Saya termasuk jenis manusia yang terlambat akrab dengan smartphone, tetapi justru membuat saya bersyukur. Hidup di pedesaan memberikan saya kesempatan untuk bisa merasakan nikmatnya belajar mengaji—meskipun lebih sering bikin ramai karena gaduh—di musala.

Sejak duduk di bangku SD sampai di masa putih abu-abu, saya bersama teman-teman lebih sering belajar sambil bermain dengan bertatap muka daripada bertatap layar. Penyesalan memang selalu di belakang karena terlalu sering bermain mengakibatkan saya kesulitan memahami semua ilmu yang dipelajari saat di sekolah khususnya ketika mengaji di musala.

Namun, semua rutinitas itu telah sangat jarang ditemui di zaman sekarang, bahkan di wilayah pedesaan. Anak-anak masa kini yang sedang mengaji di musala sudah sangat jarang ditemui, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan smartphone. Sebenarnya, hal ini dapat sedikit dimaklumi karena mereka hidup di zaman amfibi (dua dunia: nyata dan maya). Itulah sebabnya budaya lama anak-anak yang mengaji di musala mulai hilang.

Agama Islam mewajibkan kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Kewajiban tersebut berlaku sepanjang hayat, seperti yang diriwiyatkan dalam hadis, “menuntut ilmu hukumnya wajib dari buaian hingga liang lahat”. Dalam menuntut ilmu, dibutuhkan waktu yang panjang dan hati yang lapang agar ilmu yang dipahami bukan untuk menyalahkan kelompok lain, melainkan menuntun secara perlahan bukan menuntut dan menyalahkan.

Jika perilaku anak-anak zaman ini lebih sering bermain PUBG daripada mengaji, termasuk remaja dewasa yang belum pernah belajar agama kepada guru, kemudian belajar secara instan di Google atau YouTube misalnya. Apakah langkah ini salah dan menyesatkan? belum tentu.

Anak muda zaman sekarang, khususnya mahasiswa sedang berada di fase “semangat-semangatnya” belajar agama, tetapi dengan cara belajar yang tak bertopang pada guru, sistem, madrasah, ataupun pesantren. Orang-orang belajar agama sebagai kegiatan sampingan. Kenapa? Tidak semua orang mempunyai kesempatan mengaji atau mondok sejak kecil, bahkan cukup banyak yang baru mengenal Islam saat masuk kampus.

Baca Juga:  Hukum Menampakkan Ibadah di Era Milenial

Sebagian dari waktu mereka habis untuk kuliah—dengan segala tugas, praktikum, dan menulis laporan—serta bekerja. Oleh karena itu, kanal YouTube bertema kajian keagamaan semakin banyak diminati karena menyediakan platform pembelajaran agama secara instan. Inilah yang disukai oleh mayoritas anak muda zaman sekarang.

Pada dasarnya, belajar agama dengan niat yang baik boleh saja dilakukan secara instan. Namun, dengan satu syarat, belajar melalui pintu yang tepat. Artinya, tidak asal pilih ustaz atau ulama yang dijadikan guru ketika belajar di YouTube.

Jika salah memilih guru, inilah yang justru mengakibatkan gagal paham, menyesatkan, dan berani mengkafirkan orang lain. Jika sekadar mencari tahu kebaikan lewat YouTube, tak harus bertemu langsung dengan guru, belajar dalam jangka waktu lama, hafal Al-Quran, hafal hadis, dan seterusnya. Namun, kuncinya belajar pada orang yang tepat. Guru yang memiliki sanad keilmuan jelas sampai Rosulullah saw.

Mereka yang cenderung nyinyir lebih cepat daripada berpikir adalah bukti nyata karena salah memilih guru sehingga merasa paling benar, kemudian hobi menyalahkan bukan menenangkan dan sering terlihat marah bukan terlihat ramah.

Lalu, bagaimana kriteria ulama atau guru yang harus dijadikan teladan? Mereka adalah orang yang memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. serta ahli dzikir. Dalam surat an-Nahl ayat 43, “fas`alū ahlaż-żikri ing kuntum lā ta’lamụn, artinya bertanyalah kepada orang yang (ahli dzikir) mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Para ulama yang ‘alim dan ahli dzikir, dengan menatap wajahnya saja mampu menentramkan gersang jiwa apalagi jika mendapat bonus nasihat. Mereka berfatwa bukan karena nafsu, emosi, atau kepentingan politik. Namun, murni karena Allah Swt.

Belajar agama lewat YouTube untuk sekadar mencari kebaikan, sejatinya boleh saja. Hal yang menyebabkan gagal paham bahkan menyesatkan ialah belajar kepada guru yang salah sehingga berani mengkafirkan orang lain, padahal belajar agamanya secara instan.

Baca Juga:  Diaspora Muslim Bisa Sebarkan Islam Moderat Tanpa ‘Berdakwah’

Akibat gagal paham dan mengikuti guru yang salah, mereka mungkin mengaku Islam, tetapi justru menyimpang dan mengingkari sekian banyak ajaran Rosulullah saw.

Misalnya, menyalahkan amaliah berzikir keras setelah sholat, padahal hujjah-nya ada di HR. Bukhari juz 2, hal. 324. Kemudian, tidak membaca basmalah jaher (keras) saat sholat Magrib, Isya, dan Subuh, padahal dasarnya jelas di HR. Imam Bukhari No. 3451 dan contoh lain, yakni mengatakan tawasul bid’ah, padahal dalam HR. Imam Bukhari No. 1009 dan 1010 menerangkan doa tentang tawasul.

Oleh karena itu, belajar agama kepada guru yang tepat dan mengikuti ulama yang ahli dzikir merupakan cara yang paling maslahat untuk menghindari kesesatan dan kegagalpahaman dalam menjalankan syariat Islam. [HW]

Febi Akbar Rizki
Santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek, Alumnus S1 UNISMA Malang, Penulis Buku Menjadi Generasi Optimis dan Nasionalis, Ketua PKPT IPNU Unisma, Pengurus PC IPNU Kota Malang, Penggerak Gusdurian, Penyunting Buku Dzikir Pena Santri, Penyunting Buku Khutbah Jum'at 7 Menit (KH Marzuki Mustamar), dan Editor Penerbit Literasi Nusantara.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini