Koran ini sudah lumayan lama, sekitar dua tahun yang lalu terbit. Ketika Maulana Syeikh Muhammad Muhanna masih menjabat sebagai penanggung jawab majlis ruwaq masjid al Azhar Asyarif. Dilampir dari koran “Soutul Azhar“, hari rabu 7 ramadan 1439 H. Bertepatan dengan 23 Mei 2018 M.

Disini tertulis beberapa fase kehidupan Maulana Syeikh Muhanna dalam ramadan khususnya, mulai dari masa beliau anak-anak. Sebuah cerita tentang bagaimana anak-anak pada zaman itu memberi kabar berbuka kepada penduduk desa yang sedang puasa dengan kondisi tanpa adanya saluran listrik dan sosial media.

Syeikh Muhanna kecil layaknya seperti anak-anak kecil lainnya, dimana juga suka bermain dengan teman-teman semasanya. Beliau tinggal di desa, dengan penduduk yang sederhana, tepatnya di provinsi Beheira, salah satu provinsi di Mesir yang beribukotakan Damanhur dan berbatasan dengan laut Mediterania.

Dimulai sebelum berbuka, seperti anak-anak kecil di Indonesia pada umumnya yang suka bermain obor, mercon ataupun kentongan ketika sebelum berbuka hehe, beliaupun juga tak kalah dengan lingkungan masa kecilnya, duduk dan kumpul, bersama teman-temanya di kanalan sungai dan kebun hingga azan magrib tiba. Kemudian apabila telah terdengar azan, segera beliau dan teman-teman berkeliling desa menyuarakan tanda yaitu dengan irama ( allai soyim yuftir) atau bisa diartikan dengan : silakan berbuka bagi yang berpuasa, sambil keliling desa hingga semua pelosok penduduk desa tau telah tiba waktu berbuka.

Dilanjutkan usai berbuka puasa dimana beliau bercerita suasana Mesir yang masih kental akan kebudayaannya, khususnya ketika datang bulan ramadan. Dimana ditandai banyak lentera fanoos/fawanis bergelantungan di setiap rumah dan jalan, fanoos sendiri adalah lentera yang terbuat dari logam ataupun kayu/kertas dan bahan lainya yang disusun, di dalamnya dinyalakan lilin atau lampu bertenaga listrik. Merupakan warisan budaya Mesir kuno. Saat itu lampu ini digunakan sebagai perayaan dewa-dewa Mesir kuno, kemudian dipakai kembali untuk salah satu ciri datangnya ramadan di zaman dinas fatimiyah hingga saat ini. Kemudian bersama kawan-kawannya Syeikh Muhanna berkeliling desa dan dikelilingkannya fawanis itu untuk penduduk desa, tanda kebahagiaan bulan ramadan dan para penduduk membalas dengan menyuguhi “Kunafah” semacam manisan khas Mesir.

Baca Juga:  Memetik Berkah di Bulan Ramadhan

Di sisi lain dimana masa kecil beliau, khususnya di bulan Ramadhan yang disibukkan dengan majlis kuttab (tempat belajar dan hafalan al Qur’an) di Mesir khususnya, dari sini banyak melahirkan qurro’ berkaliber internasional. Beliau bercerita akan Syeikh beliau yang bernama Syeikh Ridhwan dalam belajar al Qur’an kala masa kecilnya, yang selalu mengharuskannya untuk selalu berbahasa Arab fushah ketika berbicara dan juga fashohah yang benar dalam membaca al Qur’an.

Kemudian disusul ketika masa remaja beliau, sebelum masuk ke universitas, dengan berbagai kegiatan yang ada, belajar memahami hakikat yang ada dalam puasa, menjaga rukun dan sunnahnya, bertarawih satu juz setiap malamnya, hingga puncak ekstrim mujahadah di masa sepuluh akhir di bulan ramadan.

