Matinya Kepakaran dan Mahalnya Pendidikan di Indonesia

Baru-baru ini kembali ramai perkataan Eks Mendikbud “Bahkan sebetulnya untuk swasta biasanya itu momen-momen untuk bisa mengenai biaya tinggi. Misalnya, wisuda itu tarik yang tinggi karena nggak ada orang akan protes walaupun mahal, karena waktu saat gembira anaknya mau wisuda bayar berapapun dikasih. Kalau perlu biar satu truk keluarganya akan datang nggak apa-apa tapi harus beli undangan,” kata Muhadjir. Dari hal ini sudah jelas memang bahwa pendidikan kita adalah barang yang paling mudah dan laris diperjual belikan.

Apa mungkin bapak yang terhormat ini tidak menganalisis, jangankan untuk sampai pada wisuda. Untuk masuk keperguruan tinggi saja sudah banyak rintangan administrasi yang begitu buruk dan tidak ramah bagi masyarakat menengah. Akhirnya meraka lebih memilih untuk langsung bekerja dan bagi perempuan lebih baik menikah muda, bukannya menyelesaikan masalah justru pendidikan kita menambah masalah-masalah yang tak tuntas oleh pemerintah.

Lebih lanjut justru diperparah dengan ucapan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) “Pokoknya semua inisiatif baik untuk membantu kesulitan mahasiswa harus kita dukung gitu, termasuk pinjol,”. Kemana anggaran pendidikan yang mencapai Rp. 503,8 T itu, kalau pemerintah saja sudah melegalkan pinjaman online (pinjol) untuk pendidikan.

Sampai kapan pendidikan kita mahalnya selangit?

Padahal dalam undang-undang sudah jelas bahwa tanggung jawab pendidikan ada ditangan pemerintah. Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan; (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi sektor pendidikan pada Juni 2023 mencapai 2,75% atau terjadi kenaikan indeks dari 109,62 pada Juni 2022 menjadi 112,63 pada Juni 2023. Subkelompok yang mengalami inflasi secara tahunan tertinggi, yakni subkelompok pendidikan lainnya 3,8% dan terendah yaitu subkelompok pendidikan menengah 2,14%. Kelompok ini pada Juni 2023 memberikan andil inflasi 0,15%.

Baca Juga:  Spiritualitas Pendidikan di Era Normal Baru

Penyumbang inflasi secara tahunan terbesar yaitu uang kuliah akademi atau perguruan tinggi 0,06%. Namun secara bulanan, kelompok ini pada Juni 2023 tidak memberikan sumbangan terhadap inflasi nasional.

Mahalnya dan mewahnya fasilitas pendidikan tidak dapat memastikan mahasiswa bisa cerdas dan mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan.

Biaya pendidikan tidak menjadi jalan mulus bagi Indonesia emas nantinya. Kenyataan ini justru diperparah dengan jumlah mahasiswa yang terus meningkat namun sedikit ketersediaan lapangan pekerjaan bagi meraka yang sudah lulus dari universitas.

Matinya Kepakaran dan Mahalnya Pendidikan di Indonesia

Statistik Biaya Pendidikan Tahun 2020/2021 di Indonesia.

Melihat badan pusat statistik mengungkap pada awal November 2023 tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2023 sebesar 5,32 persen atau turun 0,54 persen dibandingkan dengan Agustus 2022. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 pun tingkat pengangguran turun 0,13 persen.

Penurunan ini bukan dikarenakan semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Data ini justru menunjukan penurunan itu dikerenakan banyaknya orang yang berpendidikan rendah, lulusan SD dan SMP yang justru mendapat pekerjaan, atau turun masing-masing 1 persen dalam setahun yang lalu.

Hilangnya etika dan matinya kepakaran

Saya memulai ini dengan sebuah kisah menyedihkan. Saat kampus meminta mahasiswa menulis jurnal ilmiah, bahkan menjadikannya syarat kelulusan justru tidak dibarengi dengan pelatihan etika publikasi jurnal. Ada seseorang mahasiswa yang dengan santai menarik kembali jurnal yang tinggal menghitung hari dipublikasi. Tidak hanya itu, mahasiswa dengan sengaja mempublikasi jurnalnya dibanyak rumah jurnal karena tergesah-gesah dikejar wisuda. Dari hal itu mahasiswa hanya berpikir bahwa menulis jurnal sekedar syarat kelulusan bukan kewajiban meraka sabagai akademisi.

