misalnya karena Rasulullah Saw dalam hadisnya banyak menyebut kurma (karena memang makanan pokok bangsa Arab ketika itu), mereka anggap kurma lebih Islami dari makanan lain.

Sebagai contoh mari kita baca salah satu hadis tentang kurma;

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً ، لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ اليَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ ) رواه البخاري في ” صحيحه ” (رقم/5445) ومسلم في ” صحيحه ” (رقم/2047) .

Barang siapa yang sarapan pagi ( تصبح) dengan tujuh butir kurma ajwa, maka tidak akan membahayakannya racun ataupun serangan sihir pada hari itu.”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Bagi umumnya ulama Islam menyikapi hadis ini membekali diri dengan iman dan tafsir. Iman artinya meyakini makna hadis apalagi secara periwayatan dapat dipastikan 100% bahwa itu sabda Nabi Saw. Tapi disisi lain juga menyediakan tafsir. Sementara kalangan Wahabi cukup iman, tanpa ada upaya menyelami makna teks.

Baca Juga:  Seberapa Jauh Diferensiasi Silogisme, Observasi dan Analogi dalam Teropong Logika?

Para ulama misalnya, bertanya, kurma ajwa yang mana yang dapat memberi imunitas seseorang terhadap racun? Semua kurma Madinah kah? Hanya kurma ajwa pada zaman Rasulullah Saw saja atau hingga kini? Ataukah pada zaman Rasulullah Saw pun hanya kurma ajwa dari pohon tertentu?

Ibn al-Tin sebagimana dikutip oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan;

بأن المراد نخل خاص لا يعرف الآن

(Yang dimaksud Nabi Saw dalam hadis tersebut adalah pohon kurma tertentu yang sekarang sudah tidak diketahui lagi“.

Sementara menurut al-Khathabi, “memberi imunitas dari racun dan sihir bukan kandungan kurma, imunitas itu karena kurma tersebut telah didoakan oleh Nabi Saw“. (Fathul Bari Juz 10, hlm 239)

Atas dasar tafsir dua ulama tersebut maka kita tidak bisa menggeneralisasi makna hadis tersebut, bahwa semua jenis kurma ajwa madinah memberi imunitas dari racun dan sihir.

Banyak ulama yang berpendapat bahwa kurma yang dimaksud adalah kurma ajwa Madinah, seperti Imam Thahawi dalam Musykilul Atsar (juz 14/ hlm 362), Abu Awanah dalam al-Mustakhraj (juz 5 hlm 5/189), Qadhi Iyadh dalam Ikmalul Mualim (juz 6 hlm 531), Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (juz 14 hlm 3) demikian juga dengan Imam Qurthubi

” الذي ينبغي أن يقال إن ذلك خاصة عجوة المدينة ، ثم هل ذلك مخصوص بزمان نطقه أو هو في كل زمان ؟ كل ذلك محتمل ، والذي يرفع هذا الاحتمال التجربة المتكررة ، فإن وجدنا ذلك كذلك في هذا الزمان ، علمنا أنها خاصة دائمة ، وإن لم نجده مع كثرة التجربة علمنا أن ذلك مخصوص بزمان ذلك القول ” .

“Seyogyanya dimaknai bahwa khasiat dalam hadis itu untuk kurma ajwa Madinah, (pertanyaan selanjutnya), apakah khasiat itu hanya pada zaman hadis itu disabdakan atau juga masa setelahnya? Banyak kemungkinan. Untuk menghilangkan kemungkinan-kemungkinan itu adalah eksperimen, jika setelah percobaan yang berulang-ulang memang ada khasiat sampai sekarang maka khasiatnya selamanya ada, jika tidak berarti hanya terjadi dijaman Nabi Saw.”

Baca Juga:  Ngaji Kitab Al-Akhlaq Aristoteles Eticha Nicomachea (1)

Para ulama juga mempertanyakan, racun apa saja yang dapat dicegah oleh kandungan kurma ajwa? Walhasil para ulama mendorong untuk terus dilakukan eksperimen dalam memberi makna yang pasti terhadap hadis ini.

Dari hadis semakna dengan ini (kurma) juga para ulama berpendapat bahwa Sunah Nabi Saw itu ada sunah naui (نوعي) ada sunah jinsi (جنسي) ; naui berati spesifik; Nabi makanan pokoknya kurma, kita meniru makan kurma, kalau jinsi berarti subtansi; Nabi makanan pokoknya sesuai makanan pokok bangsanya kita juga sesuai bangsa kita. Jika makanan pokoknya Nabi kurma, kita makanan pokoknya beras, maka ketika makan Nasi kita bisa dapat pahala sunah karena kita meniru Nabi memakan makanan pokok sesuai makanan bangsanya.

ولا شك في كون عاداته صلى الله عليه وسلم كانت الأفضل في البلد الذي كان يعيش فيه والزمن الذي كان يعيش فيه صلى الله عليه وسلم، ولكن إذا اختلفت البلدان أو الأزمان فهل تكون هذه العادات هي الأفضل في حق كل أحد، أو يقال إن الأفضل هو اتباع عادة أهل البلد التي لا تخالف الشرع؟

“Tidak diragukan lagi bahwa kebiasaan Nabi Saw sangat baik bagi negara dimana Nabi Saw dahulu hidup, akan tetapi jika negara-negara dan zaman sudah berbeda apakah kebiasaan Nabi Saw juga lebih utama bagi setiap orang? Ataukah setiap orang lebih baik mengikuti kebiasaan bangsanya selama tidak berlawanan dengan syariat?

الراجح الثاني: ولا يخلو من يتبع عادة بلده من أن يكون متبعا للسنة فإنه متبع للنبي صلى الله عليه وسلم في جنس فعله وإن لم يكن متبعا له في نوع هذا الفعل.

“Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, yaitu setiap orang dianjurkan mengikuti kebiasaan bangsanya karena itu sama dengan mengikuti sunah Nabi Saw dalam jenis yang dilakukan Nabi (Nabi makan sesuai makanan pokok bangsanya, walaupun tidak sama dalam bentuknya (Nabi kurma kita beras).

Baca Juga:  Tawakal: Mediasi Diri Menuju Penghambaan yang Hakiki

Dalilnya menurut para ulama, ketika para sahabat Nabi Saw memperluas wilayah Islam dan memasuki kota-kota baru, mereka semua makan sesuai makanan pokok yang mereka tempati, berpakaian seperti pakaian penduduk setempat.

Dengan demikian ekspresi “mengikuti sunah Nabi Saw” bagi setiap orang akan berbeda-beda sesuai tempat dan waktu masing-masing individu. [HW]

Ahmad Tsauri
Dosen IAIN Pekalongan, Alumnus UIN Sunan Kalijaga, dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini