Hati-Hati! Beda Pilihan Politik Pemicu Keretakan Keluarga

Hitungan hari lagi kita akan menggelar pesta demokrasi. Berbagai atribut dan peraga kampanye sudah terpampang di berbagai ruas jalan raya. Bahkan platfom media sosial sudah dipenuhi dengan kampanye caleg dan capres-cawapres yang ingin menggerus suara generasi milenial ataupun generasi Z. Terlebih saat ini sudah masuk ke dalam fase kritis dan rawan terjadi konflik politik.

Fase saat ini konflik dan polarisasi politik sudah mulai semakin kuat. Dalam lingkup masyarakat polarisasi digambarkan dengan silang pandangan terhadap perbedaan pandangan atau keyakinan politik. Bahkan tidak sedikit yang saling melontarkan narasi negatif satu dengan lainnya. Begitu juga di dalam tubuh keluarga yang tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pilihan dan keyakinan politik. Hal ini perlu kita waspadai, sebab beda pilihan politik juga bida jadi pemicu keretakan rumah tangga.

Boleh saja kita berasumsi bahwa perbedaan politik dalam keluarga sangat berpotensi memunculkan konflik keluarga, bahkan sangat memungkinkan memicu perceraian. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mencatat telah terjadi 1.300 perceraian pada Pemilu 2019 yang disebabkan oleh perbedaan politik. Rasa-rasanya aneh memang, perbedaan perspektif politik ternyata bisa menghanguskan paradigma keutuhan dan kerukunan rumah tangga.

Perbedaan politik dalam keluarga tidak bisa terelakkan, kadang pilihan politik orang tua berbeda dengan anak. Sulit rasanya apabila harus menyamakan arah politik atas dasar kerukunan keluarga. Tapi apakah perbedaan politik keluarga selalu memicu konflik yang berujung perceraian? Tentu saja tidak, setidaknya ada dua variabel yang menjadi pemicu keretakan keluarga. Apa saja itu?

Fanatisme Dan Pemaksaan Politik Bisa Jadi Pemicu

Pertama adalah fanatisme. Sikap ini bisa digambarkan sebagai obsesi yang berlebihan dalam berpolitik. Kalau kita amati memang ada kecenderungan masyarakat kita bersikap fanatik terhadap sesuatu, misal saja seperti agama, etnis, ideologi, idola, olahraga, dan sampai dengan politik. Kita bisa melihat sangking fanatiknya dalam mendukung kontestan politik, bisa sampai saling ejek dan menjatuhkan. Sikap ini bahkan menjalar kedalam keluarga sehingga menimbulkan dinamika yang kurang baik.

Baca Juga:  Covid-19 dan Keutuhan Keluarga

Beda pilihan politik sah-sah saja, tetapi fanatisme buta terhadap salah satu kontestan menjadi boomerang, bisa saja kita dijauhi oleh kerabat dan keluarga hanya karena fanatisme politik buta. Sudah banyak cerita konflik keluarga bahkan perceraian dengan alasan beda pilihan politik. Seseorang yang fanatik akan memiliki semangat yang berlipat-lipat dan memiliki kecenderungan pembenaran diri. Sikap ini tentu membuat risih karena acap kali digunakan untuk berdebat, menyakiti, dan bahkan melupakan keluarganya.

Fanatisme politik sejatinya memunculkan logika kosong. Apabila seseorang sudah terjebak pada fanatisme maka sulit baginya untuk merasionalisasi, sulit juga untuk mencerna bahwa keutuhan keluarga adalah hal yang abadi dan politik hanyalah temporal. Pada akhirnya keluarga yang dikorbankan hanya karena hal semacam ini. Karena itu kita harus mewaspadai sikap ini terlebih ketika dibawa dalam ranah keluarga.

Kedua yaitu ada pemaksaan politik di dalam keluarga. Biasanya ini terjadi karena ada posisi superior didalam keluarga, sehingga ada relasi kuasa. Saya berpendapat bahwa faktor ini adalah turunan dari fanatisme politik yang diasosiasikan ke dalam keluarga. Seorang yang fanatik cenderung mendorong orang lain mengikuti keyakinannya, akhirnya ada pemaksaan demi kesamaan pilihan.

Biasanya posisi yang rentan adalah anak dan istri, tetapi tidak menutup kemungkinan pihak lain seperti suami dan mertua juga sebagai korban. Lalu mungkin yang jadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin terjadi pemaksaan politik di dalam keluarga? Pemaksaan ini bisa digambarkan dengan kondisi dimana seorang yang punya kuasa memaksa kehendak politik keluarganya dengan berbagai macam cara untuk memperdaya dan melemahkan. Orang tersebut merasa memiliki kekuasaan bahwa pilihan politik keluarga harus sama dirinya, baik pilihan legislatif ataupun pilihan eksekutif.

Baca Juga:  Kegagalan PMII Meredam Konflik

Sikap semacam ini sama halnya dengan membatasi demokrasi di dalam keluarga, sebab setiap anggota memiliki hak untuk memilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. UUD 1945 juga beramanat setiap orang memiliki hak untuk mengarahkan dukungan atas pilihan politiknya. Hemat saya pemaksaan politik dalam keluarga punya implikasi yang sama dengan fanatisme, yaitu akan memperkeruh suasana dan kenyamanan keluarga. Dalam konteks politik, pemaksaan pilihan ini bisa menyublin ke pikiran yang berujung pada kebutaan politik dalam keluarga.

Bagaimana mencegahnya?

Disadari ataupun tidak dua variabel di atas bisa menjadi penyebab keretakan keluarga. Itulah sebabnya pencegahan harus sangat diperhatikan. Penguatan paham multikulturalisme dengan paradigma toleransi bisa jadi solusi yang bagus. Kita membutuhkan paham ini untuk mengelola kepentingan personal dan mengutamakan kerukunan bersama.

Multikulturalisme politik mungkin bisa diartikan sebagai paham yang memberikan kesempatan yang sama terhadap elemen warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Dasar paham ini adalah menghormati perbedaan adalah keniscayaan dan kesetaraan adalah hal esensial. Dalam konteks politik, setiap anggota keluarga memiliki hak untuk bersuara dan memilih pilihan politik. Esensi dasarnya adalah bagaimana perbedaan pilihan menjadikan ajang merekatkan persatuan keluarga.

Tidak salah jika perbedaan memicu keretakan, tapi dengan paham multikulturalisme keluarga akan dituntut untuk memberi kesempatan kepada anggota untuk menjalankan hak politiknya. Ini sama halnya dengan mewujudkan paham kesetaraan dalam keluarga dalam konteks politik. Multikulturalisme ini bisa dimanifestasikan oleh seorang yang memiliki pengaruh di keluarga untuk memberikan edukasi politik dengan paradigma toleransi. Misalnya orang tua mengedukasi kepada anaknya untuk memilih dan memilah kontestan politik disertai dengan alasan yang logis, bukan karena fanatisme semata.

Kesadaran multikulturalisme politik dalam keluarga dibangun dalam rangka mewujudkan toleransi. Artinya bagaimana cara anggota keluarga mampu memahami perbedaan politik secara utuh, tidak ada lagi yang namanya justifikasi dan stereotip negatif kepada anggota keluarga. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai dan menghormati perbedaan pilihan politik.

Baca Juga:  Koneksi Pemerintah Daerah & LAM Riau: Mulai Dari Adat Hingga Politik

Dengan demikian, hemat saya kesadaran multikulturalisme bisa menjadi solusi untuk mencegah perbedaan politik. Jangan sampai kerukunan dan kesetiaan keluarga retak hanya karena perbedaan politik, rugi dong kita!!!. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini