Islam adalah agama yang sangat mulia, menjunjung tinggi akan kehormatan semua makhluk ciptaanNya. Agama Islam selalu mempelopori segala perbuatan dengan bumbu cinta dan kasih sayang di dalamnya. Termasuk juga dalam memberantas kemunkaran yang ada, terlebih jika terdapat pada saudara kita. Semuanya ada tata cara, porsi dan langkahnya yang mana telah tertulis rapi dalam ajaran agama islam.
Dari banyak hadist Nabi Muhammad saw yang sering diselewengkan dalam pemahamanya adalah hadist tentang tata cara melarang kemungkaran. Banyak dari kita, umat islam yang mempolitisir hadist ini demi untuk melegalkan kekerasan dalam menegakkan pemberantasan terhadap kemungkaran.
Hadist tersebut berbunyi :
“عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان ).
Artinya: Dari Sahabat Abi Said al Khudri Ra. Dia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa diantara kalian ada yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya [nasihat] dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan demikian itu selemah-lemahnya iman.
Hadist ini banyak diriwayatkan oleh para muhaddist dalam kitabnya, Imam Muslim dalam sohihnya, Imam Abu Daud dalam sunannya, Imam Tirmidzi dalam jami’nya, Imam an Nasa’i dalam sunannya, Imam Ibnu Majah dalam sunannya, dan banyak lagi ulama lainnya yang menjadikan hadist ini sebagai poros rujukan dalam fiqih nahi munkar.
Dalam fiqih nahi munkar sudah seharusnya kita bisa memahami hadist ini secara benar sesuai kaidah pemahaman para ulama bukan sesuai tuntutan hawa nafsu kita. Karena sejatinya nahi mungkar dalam agama islam merupakan bukti kecintaan kita kepada sesama, juga bukti kepedulian kita terhadap saudara kita, untuk bersama menjalani ketaatan dan menjauhi segala larangan dalam aturan beragama.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
“لا يجوز تغيير منكر بمنكر أكبر منه”.
“Tidak boleh merubah kemunkaran dengan melakukan kemunkaran yg lebih besar.”
Dari hadist diatas kita bisa memahami langkah dan porsi kita dalam merealisaskan fiqih nahi mungkar tersebut. Yang mana kita fahami kenapa hadits ini menggunakan lafadz : ( من رأي) yang artinya ‘Barang siapa melihat’ dan bukan menggunakan (من ظن) yang artinya ‘Barangsiapa menduga’. Ini jelas menunjukan bahwasanya kemunkaran yang akan kita rubah haruslah betul-betul telah terlihat dan memberikan keyakinan pada diri kita bahwasanya itu benar-benar munkar yang sesungguhnya,bukan dugaan semata.
Imam Nawawi menjelaskan hukum amat makruf dan nahi munkar sebagai intisari dari hadis ini dalam syarhnya terhadap Sohih Imam Muslim. Beliau menjelaskan aslal hukum amar makruf dan nahi munkar adalah “Fardhu Kifayah”, apabila kewajiban ini sudah ditunaikan maka gugurlah kewajiban bagi lainnya, dan apabila semua kalangan meninggalkanya maka berdosalah semuanya. Lantas bagaimana kita mengetahui porsi sesuai kewajiban kita dalam nahi munkar ini?
Dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskan cara, langkah dan porsi kita dalam menanggulangi kemunkaran yang ada, yaitu dengan konteks makna hadist :
“فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان”.
Yang artinya : Maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya [nasihat] dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan demikian itu selemah-lemah keimanan.
Cara pertama adalah dengan merubahnya menggunakan tangan. Ketika kita perhatikan seksama langkah dalam hadist ini, sudah pasti kita memahami bahwa susunan di atas bukanlah susunan yang bersifat tahapan. Karena apabila difahami dengan seperti itu, maka tahapan pertama adalah dengan menggunakan lisan, karena dimulai dari hal kecil kemudian besar. Tetapi disana disebutkan untuk merubahnya menggunakan tangan terlebih dahulu. Maka kita fahami bahwasanya ini bukanlah sebuah susan secara tahapan, akan tetapi merupakan sebuah susunan sesuai porsi masing- masing golongan manusia.
1.Merubah kemunkaran dengan tangan (التغيير باليد) yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah dengan tangan para hakim atau pemimpin. Yaitu porsi bagi mereka yang mampu merubahnya dengan menggunakan aturan dan sanksi. Dengan syarat tindakan perubahan ini tidak menimbulkan kemudaratan yang lebih besar. Atau dengan kata lain, lebih memberikan kemasyarakatan bagi umat manusia. Kemudian syarat selanjutnya adalah perbuatan munkar tersebut harus disepakati kemungkaranya, tidak boleh melarang kemunkaran yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Qoidah mengatakan:
لا ينكر المختلف فيه وانما ينكر المتفق عليه
“Tidak boleh diingkari sesuatu yg diperselisihkan (dikalangan ulama) yang diingkari hanya yang telah disepakati”.
Maka apabila suatu kemungkaran masih menjadi perselisihan dikalangan ulama, maka hal itu tidak termasuk dalam kemungkaran yang harus ditanggulangi.
2. Selanjutnya yaitu merubah kemunkaran dengan menggunakan lisan (التغيير باللسان). Sesuai pemahaman diatas, porsi selanjutnya adalah golongan yang berhak melakulan perubah dengan menggunakan lisan atau nasihat, ini adalah porsi para ulama dan da’i, dengan cara menasihatinya (pelaku maksiat) dan membimbingnya ke jalan yang baik dan benar.
3. Yang terakhir adalah merubah kemunkaran dengan hati, (التغيير بالقلب). Dalam memahami lafadz ini pasti muncul dalam benak kita bagaimana bisa merubah kemungkaran dengan menggunakan hati? Maka kita jawab, yang dimaksud merubah dengan hati adalah dengan adanya ingkar dalam hati kita dan tidak meridhoi akan terjadinya maksiat tersebut. Sembari selalu menyibukkan diri dengan bermuhasabah dan juga berzikir kepada Allah ta’ala. Maka porsi ini diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Kemudian dalam bagian akhir hadist diatas disebutkan menggunakan kata tunjuk jauh yaitu (ذلك) dalam kalimat (وذلك أضعف الإيمان) yang artinya : Dan demikian itu selemah-lemahnya keimanan. Apa yang dimaksudnya?
Guru kita Syeikh Muhammad Ibrohim Abdul Baits al Kattani dalam konteks hadist ini menjelaskan bahwasanya kata tunjuk jauh disini bukanlah kembali kepada bagian yang ketiga (masyarakat umum) ataupun kepada salah satu bagian di atas, apabila seperti itu maka akan memakai kata tunjuk dekat yaitu (هذا). Akan tetapi kembalinya kata tunjuk jauh tersebut kepada setiap kelompok diatas apabila tidak melakukan sesuai kewajiban masing-masing dalam menanggulangi kemunkaran, maka itu adalah selemah lemahnya iman.
Dalam uraian diatas kita bisa mengambil banyak intisari cara menanggulangi atau memberantas kemungkaran, yaitu :
1. Mengajak kebaikan dan memberantas kemunkaran harus dilakukan dengan cara yang baik.
2.Mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran harus dilakukan berlandaskan ilmu. Maka tidak boleh bagi kita untuk melarang kemungkaran dilakukan oleh orang bodoh yang tidak mengerti makna munkar itu sendiri. Sehingga tidak terjadi ketika seseorang meyakini ia sedang melarang kemungkaran tetapi justru yang dilakukannya adalah sebuah kemunkaran itu sendiri.
3. Memulai amar makruf dan nahi munkkar dengan lembut dan penuh sopan santun. Contoh dengan tidak menasihatinya di khayalak ramai.
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Sya’irnya:
تَعَمَّدني بِنُصْحِكَ في انْفِرَادِي ** وجنِّني النصيvحةَ في الجماعهْ
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَوْعٌ ** من التوبيخِ لا أرضى استماعه
“ Nasihatilah Aku dalam keadaan bersendiri,
Dan janganlah menasihatiku dikhalayak ramai,
Sejatinya nasihat dihadapan manusia bagian
dari mencela yang tidak ingin ku dengar.” (Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i hal.63)
4. Agar menjadi contoh utama bagi mereka yang akan menasihati dalam melakukan ketaatan dan juga menjauhi segala larangan dalam syariat islam.
5. Sabar dan selalu mendoakan bagi pelaku kemunkaran karena perubahan tidak tercipta begitu saja, melainkan harus melalui proses yang panjang.
6. Tawakkal terhadap semua hasil yang akan terjadi, karena kewajiban kita hanyalah mengajak, adapun hasil perubahan hanya atas ketentuan Allah