Tidak ada yang menyangka, seorang Raffi Ahmad mendapatkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) dalam bindang event management and global digital development dari salah satu kampus yang terbilang fiktif yaitu Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand. Moment itu dia bagikan di Instagram pribadinya pada Jumat (27/92024).
Terlepas dari rumor fiktif kampus UIPM yang otomatis menjadikan penyematan gelar itu sangat mencurigakan, penyematan gelar akademik kepada seorang selebritas adalah hal yang sangat ironis dan membingungkan masyarakat, sebab wujud pengabdian untuk ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemanusiaan apa yang dilakukan selebritas sehingga dia layak diberikan gelar kehormatan akademik.
Setelah isu skandal pendidikan yang dikaitkan dengan Raffi Ahmad, mucul pemberitaan siaran langsung sidang terbuka promosi gelar doktor Agus Harimurti Yudhoyono yang telah menyelesaikan program doktoral pengembangan sumber daya manusia di Universitas Airlangga Surabaya dan lulus dengan predikat Cumlaude pada Senin (7/10/24).
Pemberitaan terkait pengukuhan gelar doktor AHY seakan menjadi angin segar yang membersihkan isu skandal dalam dunia pendidikan setelah ramai dibincangkan sebab penerimaan gelar doktor kehormatan kepada Raffi Ahmad, pasalnya AHY menyelesaikan doktoralnya dengan prosedur dan beban kuliah yang wajar sebagaimana mahasiswa doktoral lainnya.
Akan tetapi, publik Indonesia kembali diramaikan dengan pemberitaan serupa dari Menteri ESDM sekaligus ketua umum partai, Bahlil Lahadalia yang melangsungkan ujian terbuka promosi gelar doktor Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia dengan predikat cumlaude pada Rabu (16/10/2024).
Terkesan mencengangkan bagi masyarakat sebab Bahlil menyelesaikan studi doktoralnya kurang dari waktu dua tahun, sedangkan pada umumnya studi doktoral paling cepat ditempuh dengan waktu minimal 3 tahun atau 6 semester. Pada kenyataannya Bahlil menempuh studi doktoral by research yang ditempuh 4 sampai 10 semester.
Gelar doktoral merupakan suatu pencapaian prestisius seseorang yang menunjukkan dia telah menamatkan jenjang pendidikan tertinggi dan tentunya tidak semua orang bisa menyelesaikannya sehingga orang yang memiliki gelar doktoral tentunya dipandang masyarakat sebagai orang yang pintar dan terdidik.
Gelar ini juga menjadi sebuah legitimasi baik bagi para politisi maupun para entertain, pasalnya banyak dari para politisi yang berangkat hanya dengan modal uang dan tidak bermodalkan riwayat pendidikan yang tinggi, sebagaimana para selebritas banyak yang terkesan tidak menamatkan pendidikan bahkan tidak tamat jenjang SMA.
Islam sendiri juga memberikan apresiasi gelar akademik bagi para akademisi Islam yang mempunyai pengaruh dan implikasi keilmuan yang sangat luas. Sebut saja Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam sebab pemikirannya yang mampu meng-counter pemikiran para filsuf yang keliru, dan para sekte bathiniyah.
Selain itu gelar Syaikhul Islam yang disematkan kepada banyak ulama terutama para pakar fiqih Islam seperti Zakariya al-Anshari dari madzhab Syafi’iyah, dan juga Ibnu Taimiyah yang masyhur desematkan gelar ini terlepas dari segala kontroversinya.
Banyak juga yang disematkan gelar akademik oleh para pengikutnya seperti Syihabud dunya wad din (obor dunia dan agama) yang disematkan kepada Ahmad bin Husain al-Ashfihani yang terkenal dengan panggilan Abu Syuja’ penulis kitab Matan Taqrib, yang dipuji oleh Sulaiman al-Bujairami sebagai penerang penduduk dunia dan semangat beragama seperti bintang bersinar (Sulaiman al-Bujairami, Tuhfatul Habib Syarh al-Khathib, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz 1, hal. 15.).
Al-Bujairami juga menyebutkan beberapa arti gelar akademik seperti kata al-Alim, menurutnya jika kata al-Alim disematkan tanpa imbuhan disiplin ilmu tertentu maka artinya adalah gelar untuk seseorang yang ahli diberbagai disiplin keilmuan, jika disematkan kepada salah satu disiplin ilmu maka gelar itu menunjukkan keahlian di satu keilmuan itu saja. (Sulaiman al-Bujairami, Tuhfatul Habib Syarh al-Khathib, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz 1, hal. 14.).
Dalam komunikasi literatur madzhab Syafi’i juga terdapat beberapa gelar akademik yang ketika disebutkan hanya disematkan kepada beberapa nama tertentu, seperti gelar Al-Imam yang disematkan kepada Imam Haramain al-Juwaini, al-Qadhi yang diartikan sebagai Qadhi Husain bin Muhammad al-Marwazi, atau al-Qadiyaini yang berarti dua hakim yakni al-Rauyani dan al-Mawardi, al-Syaikhani yang berarti al-Nawawi dan al-Rafi’i. (Alawi bin Ahmad al-Segaf, Sab’atul Kutub Mufidah, [Surabaya: Al-Hidayah, tt], hal. 48-49.).
Gelar akademik yang diperoleh oleh para ulama terdahulu sejatinya karena kontribusi mereka dibidang keilmuan yang begitu sangat tinggi dan berpengaruh signifikan dengan karya tulis mereka yang hingga kini masih eksis dipelajari di lingkungan kajian keislaman baik formal maupun non formal.
Keotentikan pemikiran yang mereka tuangkan dalam setiap karyanya dan tradisi kritik antar para pemikir menjadikan khazanah keilmuan semakin berkembang dan dinamis, sungguh sangat layak dan pantas jika mereka diberikan gelar akademik sebagaimana yang telah diketahui banyak dari mereka yang gelarnya disebutkan terlebih dahulu sebelum nama aslinya.
Posisi para ulama dimata masyarakat sungguh sangat terhormat sebab mereka dianggap sebagai orang baik yang memahami keilmuan agama dengan detail hingga diberikan gelar akademik. Hal ini tidak menampik adanya motifasi bagi masyarakat secara luas untuk bisa mendapatkan gelar akademik yang tinggi.
Oleh karena itu gelar akademik bisa menjadi legitimasi seseorang dihadapan masyarakat bahwa dia adalah orang sukses, dan terhormat sebab telah menamatkan pendidikan dijenjang yang paling tinggi, meskipun terkadang terdapat ironitasnya sendiri sebagaimana sindiran Rocky Gerung bahwa “Ijazah hanyalah tanda bahwa seseorang tamat sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir”. []