Duhai putra Abdullah, saat itu engkau sedang bersujud, lalu cucu kinasihmu, Hasan dan Husain berlari menuju dirimu. Putra Azzahra itu bergantian menunggangimu, menganggapmu kuda. Mereka tertawa riang di atas punggung yang pernah ke sidratul muntaha. Engkau memilih memperlama sujudmu. Para sahabat gelisah, khawatir sesuatu terjadi pada dirimu, atau wahyu sedang turun kepada dirimu, wahai Laki-Laki yang Berwajah Purnama. Sujudku lama yang tak biasanya semata-mata agar cucuku itu puas menunggangiku, demikian engkau menjawab pertanyaan para sahabatmu. Siapa mencintaiku, maka cintailah kedua anak ini. Engkau melanjutkan sabda muliamu.
Duhai Lelaki Pembawa Kabar Gembira, kedua cucu kinasihmu mengitarimu saat engkau shalat, engkau merelakan dirimu digelayuti mereka, engkau merenggangkan rukukmu agak lebar agar Hasan dan Husain bisa bermain-main di bawahnya, lalu saat dirimu bersujud, mereka bergantian menaiki punggungmu. Engkau menahan sujudmu agar semata-mata mereka puas bermain dengan tubuh muliamu.
Duhai Lelaki Yang Senantiasa Tersenyum, saat itu Hasan dan Husain memintamu menjadi kuda mainan. Engkau mengiyakan dengan gembira. Lalu keduanya bergantian menunggangimu. Tawa cucu yang riang membuatmu bahagia hingga Umar, sahabatmu yang mulia, merasa perlu berkomentar, duhai putra putra Ali, alangkah mulia kuda tunggangan kalian. Dengan tersenyum, engkau pun menjawab, sebaik-baik penunggang kuda adalah mereka berdua.
Duhai putra wanita mulia Aminah, menjelang shalat engkau memomong Umamah bin Abd Al-Ash, cucu kinasihmu yang lahir dari rahim Zainab. Agar tak menangis, engkau menggendongnya sambil shalat, lalu meletakkan balita ini di sampingmu saat engkau bersujud, kemudian menggendongnya kembali saat engkau berdiri dalam shalat.
Duhai Lelaki Pemilik Hati yang Peka, engkau sedang memimpin shalat sampai terdengar tangisan seorang anak. Engkau, utusan Allah, memilih mempercepat shalat agar ibunya tidak terganggu tangisan buah hatinya.
Duhai Lelaki Pemberi Syafaat, bersama beberapa sahabat, engkau berkunjung ke rumah shahibul bait yang mengundangmu makan bersama. Di tengah jalan, engkau melihat Husain bermain-main di tengah jalan. Melihat cucu kinasihmu ini, engkau pun menghampirinya dengan membuka kedua tanganmu untuk menyambut putera Ali itu. Husain berlarian kesana-kemari hingga engkau, wahai Rasulullah, berhasil menangkap bocah lincah itu. Engkau memegang dagu cucumu, sedangkan tanganmu yang lain mengelus-elus kepalanya. Lalu, dengan kasih sayangmu, engkau memeluk Husain, pemuka para pemuda surga itu. Husain merupakan bagian dariku, dan aku bagian dari Husain, semoga Allah mencintai Husain, Husain adalah salah satu keturunanku. Demikian sabdamu di hadapan para sahabatmu yang mulia.
Duhai Laki-Laki Berhati Samudera, engkau menyayangi Usamah bin Zaid bin Haritsah, sebagaimana engkau mengasihi Hasan-Husain, dua permata hati Azzahra. Engkau menaunginya dengan cinta, hingga pada suatu ketika bocah Usamah tergelincir di depan pintu rumahmu. Engkau tergopoh-gopoh menyongsongnya, mendudukkannya di pangkuanmu, mendiamkan tangisnya. Ketika kening Usamah mengucurkan darah, dengan kasih sayangmu, engkau rela menyesap darah luka tersebut, kemudian meludahkannya. Kami iri kepadamu, wahai Usamah al-Hibb ibn al-Hibb, kekasih putra kekasih.
Duhai Laki-Laki yang Menggetarkan Jiwa dengan Cinta, engkau baru saja tiba di Madinah setelah melakukan perjalanan panjang dari Makkah. Zaid putra Tsabit, seorang yatim, dengan senyum merekah menyambutmu dengan semangkuk roti berkuah susu. Ibuku mengirim hidangan ini untuk dirimu, duhai utusan Allah, kata bocah kecil itu. Di hadapanmu, Zaid kemudian menunjukkan hafalan beberapa Surah al-Qur’an. Engkau yang bangga, mendoakan agar Allah memberkahi Zaid. Saat pasukan muslim menawan beberapa musuh yang kalah dalam Perang Badar, engkau memanggil Zaid dan beberapa anak lain. Engkau meminta agar para tawanan ini mengajar baca-tulis kepada Zaid dan kawan-kawannya, sebagai syarat pembebasan diri. Sebuah langkah strategis nan cerdas yang engkau ambil, duhai Madinatul Ilmi, Sang Kota Ilmu. Engkau telah memperkenalkan anak-anak pada tonggak peradaban: kemampuan membaca dan menulis.
Duhai Panglima yang Cemerlang, ketika sepupumu, Ja’far putra Abu Thalib gugur di Palagan Mu’tah, engkau mengumpulkan anak-anaknya yang masih kecil, merawatnya dengan sepenuh kasih sayang, mengajak mereka bermain, sambil menyiapkan kehidupan baru agak anak-anak yatim ini tidak goncang sepeninggal ayahnya tercinta. Engkau seringkali mengajak jalan-jalan Abdullah putra Ja’far yang masih kecil, mendudukkannya di pelana unta, sembari mengelus kepalanya dan mendoakan agar anak yatim itu menjadi penerus ayahnya. Alangkah bangganya manakala engkau melihat Abdullah, anak yatim yang wajah dan perilakunya mirip denganmu itu, sedang berjualan di pasar. Kemandirianmu di masa remaja rupanya mulai menulari keponakanmu itu, duhai Abul Qasim, hingga engkau mendoakan keponakanmu ini agar dagangannya diberkahi Allah.
Wahai Laki-Laki dengan Kepribadian Mempesona, pernah engkau mengumpulkan bocah-bocah, lalu membuat permainan sayembara agar mereka gembira. Engkau meminta anak-anak berbaris, lalu berkata, siapa yang paling cepat, dia akan mendapatkan hadiah. Anak-anak menyambut tantangan ini dengan gembira, hingga mereka berhasil menggapai tubuh muliamu, mengerumunimu, memelukmu sambil bergelayut manja di dada dan tubuhmu. Duhai manusia paripurna, betapa irinya kami atas polahtingkah anak-anak yang menggelayuti tubuh wangimu.
Duhai Allah, Muhammad-kan kami!. []