Saat ini kekerasan seksual merupakan salah satu unsur tindakan pidana. Mengingat adanya asas legal standing berdasarkan pada penghargaan harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, dan keadilan yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2022. Fenomena kekerasan seksual saat ini bisa dianalogikan sebagai sebagai fenomena gunung es, artinya masih membeku sebab jarang yang terungkap, juga tidak pernah dilaporan, tidak diadukan, dan malah diresistensi oleh oknum-oknum tertentu dengan berbagai macam alasan.
Fenomena seperti ini yang seharusnya mendapatkan perhatian dari seluruh kalangan, sebab beberapa waktu terakhir kekerasan seksual sudah merembab kedalam institusi pesantren. Praktik kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum yang dinilai memiliki kedudukan di pesantren menjadi dalang utama dalam kasus ini. Hal ini menandakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak memandang tempat, dan tidak memandang kedudukan personal.
Menguatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren membuat polarisasi persepsi dalam masyarakat. Polarisasi tersebut membentuk suatu opini komunal yang mendiskreditkan institusi pesantren. Akhirnya masyarakat mempertanyakan keamanan dan kenyamanan yang ada dalam pesantren serta pembelajaran yang didalamnya. Hal ini tentu saja berimplikasi negatif pada citra pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang seharusnya merupakan tempat untuk mengenyam pendidikan mengenai agama justru menjadi tempat yang disalahgunakan atas nama agama itu sendiri, baik dari segi akses, ataupun kesempatan untuk memuaskan egosentris. Bahkan terdapat dua catatan laporan yang menarik mengenai kekerasan seksual di lingkungan pesantren yaitu: Pertama, dalam kurun waktu 2015-2020 aduan kasus kekerasan seksual di pesantren sebesar 19 persen, ini yang menjadikan pesantren menempati urutan kedua setelah universitas;[1] Kedua, tersangka kekerasan seksual mayoritas berasal dari seseorang yang mempunyai kuasa dan inferioritas.
Catatan yang kedua bisa dilihat dari berbagai kasus yang mencuat seperti Herry Wirawan yang terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati yang 9 diantara sudah melahirkan anak dan satu orang melahirkan 2 kali. Herry Wirawan merupakan pimpinan pesantren yang ada di daerah Cibiru, Bandung. Kemudian Moch Subchi Azal Tsani yang merupakan tokoh di salah satu pesantren di Jombang sebagai tersangka tindakan pencabulan, dan pemerkosaan. Lalu juga Fauzan yang menjadi tersangka akibat mencabuli 6 santriwati, 2 diperkosa yang juga merupakan pimpinan pesantren yang ada di daerah Banyuwangi. Dari tiga potret tersangka tersebut mereka adalah seorang yang mempunyai kuasa dan inferioritas dalam melakukan suatu tindakan di dalam pesantrenya.
Menarik sekali apabila ditelisik secara seksama mengenai akar dari kekerasan seksual yang ada di pesantren. Terlebih ketika menelisik dengan menggunakan sosiologi gender sebagai basis utama memotret pokok problematik dari kekerasan seksual di pesantren. Mengingat perspektif tersebut melihat kepada relasi sosial antara laki-laki, perempuan dan juga kesatuan pemahaman mengenai subordinasi yang dialami perempuan, praktik budaya yang mempertahankanya, pembagian kerja secara seksual, dan menentukan objek seksual sejauh hal itu diorganisasikan dalam bingkai feminitas dan maskulinitas. Kohesinya dengan pandangan ini yaitu satriwati sebagai korban kekerasan seskual.
Konsep kesetaraan gender belum sepenuhnya diterima
Perlu dipahami bahwa memang sejauh ini isu-isu gender dengan paradigma pesantren masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Seakan-akan sulit sekali menemukan titik temu atau kata sepakat antara apa yang menjadi social culture di pesantren dengan konstruksi pemahaman gender. Hasilnya tidak semua pesantren mempu mendialogkan paradigma gender kedalam pesantren.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abd Hannan dalam penelitianya[2] bahwa wacana gender terbelenggu sebab dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama dan merusak social culture di pesantren. Sebab itu tidak semua pesantren secara utuh mau menerima paradigma gender. Hal ini diperkuat dengan adanya asumsi-asumsi geneologis konsep gender yang bermuara dari barat.
Misalnya saja dalam memahami relasi antara laki-laki dan perempuan masih menggunakan interpretasi konservatif yang dianggap rigid dan produk yang sudah tersistimatis. Akhirnya memunculkan pemikiran pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan dengan alasan peran antara laki-laki dan perempuan sudah diatur dalam agama sehingga tidak boleh disamakan.
Bertolak pada kasus kekerasan seksual yang ada di pesantren, memungkinkan tidak adanya misi membangun pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan persoalan yang inheren tentang gender di pesantren. Pada akhirnya banyak sekali berbagai macam ketimpangan didalam pesantren yang dinormalisasi oleh budaya, seperti adanya beban ganda yang ditimpa santri -khususnya santriwati-, subordiansi, stereotip yang berujung diskriminasi.
Pada satu sisi juga konsep gender secara nomenklatur maupun konseptual tidak padat jika diakulturasikan dengan paradigma pesantren, seperti banyaknya yang menyamakan antara “gender” dan “sex” yaitu jenis kelamin. Sudah barang tentu persepsinya jenis kelamin merupakan sesuatu yang berasal dari tuhan dan tidak perlu dipertukarkan. Pemahaman semacam ini kemungkinan besar berujung kepada penolakan konsep gender jika dimasukkan dalam pesantren. Dengan demikian perlunya membangun pemahaman paradigma di pesantren dengan dimensi sosiologis-teologis, dalam arti pesantren memiliki produksi makna sendiri sendiri yang bisa didiskusikan dan dipraktekkan dalam epistem-epistem pesantren.