Setelah itu menginjak pendidikan kepolisian, yang selalu akrab dengan kedisiplinan yang ada. Beliau bercerita akan panjangnya antri ketika akan memperoleh buka puasa. Hingga kemudian selang beberapa tahun dan menjabat sebagai perwira polisi beliau mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Clermont-Ferrand dan Sorbonne University Pranncis.

Ternyata ramadan di Prancis tak seindah di Mesir, tanah air yang telah membesarkannya, karena sejatinya manusia akan selalu merindukan kampung halaman dimana tempat ia lahir. Disana keadaan berbalik, dengan ciri khas peradaban baratnya, akan tetapi beliau tetap menjaga adab ketimuranya.

Dari masa puasa, puasanya pun beda dengan di Mesir bisa mencapai 19 jam, dimulai dari jam 3 subuh hingga maghrib jam 10 malam, mendapatkan ta’jil buka puasa sambil menunggu sholat isya di masjid, kemudian selesai tarawih sekitar jam satu malam. Kemudian pulang ke asrama berbuka puasa sekaligus sahur untuk puasa selanjutnya.

Syeikh Muhanna muda yang banyak mengarungi prestasi dalam dunia perhukuman khususnya. Berhasil menyelesaikan doktorlanya selama dua tahun, dengan judul doktoral : “Le Terorisme et le Droit internasional modern“, atau bisa diartikan Terorisme dan Krisis Hukum Internasional Modern”, sebuah studi perbandingan antara sistem hukum dan Syariah, dengan predikat very cumlaude.

Dari sinilah beliau mulai mengenal dan mendalami tasawuf dan ilmunya. Total masa beliau di Prancis adalah dua belas tahun, dua tahun beliau habiskan untuk doktoral dan sepuluh tahun setelahnya beliau gunakan untuk belajar berbagai macam ilmu agama khususnya dan bermulazamah kepada sang guru yaitu Syeikh sayyid Abdul Haq, seorang tokoh sufi kenamaan di dunia barat dari Perancis yang merupakan murid dari Failasuf Sufi ternama dan pemikir besar di dunia barat di era masanya yang bernama latin René-Jean-Marie-Joseph Guénon, kemudian beliau masuk islam di tangan Syeikh Ileisy, ulama bermazhab maliki terkemuka dan juga azhari. Kemudian René-Jean-Marie-Joseph Guénon berubah nama menjadi Abdul Wahid Yahya, belajar banyak ajaran agama islam dan berbaiat thariqat kepada sang guru, hingga beliau meninggal di Mesir dan di kuburkan di area pekuburan depan kantor Masyikhah al Azhar.

Baca Juga:  Kontroversi seputar Nisf Sya'ban dan keutamaannya

Usai sudah dua belas tahun beliau habiskan di Negeri dengan julukan kota mode ini, hal itu tidak membuatnya melepas pakaian ketimuran, akan tetapi tetap dan selalu mempertahankannya. Kemudian di akhir masa belajarnya kepada sang guru, beliau mendapatkan wasiat darinya apabila telah sampai Mesir agar terus melanjutkan perjalanannya mendalami sufisme kepada Syeikh Muhammad Zakiy Ibrohim, hingga akhir hayatnya. Kemudian jadilah beliau hingga saat ini, sosok ulama yang ahli dalam berbagai bahasa dan juga sosok perpaduan antara timur dan barat, akan tetapi tetap mempertahankan ketimuranya. Dan juga Murabbi yang sangat sabar, berakhlak mulia, dan sangat mencintai murid-muridnya khususnya dari Asia.

Begitulah sekilas cerita ramadan dari al Murabbi Syeikh Muhammad Muhanna, dari kecil hingga masa doktoral beliau di Perancis, dari desa hingga berbeda benua. [HW]

Ade Rizal
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin al Azhar Kairo Mesir, Pondok Modern Gontor, Tabarukan di Lirboyo,Pondok Kwagean Kediri, Pondok Hamalatul Qur'an Jombang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama