Penganut Tarekat manusia yang agamis dan peduli sosial

Dalam sejarah, keberadaan agama berubah menjadi ideologi perjuangan yang selain didasari oleh pertimbangan legal formal, juga didasari dari kelompok persaudaraan penghayat kesucian iman yang disebut tarekat. Tarekat mendasari Nilai kesucian dalam keyakinannya pada sikap ketulusan yang memperjuangkan kebenaran kemudian berubah menjadi sebuah ideologi perjuangan.

Kaum tarekat di Banten melawan penjajah hingga munculnya revolusi petani banten pada akhir abad ke-19 tahun 1888. Pada awalnya agama adalah bangunan spiritualitas seorang hamba terhadap Tuhan-nya, dan berubah menjadi instuisi politik yang menarik perhatian dari beberapa komunitas keagamaan. Oleh karena itu, keberhasilan para penggerak revolusi keagamaan itu menjadikan agama sebagai simbol perjuangan yang melawan kebathilan.

Kehidupan kaum penganut tarekat itu berbeda dengan kehidupan kaum lainnya. Para penganut tarekat memiliki ciri khas untuk mengamalkan agama yang bercorak Esoterik (suatu hal yang hanya diajarkan dan dipahami oleh sekelompok orang), mendalam, tidak kaku, dan penuh dengan penafsiran kepribumian. Oleh karena itu, dunia kaum tarekat itu disebut cukup unik. Mereka beragama dengan mengutamakan rasa dan bukan pikiran yang tentunya mewujudkan kehidupan dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.

Agama bukanlah hanya urusan pribadi setiap individu, melainkan juga urusan kemasyarakatan. Ada kalanya individu berlarut dalam kehidupan pribadinya dengan Tuhan. Di balik itu, agama juga bercengkrama dengan urusan kemasyarakatan yang dikenal dengan amal soleh. Dalam hal ini, masyarakat jawa mengonsepsikan kehidupan rukun, harmoni dan keselamatan untuk menghadapi kehidupan terekat mereka. Kerukunan adalah kata kunci untuk melewati kehidupan. Tanpa adanya kerukunan sosial, maka stabilitas sosial atau keseimbangan sosial akan hilang.

Di dalam tradisi Jawa mengajarkan Ojo waton suloyo”, yang bermakna bahwa orang boleh berbeda tetapi jangan asal berbeda. Masyarakat Jawa lebih memilih diam jika ada perbedaan pendapatnya. Manusia harus menciptakan dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Allah dan sesama manusia. Suatu keharmonisan tidak akan terwujud jika manusia tidak menciptakan media untuk mencapai keharmonisan.

Oleh karena itu, masyarakat Jawa menciptakan salah satu media untuk menciptakan dan menjaganya dengan cara mengadakan Slametan yang memiliki rasa harmonis yang kental dalam hubungan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.  Kehidupan penganut tarekat itu bukanlah hidup dalam dunianya sendiri. Akan tetapi, mereka hidup di dalam kehidupan sosial yang kompleks. Biasanya para penganut tarekat menjadi aktivis di masyarakat, aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan. Setiap tindakan sosial yang dilakukannya memiliki makna tersendiri atau individual.

Baca Juga:  Manuskrip Silsilah Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN) Jalur Periwayatan Syaikh Marzuqi Banten (w. 1913) di Makkah

Seorang individu pasti memiliki pedoman kehidupan atau aturan kehidupannya masing-masing, yang bisa diambil dari ajaran agama atau kesepakatan sosial. Begitu pula para penganut tarekat, yang menjadikan ajaran tarekatnya sebagai pedoman kehidupannya yang dipadukan oleh kearifan lokal seperti tradisi-tradisi yang mendalam di kehidupan sosial. Mereka berwirid seperti anjuran mursyid (guru) nya, dan melakukan tindakan sosial seperti anjuran mursyid (guru) nya pula.

Dalam pandangan remaja, ada yang menganggap bahwa orang yang memasuki dunia tarekat adalah orang yang memasuki masa tua. Secara terminologis, ilmu tarekat memang disebut sebagai ilmu kasepuhan. Akan tetapi, maknanya bukanlah berarti dunianya orang-orang tua. Makna kasepuhan disini ialah ilmu tentang ketuhanan, ibadah, dan akhlak yang mengagungkan kebersihan hati. Ilmu ini hanya bisa didapatkan oleh orang-orang terpilih yang sudah memantapkan dirinya untuk terjun kedunia tarekat ini.

Penganut tarekat bukan hanya untuk kalangan orang tua saja. Justru menjadi penganut tarekat di usia muda itu lebih baik, karena pengendalian dirinya sudah dapat dilakukan dari awal. Ajaran terekat memang tidak bisa diberikan kepada orang yang belum memiliki syariat yang baik. Oleh sebab itu, gambaran penganut tarekat tidak bisa hanya dipandang dari segi faktor usia saja, akan tetapi harus dipandang pula dari segi aktivitas ketarekatannya dan keterlibatan dengan dunia tindakan sosialnya sehari-hari. [RZ]

Muhammad Afada Rifqiya
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prodi Tasawuf dan Psikoterapi.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pengajian