Hegemoni Kedudukan Bias Relasi Kuasa Sebagai Problematika Dini
Setidaknya hasil dari dekonstruksi juga memotret berbagai modus pelecehan seksual di pesantren menggambarkan adanya dominasi kedudukan yang bias. Searah dengan penelitian yang digarap oleh Fitri Pebriansyah mengenai relasi kuasa kyai terhadap santri perempuan di pesantren bahwa banyak pelaku kekerasan seksual adalah mereka yang mempunyai hegemoni atau dominasi yang lebih tinggi.
Alasan utama terjadinya bias kekuasaan adalah adanya sistem patriarkal yang sulit dihilangkan didalam tubuh pesantren. Bahkan Implikasinya kultur sosial pesantren belum bisa melepaskan dari kekuatan kultur hierarkis Adanya hierarki yang sangat jelas antara ustadz, gus, atau kyai dengan santri memungkinkan potensi terjadinya relasi kuasa yang timpang yang menempatkan ustadz, gus, atau seorang kyai berada posisi yang lebih tinggi dibandingkan pengurus pesantren serta para santri lain.
Hal ini pastinya sangat berdampak jika terjadi sesuatu yang menyimpang, adalah apabila santri yang menjadi korban tidak memiliki kuasa untuk melawan karena di dalam pesantren mereka berada pada hierarki yang lebih rendah. Posisi santri sebagai korban yang tersubordinasi oleh ustadz atau kyai menjadi bukti konkret bahwa wacana Foucault mengenai hegemoni terealisasi dalam praktik kekerasan seksual di pesantren.
Akan tetapi yang perlu diperkuat adalah bahwasanya adanya hierarki menjadi akar problematik dalam urusan kekerasan seksual ditengarai terdapat penyelewengan kekuasaan yang berbau despotik dan totaliter untuk kepentingan pribadi. Karena pada satu sisi sistem hierarki yang diadopsi dalam pesantren cenderung kepada konsep lita’dzim (sekedar menghormati) sebab kyai dipandang sebagai culture broker.
Dominasi kedudukan yang bias relasi menampaki adanya kesenjangan antara atasan dan bawahan yang menjadi sorotan utama, terlebih seorang pemimpin pesantren memiliki peran sentral, dominasi yang kuat, dan patron superior. Santri sebagai klien yang inferior menduduki kasta yang rendah yang harus hormat kepada pimpinan yang dianggap seorang role model bagi kehidupannya. Santri juga yang dituntut secara halus untuk harus hormat dan taat atas perintah pimpinan. Konsep semacam ini tidak seutuhnya salah, tetapi rawan sekali dan menjadi bomerang jika pimpinan pesantren menyelewengkan kuasanya untuk memperkuat egosentris.
Pada beberapa modus yang dilakukan oleh tersangka kekerasan seksual di pesantren, bahwa mereka melakukan pendistorsian terhadap konsep kepatuhan totalitas. Artinya mereka menggunakan konsep tersebut sebagai alat pemberdaya. Misalnya seperti tersangka Hery Wirawan yang menormalisasi aksinya dengan narasi harus taat kepada guru, menjanjikan pembiayaan kuliah dan kehidupanya kelak. Distrosi semacam ini harus segera di putus supaya tidak menjadikan kuasa sebagai alat pemberdaya. Konsep yang digunakan untuk membangun karakter santri yang berakhlak digerus untuk kepuasan pribadi pasti akan memunculkan stigma tersendiri pada diri santri.
Geoff McMaster seorang cendikiawan University of Alberta dalam tulisanya yang berjudul Researches reveal patterns of sexual abuse in religious settings mengungkap dominasi struktural-patriarkal diranah keagamaan membuka ruang bagi seseorang yang mempunyai kedudukan untuk melakukan hal penyelewengan. Lebih lanjut pemuka agama tidak sedikit yang menyalahkan status ataupun jabatanya yang dianggap tinggi untuk menghegemoni korban demi mendapati sesuatu yang diinginkan.[3] Apabila hegemoni seperti ini selalu ada, bukan tidak mungkin tindakan penyelewengan akan selalu bertambah, bahkan kasus kekeresan seksual dipesantren akan selalu muncul.
Hegemoni yang bias relasi kuasa menunjukan bahwa adanya ranah-ranah dikotomis dalam internal sosial pesantren. Tentunya ini menjadi PR besar untuk para stakeholder pesantren untuk bersikap progresif-akulturatif untuk terwujudnya harmonisasi antara atasan dan bawahan supaya terbentuk sistem yang egaliter. Tidak hanya itu pesantren juga selayaknya mampu medesain kerangka nilai filosofis sensitif gender dengan perubahan pendidikan ke arah berbasis gender. []
[1] Rahel Narda Chaterine, “Komnas Perempuan Sebut Pesantren Urutan kedua dengan Aduan Kasus Kekerasan Seksual Tertinggi”. https://nasional.kompas.com/read/2021/12/10/17182821/data-komnas-perempuan-pesantren-urutan-kedua-lingkungan-pendidikan-dengan, diakses pada 15/08/2022
[2] Abd Hannan, “Gender dan Fenomena Patriarki Dalam Sosial Pendidikan Pesantren (Studi Tentang Hegemoni Kiai Oesantren Terhadap Sosial Pendidikan Bias Gender), dalam seminar nasional gender dan budaya Madura III.
[3] Geoff Mcmaster. “Researches reveal patterns of sexual abuse in religious settings”, https://phys.org/news/2020-08-reveal-patterns-sexual-abuse-religious.html, diakses pada 15/08/2022