Ketergesahan itu pasti tidak dapat menghasilkan karya yang baik. Kenyataannya kualitas jurnal yang dipublikasi di Indonesia menuai kritik, seperti yang disampaikan Prof. Nizar “ “Beberapa kali kita mendapatkan posting di media sosial mem-bully kita semua bahwa publikasi kita itu meskipun banyak tapi rata-rata jurnalnya tidak jelas, jurnal predator, dan sebagainya-sebagainya,”.

Baca Juga:  Tiga Peran Besar Pesantren bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tentu ini sebuah pergeseran disaat generasi muda diprediksi akan memimpin Indonesia emas. Justru disitu tantangan akan terus datang silih berganti. Saya masih heran mengapa ada mahasiswa yang mempublikasi proposal skripsi di google scholar? Iya itu tidak salah tapi aneh. anda tidak tahu bahwa ada proposal yang lebih baik dari kamu. Dan generasi saat ini haus akan apresiasi padahal prestasinya minim, misalnya saja ketika hadir menjadi peserta nasional, atau jadi maderator di salah satu acara. Hal ini mereka tulis pada lembaran prestasi. saya hanya ini titip pesan “ hadir atau pun jadi moderator di suatu acara tidak merubah apakah nanti indonesia berhasil di bonus demografi”.

Terakhir, ketika berkunjung ke kampus saya bertemu dengan penguji skirpsi saya dan berkata “harusnya kamu gak lulus, karena skripsi kamu gak layak dan gak lulus ujian”. Saya langsung menjawab “kalau gak lulus, kenapa saya diwisuda dan mendapatkan gelar. Saya siap mengulang jika memang tidak dinyatakan lulus” itu dalam hati saya tentunya. Yang jadi pertanyaan mengapa universitas negeri atau swasta meluluskan mahasiswa yang tidak layak bahkan pada tahap penulisan skripsi?. Hemat saya, karena memang universitas sendiri takut pada akreditasi, jika semakin banyak yang tidak lulus maka kampus bisa saja ditutup.

Jika pendidikan terus di komersialkan maka jumlah mahasiswa pengangguran akan terus meningkat, mereka lulus bukan karena kecerdasan tapi karena lembaran uang yang barangkali meraka dapatkan dari pinjol.

Pada Akhirnya Indonesia hanya akan mendatangkan ahli/pakar dari luar negeri untuk membenahi problematika masyakarat. Hari ini baru saja doktor yang didatangkan dari luar negeri. Tidak mustahil suatu saat akan didatangkan ahli/pakar dibidang teknologi dan lainnya. Sarjana dan pakar kita hanya akan menjadi pengamat, untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.

Baca Juga:  G20: Pusat Kebangkitan Industri Halal Indonesia-Tiongkok

Pandangan klasik dari filsuf seperti Aristoteles (384 SM-322 SM) menegaskan bahwa pengetahuan yang sejati harus membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat secara keseluruhan. Hingga saat ini Indonesia masih jauh dari pendidikan yang membahagiakan masyakarat secara keseluruhan. Saya berharap di Indonesia nanti kita mendapatkan itu.

Di era matinya kepakaran, setiap opini dianggap memiliki nilai yang sama hanya karena si A dan si B sama-sama memiliki hak untuk berpendapat. Kredo di era matinya kepakaran adalah ”tidak ada suatu pendapat yang disebut sebagai benar karena semua pendapat harus dianggap sebagai benar. Karena semuanya bisa diketahui, maka setiap opini atas suatu masalah, tak peduli dikeluarkan oleh ahlinya atau tidak, harus dianggap memiliki nilai yang sama”.

Di era matinya kepakaran, kita kehilangan apa yang disebut Nichols sebagai metakognisi. Metakognisi adalah kemampuan untuk mengetahui bahwa kita tidak tahu tentang sesuatu sehingga harus diam. Metakognisi juga merujuk pada kemampuan melihat kembali apa yang sedang kita lakukan, dan menyadari bahwa yang kita lakukan adalah salah.

Wahyu Hidayat
Anak kesayangan mamah dan bapak cita cita disayang mertua, kandidat magister UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Office boy di Majalah Tebuireng. Dapat dijumpai di Istagram @whynot_wh27.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini