Hukum Menampakkan Ibadah di Era Milenial

Saat ini, salah satu kebijaksanaan adalah tidak menyembunyikan ibadah kita. Khususnya di era sekarang, dimana mengkafir-kafirkan sesama muslim sangatlah mudah dilontarkan. Kelompok A menuduh kafir kelompok B, teman sejawatnya dituduh bid’ah dan para tetangga saling mengklaim kafir karena hanya berselisih pemahaman apalagi berbeda organisasi serta aliran.

Memang beribadah ditekankan untuk ikhlas, sementara salah wasilah beramal dengan ikhlas adalah sembunyi-sembunyi tanpa diketahui seseorang. begitu banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk ikhlas, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Hal inilah, yang membuat pemuda-pemudi saat ini secara berlebihan mendengungkan ibadah secara sembunyi-sembunyi, serta menganggap tabu terhadap amal yang dilakukan secara terang-terangan.

Padahal, tidak semua ibadah harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi agar ikhlas. Ada beberapa ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara terang-terangan di depan banyak orang, bahkan terkadang menjadi suatu keharusan untuk menampakkan ibadah itu sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Perlu diketahui, bahwa ibadah itu ada dua, ada yang primer dan ada pula yang sekunder. Primer dalam artian bahwa ibadah itu bersifat wajib, baik wajib ain ataupun kifayah. Sementara sekunder ibadah yang bersifat sunnah seperti shadaqah sunnah, memberi, mewakafkan dll.

Ibadah yang seharusnya disembunyikan adalah ibadah yang bersifat sunnah atau sekunder. Sedangkan yang bersifat wajib seharusnya ditampakkan, seperti membayar zakat dan melaksanakan shalat lebih-lebih di tengah-tengah masyarakat yang gampang mengkafirkan. Kenapa ditampakkan? Karena kalau tidak ditampakkan  akan berakibat fatal. Semisal seseorang selalu shalat fardhu sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh tetangganya karena khawatir riya’ atau supaya ikhlas, maka potensi sekali para tetangga akan mengira ia tidak shalat. Apa lagi aliran yang di anut tetangganya berbeda, dan tetangganya ikut kelompok yang suka mengkafir-kafirkan kelompok lain sebab tidak sepaham sebagaimana dewasa ini kerap terjadi.

Baca Juga:  Ibadah atau Melayani?

Kalau sudah diklaim tidak shalat maka berkonsekuensi darahnya dianggap halal dan boleh dibunuh. Oleh karena itu, maka seharusnya ibadah-ibadah yang seperti ini harus ditampakkan. Salah satu hikmah disyariatkannya jamaah untuk shalat fardhu itu supaya shalat fardhu tersebut dilaksanakan di depan khalayak umum. Dan banyak orang menyaksikan bahwa shalatnya sudah dilaksanakan sehingga tidak menimbulkan praduga-praduga yang macam-macam.

Begitu juga dengan zakat, dianjurkan saat membayar ditampakkan atau “dipamerkan” agar tidak diduga enggan membayar zakat. Kalau sudah di kira tidak membayar zakat maka halal bahkan wajib diperangi. Bukankan hampir seluruh masa kekhalifahan Abu Bakar dihabiskan untuk memerangi orang-orang yang membangkang, orang yang enggan membayar zakat sehingga di masa beliau tidak sempat melakukan ekspedisi keluar jazirah Arab dalam menyebarkan cahaya Islam.

Dalam kitab Fathu al-Muin karangan Abdul Aziz al-Malibari ditegaskan bahwasanya pembayaran zakat fardhu hendaknya dilaksanakan di depan umum agar banyak yang menyaksikan berdasarkan dalil ijma’. Bahkan syekh Abu Bakar Muhammad Syatho Al-Dimyati mengatakan shalat fardhu dan zakat fardhu memang seharusnya dilakukan secara terang-terangan. Beliau mengutip pendapatnya imam Nawawi dalam kitab Raudah-nya mengatakan;

ويستحب للمالك إظهار إخراج الزكاة – كالصلاة المفروضة – وليراه غيره فيعمل عمله، ولئلا يساء الظن به

“Pemilik harta dianjurkan untuk menampakkan pembayaran zakat – sebagaimana shalat fardhu dilakukan secara terang-terangan – supaya orang lain mengetahuinya, lalu orang yang melihat beramal sebagaimana amalnya, dan juga seseorang yang melihatnya tidak akan berprasangka buruk.”

Dari kutipan di atas, membuktikan bahwa tidak semua ibadah harus di sembunyikan. Dengan demikian, menampakkan ibadah tidak selalu buruk, sebagaimana anggapan sebagian anak muda zaman sekarang.

Ibadah juga ada yang sunnah di tampakkan bahkan menjadi wajib ditampakkan sekiranya akan menimbulkan fitnah bagi masyarakat sekitar, kalau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sementara ibadah-ibadah yang disunnahkan untuk sembunyi-sembunyi adalah ibadah yang bersifat sunnah seperti shalat sunnah rawatib, memberi hadiah dll. Oleh karena itu, antara shalat fardu dan shalat sunnah berbanding lurus. Shalat fardhu dianjurkan dilaksanakan di depan umum sementara shalat sunnah ditekankan dikerjakan dalam rumahnya (sendirian) begitulah Nabi mendidik para sahabatnya.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Donor Darah Plasma Konvalesen?

Al-hasil, memang ikhlas, riya’ dan penyakit hati lainnya itu sangat urgen dalam urusan ibadah. Agamapun memerintahkan untuk dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dari keramaian agar ikhlas, tidak riya’ dll. Ia hanya beribadah untuk tuhan semata. Namun, sekiranya akan menimbulkan fitnah saat dilakukan sembunyi-sembunyi maka seyogyanya ditampakkan. Penting manakah antara ikhlas atau riya’ yang “menimbulkan fitnah” sehingga menghalalkan darahnya seseorang atau menampakkan ibadahnya supaya keadaan damai sentosa. Bukankan ikhlas tidak melulu harus melaksanakan secara sembunyi-sembunyi  karena ikhlas perbuatan hati yang perlu dilatih tiap hari dengan penuh ke istiqamahan. []

Mohammad Soleh shofier
Mahasantri Ma'had Aly salafiyah Syafi'iyah Situbondo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum